Sudah sebulan lebih saya menjalani peran yang bagi saya itu 'berat'. Berat dalam arti saya harus mengantar, menunggu, dan menjemput anak saya Alicia yang berkebutuhan khusus (disingkat abk/anak berkebutuhan khusus) untuk bersekolah di Sekolah Dasar. Sehabis melakukan tugas saya itu, saya langsung menuju kantor, tepatnya tempat editing untuk bekerja. Berat karena apa? Saya melakukan double job, yaitu tanggung jawab saya sebagai ibu dari abk dan sekaligus pekerja. Namun, ini semua saya lakukan dengan hati yang senang, karena saya mencintai 2 pekerjaan ini. Seandainya anak saya tidak berkebutuhan khusus, mungkin saya tak perlu sampai harus menunggu nya di sekolah. Tapi, abk butuh perhatian, dan kasih sayang lebih agar dia mampu untuk akhirnya menjadi anak 'normal'. Cc panggilan Alicia, merupakan abk yang didiagnosa ADD/Attention Deficit Disorder. Dalam pelajaran Cc mampu menyerap segala ilmu yang diberikan, lantaran dia mempunyai Photographic Memory, dimana daya ingatnya sangat luar biasa. Kekurangannya, Cc belum bisa bersosialisasi, hanya ikut-ikutan, dan terkadang asyik sendiri. Namun, dia bisa dipanggil, disapa, disuruh melakukan apapun. Hanya saja komunikasi kurang, masih sering membeo, padahal ngomong lancar. Kalau tidak ditanya Cc jarang membuka percakapan. Dan terkadang masih suka tantrum, atau tiba-tiba menangis atau marah tanpa sebab. Menurut psikolog, itu akibat Cc belum bisa menyampaikan atau mengungkapkan perasaannya. Ini yang musti terus diperbaiki. [caption id="attachment_807" align="aligncenter" width="388" caption="Alicia - Cc"][/caption] Cc menunjukkan peningkatannya tatkala dia masuk ke sekolah khusus di dekat rumah, disana Cc dilatih untuk memperbaiki semua kekurangannya dan Puji Tuhan Cc perlahan mulai bisa mengontrol dirinya dan sangat terlihat perkembangannya disana. Mulai tahun ajaran baru kemarin, Cc sudah didorong dan direkomendasikan untuk bersekolah di sekolah inklusi yaitu sekolah umum atau sekolah biasa yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi sekolah ini campur, antara anak biasa dan abk. Bagusnya di sekolah inklusi swasta tempat Cc bersekolah ini, 1 kelasnya hanya berisi maksimal 15 anak, dengan 2 guru. Sehingga anak-anak akan mendapat pengawasan yang melekat. Amin. Namun, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam kerjasama sekolah dengan orang tua murid, agar abk bisa lebih baik dan menjadi anak normal. Nah, selama saya mengawasi Cc di sekolah inklusi ini banyak sekali yang saya lihat dan membuat saya makin yakin bahwa anak saya bisa. Banyak anak di sekolah ini yang (maaf) kondisinya tidak lebih baik dari Cc, ada yang sama sekali belum bisa berkomunikasi, benar-benar hiperaktif, asyik dengan dunia sendiri dan susah sekali dipanggil, serta masih banyak lagi. Disini saya dibukakan mata, agar lebih mensyukuri keadaan. Toh, anak-anak itu adalah karunia luar biasa dari Yang Maha Kuasa bukan? [caption id="attachment_801" align="aligncenter" width="388" caption="Keterangan :1. Foto atas : saat merayakan ulang tahun teman sekelasnya2. Foto bawah : saat mengikuti lomba 17 an di sekolah"]
Keterangan : 1. Foto atas : saat merayakan ulang tahun teman sekelasnya 2. Foto bawah : saat mengikuti lomba 17 an di sekolah
[/caption] Dari berbagai obrolan saat saya menunggu Cc, ternyata banyak abk yang berprestasi bahkan sampai bisa menjadi juara fisika di negeri orang. Salut!! Bukan hanya itu, abk lulusan SMK di sekolah inklusi ini bahkan ada yang bisa diterima di salah satu universitas terbaik disini. Luar biasa!!! Tapi saya tak berharap muluk-muluk, saya hanya ingin Cc normal, bisa berkomunikasi alias ngobrol dengan lancar dan bersosialisasi dengan orang lain. Itu butuh proses, dan jangan berharap instan, namun saya akan terus berusaha meski dengan tetesan keringat serta air mata, demi mewujudkan masa depan Cc yang lebih baik dan mandiri. Jangan salah lho, Cc pernah menjadi juara harapan 1 lomba tuna grahita se Jakarta Selatan dengan perjuangannya, melalui audisi hingga lolos ke final. Sebagai mamanya, saya memberi dukungan penuh dan bahkan mewek-mewek terharu saat anak saya ini berani tampil di depan publik. [caption id="attachment_799" align="aligncenter" width="388" caption="saat berlaga di final lomba nyanyi se Jakarta Selatan"]
saat berlaga di final lomba nyanyi se Jakarta Selatan
[/caption] Sebenarnya Cc bisa bersekolah di sekolah umum yang bukan inklusi, namun pernah saya mencoba, dan ditolak. Padahal harusnya bisa, dengan mendatangkan shadow teacher yang akan mendampingi abk saat bersekolah. Sempat saya sedih, anak saya sebenarnya bisa, kenapa ditolak? Seolah penyakitan atau apa. Padahal abk butuh kesempatan, kesempatan bergaul dengan anak biasa agar mereka juga bisa menjadi anak biasa. Ternyata bukan hanya saya, ibu-ibu lain juga mengalami hal yang sama. Masih banyak yang kurang atau malah tidak berempati dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Padahal yang mereka butuhkan hanya kesempatan. Toh mereka sehabis bersekolah tetap menjalankan terapi untuk menjadi anak yang lebih baik. Belum lagi kasus bullying. Saya pernah menulis soal bullying ini. Bisa ditengok diÂ
http://wp.me/p1rWgI-6C saya mendapat cerita dari orang tua abk dimana anaknya mendapat bullying dengan ejekan-ejekan dari anak-anak biasa. Sakit hati dan sedih pastilah dirasakan orang tua abk. Jangan salah, di awal Cc sekolah di sekolah inklusi ini pun Cc sempat mendapat bully dari kawan-kawan normalnya. Di depan mata kepala saya sendiri, saya melihat saat anak-anak itu mengejek Cc yang mempunyai kebiasaan memegang dagunya bila gregetan. Cc diejek. Saya yang sedih dan sakit rasanya. Padahal Cc cuek, karena dia tidak mengerti...tapi hati saya rasanya diiris-iris. Ini sudah sekolah inklusi lho, apalagi yang sekolah biasa :( saya tidak berdiam diri, saya laporkan ke guru kelas dan guru pengawas, dengan sentuhan mereka, akhirnya anak-anak normal itu pun diberi pengertian sehingga tidak mengejek abk dan justru harus membantu abk. Fyi, sekolah inklusi Cc ini memang mempunyai visi dan misi bagi anak normal untuk mempunyai empati dan membantu abk. Good!! Thanks God! [caption id="attachment_810" align="alignleft" width="310" caption="Me and my two angels"]
[/caption] Rasanya empati inilah yang belum dimiliki semua orang terhadap abk. Coba put yourself in my shoes, then you'll understand how it feels to be a mother of kid with special needs. Namun saya sangat salut dan bangga terhadap teman saya Revo, yang justru menyekolahkan anaknya yang normal di sekolah inklusi agar anaknya mempunyai empati terhadap teman-teman yang berkebutuhan khusus. Salut Vo!!! Beruntung saya mempunyai teman-teman dan atasan yang mempunya empati yang luar biasa terhadap saya dan Cc sehingga saya bisa memberi perhatian lebih ke anak saya ini. Terima kasih semua!! Tidak semua memang mempunyai teman atau atasan yang mengerti, tapi hei, mari kita beri pengertian kepada mereka. Banyak orang memandang sebelah mata terhadap abk, padahal mereka bisa lho gugling seperti apa abk, ada tingkatannya, kalau memang parah, ya tidak akan disekolahkan di sekolah umum, tapi kalau memang bisa, mengapa tidak? Itu justru akan memberi anak-anak berkebutuhan khusus suatu dorongan dan keinginan untuk menjadi anak normal. Dukungan atau empati itu bisa kok dengan hal yang sederhana, misalnya tidak menggunakan kata autis sebagai guyonan. Bagaimana perasaan orang tua yang mempunyai anak autis? Saya masih ingat, ada seorang teman. Kala itu (kejadian ini sudah lama sekali) dia menge tweet dengan menggunakan kata autis tidak pada tempatnya. Saya mention dan mengingatkannya, apa yang terjadi? Dia malah tidak membalas bahkan unfollow saya. Padahal dia seorang ayah yang mempunyai anak, dimanakah empati itu? Dia juga orang berpendidikan, dengan bidang kerja yang sama namun mengapa justru malah seperti ini. Ah, lupakan, banyak orang lain yang punya empati dibanding seorang ini kok. Di sekolah Cc ini saya merasa terharu melihat abk-abk yang bersekolah disini. Mereka lama-lama bisa menyapa, sekedar mencoba mengajak bicara meski terpatah-patah dengan kondisi yang berbeda-beda. Kami disini sebagai orang tua yang menunggu anak, juga saling menjaga, kalau ada yang tiba-tiba tantrum, atau ada yang mau keluar pagar, kami juga ikut membantu mengawasi selain satpam dan guru-guru pengawas lainnya. Setiap jam istirahat, selalu ada guru jaga yang mengawasi anak-anak bermain, yang menyendiri atau asyik sendiri akan diarahkan supaya bergaul, dan lain-lain. Tanpa cinta dan kasih sayang ini semua tak akan terjadi. Betapa hebat pengabdian para guru disini. Ya cinta, akan mengalahkan segala kesusahan dan kesulitan yang kita hadapi seberapa beratnya itu. Ada hal lain yang mengganggu pikiran saya. Saya beruntung bisa menyekolahkan Cc ke sekolah inklusi swasta meski dengan biaya yang tidak sedikit. Namun semua saya lakukan demi anak saya. Tapi bagaimana dengan yang (maaf) kurang mampu. Ini mengusik pikiran saya. Mempunyai abk saja merupakan hal yang sedikit banyak menyita pikiran dan waktu, bagimana dengan yang lain ini? Misalkan saja seorang ibu penjual sayur di pasar, yang (maaf) mungkin tidak ada biaya dan waktu untuk memberi perhatian lebih kepada abknya, sementara di sisi lain, dia juga harus bekerja. Itu yang terlintas  di benak saya. Betul ada sekolah inklusi negeri, namun berdasarkan obrolan dengan sesama orang tua murid yang pernah survei sekolah inklusi termasuk sekolah inklusi negeri, mereka berpendapat sekolah inklusi negeri masih kurang, khususnya dalam jumlah murid yang tergolong banyak dalam 1 kelas, mencapai 30-40 anak dengan 2-4 abk. Meski dengan 2 guru, namun bagaimana dengan pengawasannya? Rasanya berat. Belum lagi terapi. Abk membutuhkan terapi juga, dengan biaya tidak sedikit. Lalu bagaimana dengan nasib abk-abk ini? Saya berharap suatu saat ada terapi murah untuk abk-abk kurang mampu. Karena biar bagaimanapun mereka juga berhak mendapat hidup yang lebih baik dan normal. Semoga...suatu saat mereka bisa mendapat kesempatan ini. Tapi satu hal yang saya tekankan, adanya pengertian kepada khalayak luas bahwa abk juga bisa maju, asal diberi kesempatan dan dukungan. Banyak kok abk yang berhasil dan sukses. Coba tengok Albert Einstein. Einstein menderita Sindrom Asperger, sebuah kondisi yang berhubungan dengan autisme, dan belakangan diketahui penyandang disleksia. Kegemaran Einstein adalah membaca, berfikir dan belajar sendiri. Tak heran jika guru-guru menganggapnya pemalu, bodoh, malas belajar, dan pelanggar tata tertib. Namun lihatlah dia.... [caption id="attachment_804" align="alignleft" width="300" caption="Sumber : the guardian.com"]
Sumber : the guardian.com
[/caption] Siapa yang tak kenal Ludwig Van Beethoven, yang merupakan komposer dunia penyandang tunarungu. Beethoven sudah dianggap sebagai salah satu pengarang lagu terhebat sepanjang sejarah. Ia melakukan pertunjukan pertamanya sebagai pianis pada usia 8 tahun. Pada usia 20an ia menjadi terkenal sebagai seorang pianis handal yang memiliki bakat tak terduga dan improvisasi yang menakjubkan. Akan tetapi pada tahun 1976, Beethoven mulai kehilangan pendengarannya. Namun justru membuat dia termotivasi untuk menciptakan berbagai karya musical yang terkenal sampai sekarang, seperti :Â
The 9th Symphony, The 5th Piano Concerto, The Violin Concerto, The Late Quartets, and his Missa Solemnis. Pencapaiannya ini justru saat menjadi tuli selama 25 tahun atau lebih. Cita-cita saya hanya satu....mengantar Cc menjadi anak normal, mandiri dan bisa seperti anak lainnya.... Saya percaya dengan restu Nya Cc bisa!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya