Perjalanan selanjutnya yakni menapaki jejak kami yang tertinggal di lereng gunung Asepan yang terkenal di cerita para petualang alam. Sebuah pesona alam dari lembah yang terdiri dari pundukan pesawahan yang begitu cantik di lihat oleh bola mata. Juga aliran sungai yang jernih membelah petakan sawah yang menggambarkan cekungan dalam peta tofografi. Leuwi Bumi kami menyebut daerah itu, terasing dan jauh dari hirup pikuk kendaraan di kota yang mulai menjadi besar. Kali ini peralatan yang kami siapkan sedikit berbeda daripada perjalanan pertama menuju cigumawang, kali ini team menggunakan pakaian lapangan lengkap dengan spatu tracking karena medan yang di lalui cukup rawan, menyebrangi sungai yang cukup besar juga jalur yang sempit dan di sebelah jurang yang terjal. Sabtu pukul 13.00 kami mulai mempersiapkan perlatan yang akan dibawa, dan sambil menunggu beberapa kawan. Akhirnya kami berangkat pukul 15.30 dengan terlebih dahulu menuju serang untuk menjemput Seorang sahabat kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Lokasi pukul 16.00 dari Kota Serang. Ada beberapa jalur menuju leuwi bumi, pertama masuk dari daerah mandalawangi pandeglang dan kedua masuk lewat jalur Padarincang yakni Curug Cigumawang. Dan kami menggunakan jalur yang tak asing bagi kami yakni jalur Padarincang. Sampai di camp motor yakni parkiran tepat sebelum adzan magrib berkumandang, memaksa kami melakukan perjalanan dimalam hari. Tak lama kami disana langsung mulai menapaki jejak menuju vila yang terletak didaerah Bedeng, untuk sejenak menumpang Sholat magrib dan bersilaturahmi pada penduduk setempat. Tak seperti suasana biasanya dikala itu Bedeng yang dulu begitu hening, asri, mencekam dan begitu kami rindukan, terlihat seperti pasar malam dengan berpuluh tenda dari orang” yang berkemah, juga yang kami heran adanya pedagang kagetan berjualan disana, seperti pasar malam saja. Mungkin daerah Bedeng sudah mulai eksis dimata para pekemah yang membuat daerah itu semakin ramai dikunjungi. Beberapa tahun kebelakang daerah Bedeng mengalami eksploitasi hutan, yaitu penebangan pohon yang tak kunjung henti, tak kenal musim baik hujan atau kemarau dan tak kenal ampun pada pesona pohon besar mahkota Emas. Perjalanan kali ini membuat kami sangat sedih melihat tempat bermain kami sudah tak nyaman dan bahkan sudah terexploitasi tangan yang haus dengan nama. Bahkan ketika alam mulai murka dengan terjadinya Banjir Bandang beberapa waktu lalu exploitasi tak kunjung dihentikan dan tak kenal ampun. Sekarang jalan DAM – BEDENG menjadi lahan gersang penuh debu dengan bongkahan kayu menjadi pemandangan di sekililingnya. Semoga program penghijauan yang sudah terencana segera di lakukan. Dan penebangan dihentikan, karena bumi sudah merintih kesakitan saudaraku. Perjalanan kami lanjutkan menuju lokasi yang kami tuju yakni leuwi bumi, berangkat dari bedeng pukul 19.00, menapaki kembali jejak jejak kami yang tak terlupakan, jeritan, canda tawa, tangisan, rona taku, emosional trcampur bersama keringat – keringat kami yang berbau harmony. Rintangan pertama ketika menyebrangi sungai, sala seorang tim terpleset sehingga perlengkapan basah kuyup, untung kesigapan dari sahabat begitu cepat, sehingga tidak terjadi sesuatu yang buruk. Setapak demi setapak kami pijak mendaki bukit bukit, menuruni lembah lembah dengan ditemani debet air sungai yang bernada sesak. Kami berempat menembus heningnya malam membangunkan semak belukar yang tidur, juga mengetuk pintu pepohonan yang sedang bersuara. Salam lestari Lembah Leuwi Bumi, Kami Rindu Pada Nyanyianmu tentang kedamaian sebuah nuansa. Kami datang untukmu agar kamu tak kesepian, kami singgah dikediamanmu untuk membuktikan Kuasa Illahi yang nyata dan memastikan keberadaanmu tetap ADA. Pijakan kami akhirnya bermuara di sisi sungai yang jernih, terdengar sambutan burung” hutan yang tak asing di telinga kami. Perjalanan begitu melelahkan sehingga perut kami bernyanyi keroncongan, diputuskanlah untuk memasak dan bercamp di tempat itu. Api unggun membangun kembali keletihan yang terkikis oleh jalur, diskusi dari hati ke hati menjadi hal wajib dalam petualangan kami, yang kemudian bernostalgia dengan lembah yang kami rindukan. Dan ternyata separuh rembulan mengintip kami dari sela sela puncak asepan, perlahan menaik perlahan menerangi malam kami, seraya kebersamaan dalam gelap terpatri, kedamaian dalam bara terpahat dan semangat membara kembali untuk mencari apa arti sebuah jati diri. Dalam pembicaraan kami sangat sedih melihat tangan-tangan yang tak bertanggung jawab mulai merusak tempat bermain kami, kami tak kuasa melihat pohon-pohon yang merintih, belukar yang menangis, dan penghuni hutan yang berlarian. Kami berjuang untuk kalian, ketika langkah kaki dan gerak tangan kami tak mampu lagi, semoga dengan kata-kata yang menjadi kalimat perjuangan bisa mengetuk pintu hati para penjamah yang tak bertanggung jawab. Akhirnya kokoh sang rembulan separuh, melelapkan kami bersama serangga malam yang tak henti bernyanyi, juga katak sawah yang tak kunjung lelah mengiringi detik detik mata kami terpejam terkalahkan oleh kantuk. Selamat pagi, cahaya surya membangunkan kami dengan udara yang begitu jernih, tanpa polusi tanpa terasi. Air sungai yang seakan melambai-lambai meminta kami untuk menjamah jernihnya tak kuasa tertahan, yang akhirnya kami mencumbu air itu, kami menjamah jerninya, kami memuaskan dahaga dengannya, ditemani capung – capung hitang yang cantik, juga lumut-lumut hijau yang alami, sungguh kesan yang begitu dalam. Perjalanan pulang dilakukan pukul 09.30, terlihat jelas diperjalanan pulang dua terjunan air yang putih berbuih sangat indah, terlihat seperti telaga air yang kehijauan dibawahnya, dokumentasipun tak kami lewatkan padanya. Kembali kami terdiam, ketika melihat di sekeliling jalur pephonoan tumbang oleh mesin mesin yang tak tampang pada perjalanan semalam. Sungguh ironi, semoga tenaga kami bisa membawa mereka kembali menghijau. Perjalanan pulang begitu menyesakan mata, terlihat para joky – joky pembawa kayu gelondongan yang kejam mengahantam aspal, atau mungkin mereka melakukannya karena terpaksa..? entahlah.. semoga bisa menjadi lebih baik. Kami pulang dengan kenangan indah di malam Leuwi Bumi, dan dengan sesak jalur Bedeng yang Gersang… Ketika Tangan Dan Kaki Kami Tak Lagi Kuasa Berjuang, Semoga Cerita Kami Menjadi Kata Mutiara Untuk Para Petualang.
SETENGAH REMBULAN DIMALAM ITU MENJADI SAKSI BISU KEDAMAIAN DALAM RASA DI MUARA PIJAKAN LEUWI BUMI.
Selengkapnya disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H