Sejak munculnya akar kesejarahan humanisme Islam dapat dilihat dari
pertama kalinya digunakan istilah tersebut, terutama dipakai untuk pertama
kalinya oleh para pemikir dari abad 14 M menjelang berakhirnya abad
pertengahan sampai Renaissance. Pada abad peralihan ini, pemikiran manusia
menghadapi suatu lompatan signifikan dan perubahan cara pandang yang sangat
mendasar terkait perbincangan tentang alam semesta (makro-kosmos) kepada
perbincangan tentang manusia (mikro-kosmos).
Memasuki permulaan abad ke-15 Masehi, lingkungan pendidikan di Eropa
terutama di Italia telah terpengaruhi oleh humanisme. Humanisme tersebar
melalui paradigma, pemikiran, dogma-dogma atau ajaran-ajaran agama memasuki
ranah pendidikan, seperti sekolah dan universitas. Pada sekitaran abad ke-19, kata
humanisme dikenal sebagai suatu istilah di dalam wacana filsafat. Pada saat
memasuki awal abad ke-20 Masehi, para cendekiawan seperti Jaquet Maritain,
Bernard Muchlandm Boissard, Ali Syariati, dan Sayyid Vahiduddin, serta
cendekiawan lainnya mulai memahami bahwa memisahkan antara agama dan
humanisme menyebabkan berbagai kesenjangan, dan mereka mengatakan bahwa
antara keduanya bukanlah hal yang bertentangan, sedangkan keduanya saling
memberi dan melengkapi.
Berdasarkan analisis secara historis dan etimologis, dapat disebutkan
bahwa inti-inti permasalahan yang menjadi kajian utama humanisme, diantaranya:
a) Pembelaan terhadap nilai-nilai moral dan jaminan kebebasan manusia.
b) Fokus pada aspek-aspek naturalistik (hak-hak dasar) manusia.
c) Dorongan toleransi baik dalam pandangan filsafat dan agama.
d) Diskusi keagamaan mencakup persoalan tentang metafisika (Tuhan).
Humanisme sebagai suatu tinjauan pada bidang filsafat, maka humanisme
sangat relevan untuk digunakan sebagai tanggapan untuk memperoleh alternatif
pemikiran saat mengahadapi fenomena-fenomena dari proses atau tindakan tidak
manusiawi atau merendahkan seseorang (dehumanisasi) seperti saat ini.
Humanisme Islam merupakan aliran yang lahir dari awal Renaissance,
yang mana merupakan bentuk legalisasi (pengakuan) terhadap martabat dan
hakekat manusia secara individual serta suatu upaya untuk menampilkan
keterampilan atau kemampuannya. Pada masa perkembangannya, pembicaraan
tentang humanisme Islam tidak begitu populer dikalangan pemikir Islam. Hal
tersebut disebabkan oleh pandangan terkait hal tersebut merupakan hasil
pemikiran dari filsafat, sementara itu tidak semua umat Islam mau berinteraksi
dengan filsafat atau bisa dikatakan bahwa sebagian umat Islam merasa
hipersensitif dengan istilah filsafat.
Dalam Islam, pemikiran tentang humanisme sudah dimulai sejak awal
sejarah Islam, yaitu saat terjadi kontroversi antar aliran kalam terkait persoalan
takdir manusia. Persoalan yang sering dipertanyakan adalah tentang apakah
manusia mempunyai atau tidaknya suatu kebebasan untuk menentukan takdirnya,
selain ditentukan oleh Tuhan. Kekuasaan dan kebebasan manusia untuk
menentukan terhadap takdirnya tanpa adanya yang mencampuri atau suatu
kekuatan yang berada di luar dirinya, itu merupakan hal yang diisyaratkan oleh
humanisme. Pengertian Islam secara manuskrip (teks) diartikan sebagai ketaatan
dan kepatuhan kepada suatu kekuatan yang berada di luar diri manusia, yang
menentukan takdir manusia adalah Tuhan. Para Islamolog Barat atau orientalis
mengartikan Islam itu hanya berdasarkan unsur-unsur di luar Islam, menyamakan
Islam dengan tidakan terorisme, fanatisme, tertutup, dan lain sebagainya. Dan mereka juga memandang bahwa Islam sebagai suatu agama yang tidak
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Tokoh Abdurrahman Wahid merupakan salah satu tokoh di antara sekian
banyak tokoh Islam yang gencar mengangkat gagasan humanisme Islam. Namun,
Abdurrahman Wahid menggunakan istilah humanitarianisme dalam menyebut
gagasan humanisme-nya, karena penyebutan tersebut dimaksud untuk
memperbincangkan dan memberikan penghargaan atau apresiasi terhadap semua
hal baik pada manusia dan ditambah perhatian serta kesejahteraan setiap individu.
Berdasarkan ketundukan dan ketaatan kepada Tuhan menjadi asas paling tinggi
dalam gagasan humanitarianisme.
Penulisan ini berfokus kepada pemikiran humanisme perspektif Gus Dur.
Nama lengkapnya Abdurrahman Wahid, lahir pada tanggal 7 September 1940 di
Jombang, Jawa Timur. Abdurrahman Wahid biasa dipanggil dengan Gus Dur.
Gus Dur merupakan putra pertama dari sepasang suami istri yang bernama Wahid
Hasyim dan Sholehah. Gus Dur lahir dalam keluarga terpandang dan terhormat.
Gus Dur wafat pada usia 69 tahun, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009 di
Jakarta.
Humanisme Islam yang dipelopori oleh Gus Dur bertumpu pada cara
pandangan masyarakat yang bebas, terbuka, dan moderat yang akan memberikan
nilai-nilai khas kepada masyarakat. Menurut Gus Dur, dalam menyelesaikan
persoalan kemiskinan tidak bisa hanya berharap pada pendekatan yang bersifat
legalistik-formal, penafsiran mentah-mentah terhadap teks agama (skriptualistik),
atau alternatif world view (pandangan dunia). Menurut Gus Dur, untuk
menyelesaikan permasalahan kemiskinan dapat diatasi dengan cara
mengembangkan instansi atau lembaga kemasyarakatan secara adil, berusaha
menegakkan demokrasi yang orisinal (murni), dan menolak semua aspek
ketidakadilan dalam semua bidang yang ada, serta berusaha mengevaluasi ulang
keimanan. Dengan begitu permasalahan kemiskinan dapat diatasi dengan adil. Dari permasalahan tersebut, maka dapat diyakini bahwa pemikiran humanisme
Gus Dur mampu merespon permasalahan kemanusiaan.
Humanisme Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan humanisme Islam
yang berkorelasi dengan ajaran-ajaran Islam seperti tentang toleransi dan
keharmonisan sosial yang melekat pada budaya umat Muslim yang mendorong
mereka agar tidak takut terhadap situasi plural (keterbukaan atas keberagaman)
yang berada di tengah kehidupan modern, maka harus diterima dengan positif.
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa humanisme-nya adalah wujud
pluralisme dalam bertindak dan berpikir, karena hal tersebut dapat melahirkan
suatu toleransi. Dan juga, sikap toleran itu tidak bergantung pada apapun, akan
tetapi legalisasi (pengakuan) kepada pluralitas itu merupakan permasalahan hati
atau perasaan dan perilaku. Menurut Abdurrahman Wahid, ruang lingkup
humanisme ini harus diturunkan dalam beragam jenis term atau istilah penting,
seperti jaminan kebebasan beragama, jaminan adanya perlindungan hak-hak dasar
kemanusiaan, budaya yang demokratis, dan perlindungan kelompok atau golongan
kecil (minoritas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H