Mohon tunggu...
Didin Zainudin
Didin Zainudin Mohon Tunggu... Freelancer - Didin manusia biasa yang maunya berkarya yang gak biasa.

mencoba memberi manfaat dan inspirasi bagi kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Hantu Selabintana Ngikut ke Rumah

17 September 2024   15:48 Diperbarui: 17 September 2024   15:55 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah menjadi tradisi di keluarga kami setiap libur lebaran (biasanya sehari sesudah lebaran), kami berkumpul di rumah nenek di Sukabumi. Meski nenek sudah lama tiada, namun rumah masih tetap kita pakai buat ngumpul keluarga besar. Rumah kini dihuni oleh bude kami. Ada kurang lebih 15 -20 orang, ngumpul di rumah tersebut. Rumah kebon jati, biasa kami menyebutnya, nyaman-nyaman saja, meski berisi banyak orang. Rame dan seru. Karena ada keponakan, gede, kecil, bayi, om, tante, oma dan opa ngumpul dan tumplek blek disitu. Kebayang kan rame dan riuhnya.

Kalau pas jam makan juga makin seru lagi. Bude kami itu tukang masak. Beliau menerima catering untuk hajatan, kawinan, acara kantor, sunatan dan sejenisnya. Masakan dia sudah terkenal enaknya. Buat saya, bude masak apa aja rasanya enak. Sekedar bikin sambel aja, enaknya gak ada yang bisa ngalahin. Jam terbang memang gak bisa dipungkiri. Kalo dibandingan sama restoran-restoran Sunda aja, semua bakalan bertekuk lutut, dan sungkem sama bude. Banyak jenis masakan bisa dia buat. Dari masakan sunda, hingga yang agak western. Dia punya menu andalan pepes ikan mas. Rasanya juara banget. Pepes ini dimasak selama 7 - 8 jam. Beneran slow cook. Alat presto gak boleh dipakai. "Rasanya akan beda", kata bude.  Hasilnya beneran empuk dan gurih. Bumbunya meresap dengan seksama. Duri-duri ikan mas, bisa dikunyah dengan manja. Menu ini yang bakalan ngabis-ngabisin nasi. Apalagi dengan sambel andalan. Udahlah, ini kenikmatan duniawi yang hakiki. Badebest dan gak ada obat kalo kata koh next.

Rumah di kebon jati ini, tidak memiliki banyak kamar. Hanya ada 3 kamar untuk tamu. Sisanya terserah mau tidur dimana. Yang jelas kasur lipat, kasur gulung, kasur busa, tikar ada banyak. Bantal dan guling juga cukup. Jadilah kalau malam kami tidur ngampar di ruang keluarga. Untungnya Sukabumi hawanya gak gerah. Suhunya sejuk bersahabat, sehingga kami gak sampai berkeringat saat tidur. Malah kadang harus selimutan. Karena ketika sudah tengah malam udara dingin dari gunung Halimun atau dari gunung Pangarango turun ke bawah, menghembus penghuni kota Sukabumi. Membuat orang-orang yang sedang tidur makin meringkuk dan menarik selimutnya, untuk tidur lebih dalam.

Kesempatan ngumpul bareng ini kami pakai untuk silaturahmi dengan keluarga yang tinggal di Sukabumi. Ada uwak, om dan tante yang biasa kami sambangi. Sebelumnya kami juga sempatkan untuk ziarah ke makam nenek dan kakek kami. Acara anjangsana selesai esoknya, kami biasanya piknik ke tempat wisata. Kali ini, kami memilih main ke Selabinta. Tempat wisata yang sudah berusia ratusan tahun. Konon sejak jaman Belanda tempat ini menjadi peristirahatan para petinggi /pejabat Belanda. Orang - orang Belanda, zaman dulu menjadikan Sukabumi sebagai tempat perkantoran untuk mengurus perkebunan. Selabintana memiliki pemandangan alam yang indah. Latar belakang gunung Pangrango menambah keindahan nya. Hawanya sudah pasti sejuk dan nyaman. Cuma keindahan itu agak kacau dengan banyaknya orang yang datang ke tempat ini. Belum lagi beberapa sampah plastik, tidak dibuang pada tempatnya. Sangat disayangkan memang.

Kami duduk lesehan di bawah pohon, yang tidak terlalu besar. Kami bersepuluh ngumpul disitu. Ada keponakan-keponakan yang bayi, bocah dan remaja. Yang bocil main layang-layang yang dijual oleh abang-abang yang jualan di sekitar situ. Penjual makanan berderet di pinggir lapangan hijau. Kami hanya duduk-duduk sambil menikmati jajanan. Aneka makanan dijual disitu. Ada cilok, bakso, basreng, siomay, mie instan, pop mie dan lain-lain. Yang bocil, main lari-larian, main layangan, main bola. Yang gedean ikutan menemani sambil mengawasi. Tentu saja diselingi dengan makan. Semua berlangsung biasa dan wajar saja.

Malam hari, kami tidur lelap. Semuanya kecapekan. Seharian jalan dan main-main. Karena sepulang dari Selabintana, masih mampir lagi ke kafe buat menikmati kopi kekinian. Yang penting semua nya happy. Malam berlalu seperti biasanya. Yang kebagian kamar, tidur di kamar. Yang gak kebagian, tidur bareng-bareng ngampar di ruang keluarga, sambil nonton tv. Malam itu agak gerimis. Udara cukup sejuk. Hembusan angin dari gunung cukup berasa. Meski semua jendela dan pintu sudah ditutup. Saya pun sudah terlelap sejak jam 10 malam tadi. Sudah gak bisa menahan kantuk lagi. Meskipun tidur ngampar, dan bukan tidur diatas spring bed, tapi tetap saja nyenyak. Tiba-tiba diantara terlelapnya orang-orang dipeluk malam, terdengar suara teriakan. Suara wanita, berteriak histeris. Antara teriakan dan tangisan. Beberapa orang dari kami terbangun. Suara itu berasal dari kamar di lantai atas. Saya dibangunin istri untuk melihat apa yang terjadi di atas. Dia nya masih malas-malasan dengan mata setengah terpejam. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam.

Saya bergegas ke atas melihat ada kejadian apa. Ternyata diatas, di kamar tengah, keponakan kami Ileana, yang biasa dipanggil Ile, di kerubungi tante dan kakaknya. Menurut tante kami Ile kesurupan. Dia yang tidur sekamar dengannya, mendengar beberapa kali Ile mengigau. Tidurnya gak tenang. Dan tiba-tiba saja berteriak histeris. Sehingga membangunkan kami semua. Ile ini bocil yang masih duduk di bangku SMP kelas 7 (kelas 1 SMP). Dia adalah keponakan kami yang selalu berperan menjadi leader bagi bocil-bocil lain yang masih TK atau yang SD. Ile ditenangkan oleh kakak dan tante nya. Kakaknya beberapa kali meminta Ile untuk beristigfar. Satu persatu keluarga kami mendatangi kamar tempat Ile kesurupan. Sorot matanya tajam, tidak seperti biasanya Ile. Sesekali dia tersenyum aneh. Tepatnya seperti menyeringai. Itu bukan senyum dia. Ngeri juga ngelihatnya. Kami berusaha menanangkan dia. Mencoba mengusir hantu yang merasuki nya. Setelah kami bacakan istighfar dan alfatehah Ile agak tenang. Tapi kemudian tiba-tiba dia menangis kencang.

Kita bingung juga. Saya dan kakaknya akhirnya baca Yasin. Tante mijitin kaki dan tangan Ile. Bacaan Yasin belum selesai, Ile berteriak seperti menangis. Serem juga. Saya melanjutkan bacaan Yasin. Tiba-tiba Ile mulai tenang. Tapi dia tersenyum aneh ke arah kakaknya.  "Ile baca istighfar," kata kakaknya. "Astaghfirullah hal adhim... " kakaknya membimbing nya. Ile menirukan dengan suara yang berat. Seperti suara yang ada memberatinya. Ile mulai tenang. Tapi sesekali masih menangis. Emosinya masih naik dan turun. Belum stabil. Tante memberi air minum ke Ile. Hanya sedikit yang masuk ke mulutnya. 

Sepupu kami, kakak Alfi yang orang sunda asli, akhirnya ikut kebangun. Alfi kemudian berkomunikasi dengan roh/hantu yang merasuki Ile. Dia dengan menggunakan Bahasa Sunda, berusaha mengusir nya. Alfi beberapa kali mengusir dengan keras supaya hantu itu keluar dari tubuh Ile. Ternyata hantu nya nurut juga. Tapi dia belum mau pergi. Dia masih berdiri di luar pintu kamar Ile. Menurut penglihatan dia, "Itu dia udah keluar. Tapi masih di belakang om Din, di depan pintu. Saya yang duduk di pintu, berusaha tidak kaget. "Suruh pergi fi, dari sini" kata saya ke Alfi. "Belum mau dia om, dia masih betah di tempat Ile (di tubuhnya)", imbuh Alfi. Alfi ini memang salah satu keluarga kami yang punya sixth sense. Sebenarnya mirip dengan Ile juga. Belakangan kak Alfi menerangkan sosok yang semalam itu wanita dengan rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya, bajunya panjang, putih lusuh. Mukanya gak jelas. Kebayang dia semalam berdiri tepat di belakang gue. Untung gak pindah nempel ke gw. 

Gak lama bude kami kebangun. Beliau lah tetua di rumah ini. Beliau sudah menempati rumah ini 70 tahun lebih. Dia perlahan memasuki kamar tempat kami berkumpul menenangkan Ile. Dia mendekati Ile dengan tenang. Tapak tangannya di tempel ke dadanya Ile. Sesekali ke jidatnya. Dengan menggunakan bahasa Sunda dan beberapa bacaan surat Al-Quran, dia mengusir roh yang merasuki Ile. Bude komat kamit dalam Bahasa Sunda yang fasih banget, saya gak paham ngomong apa. Meski kosa kata Bahasa Sunda saya minim, tapi saya masih sedikit memahami apa yang dimaksudkan bude. Bude mengulang beberapa kali mantra dan doanya. Intinya bude meminta roh yang merasuki Ile untuk pulang ke tempat asalnya. Disini bukan rumahnya. Rumahmu di Selabintana. Atas persuasi bude, gak butuh lama, hantunya benar-benar pergi meninggalkan rumah. Akhirnya ile lemas, lunglai. Capek karena kerasukan rohnya cukup lama. Ternyata bukan dari malam hari. Tapi dari sore hari. Tepatnya sepulang dari Selabintana.

Jadi ceritanya, Ketika kami main-main di Selabintana tadi siang. Ile secara tidak sengaja melihat dan menatap hantu, penghuni pohon besar di depan kami semua duduk lesehan. Nah ketika Ile (secara tidak sengaja) melihat hantu ini, dia malah nanya-nanya ke hantu tersebut. "Kamu siapa?" Ile bertanya. Hantunya tidak mwnjawab, hanya tersenyum. Eh Ile masih penasaran, "ngapain kamu disini?"... "Rumahku disini" jawab hantunya kalem. Ile ini memang memiliki penglihatan sixth sense, yang tidak disadarinya. Akibat komunikasi dengan hantu itu, ternyata si penghuni Selabintana itu ngikut ke rumah. Sebenarnya saya tadi juga sempat memotret pohon besar  tersebut, karena menurut gue pohonnya menarik. Dan percaya gak, meski pohon itu rindang gak satupun orang yang duduk dibawahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun