Mohon tunggu...
Dinsa Selia Putri
Dinsa Selia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - semoga bermanfaat

ikuti alurnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sepotong Kisah di Penghujung Semester

29 Mei 2022   13:36 Diperbarui: 29 Mei 2022   13:38 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin tulisan ini akan menjadi tulisan penutup di semester ini. Dimana pada semester-semester berikutnya belum tentu masih berkesempatan untuk tetap menulis sesering ini. Sesering yang saya maksud adalah dalam sebulan minimal ada 1-2 tulisan baru yang bisa dipublikasikan. Sebenarnya kalau ditanya apakah masih ada keinginan untuk tetap menulis pasti ada. Karena menurut saya pribadi keren aja kita bisa membuat tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati orang lain, setelah dulu hanya hobi untuk nulis dibuku diary saja yang tentunya sangat rahasia sekali. Setidaknya ada kemajuan yang terjadi didalam hidup saya. Terlepas dari bagaimana tulisan saya yang jelas saya cukup bangga dan sangat mengapresiasai diri saya sendiri.

Semester 2 sudah hampir usai dan ucapkan selamat datang untuk semester 3 setelah libur panjang nanti. Tentang semester 2 ini sebenarnya banyak sekali hal-hal menarik dan cerita-cerita yang tentu saja sayang sekali untuk dilewatkan. Apalgi sebagian besar dari apa yang terjadi disemester 2 ini merupakan pengalaman pertama yang saya alami dan tentunya saya amat sangat beruntung bisa menjadai bagian dari cerita yang seru ini. Semua ini dimulai ketika saya menulis artikel pertama disemester ini, yaitu tentang mengenal lebih dekat salah satu dari teman kelas. Suatu kesempatan yang luar bisa juga yang saya alami karena baru pertama ini saya mendeskripsikan seorang teman tidak hanya melalui sebuah ucapakan belaka melainkan menjadi sebuah tulisan yang dia sendiri bisa untuk menikmatinya. Kemudian hal ini berlanjut pada tulisa mengenai kedua oranng tua saya yaitu ayah dan ibu. Saya lupa terakhir kapan menulis tentang ibu atapu ayah, mungkin ketika saya masih SD. Mendeskrisikan beliau dengan tulisan yang amat sangat polos khas anak kecil dengan isi tulisan tidak jauh berbeda dengan diluaran sama. Tentang ibu yang baik hati dan ayah yang hebat bak superhero didalam kehidupan keluarganya. Tulisan yang saya tuli tentang mereka berdua beberapa waktu lalu mungkin sedikit berbeda karena setiap orang memiliki versinya masinng-masing untuk mendeskripsikan ayah dan ibi mereka. Akan tetapi yang jelas dalam tulisan tersebut berisi tentang bagaimana hebatnya ayah dan ibu menjadi otang tua untuk anak-anaknya. Mungkin, ayah dan ibu tidak membaca tulisan yang saya buat ttentang mereka, tetapi sejujurnya lagi-lagi menjadi suatu kesempatan yang luar biasa untuk saya karena berkesempatan untuk menulis tentang ayah dan ibu. Karena saya juga sadar betul bahwa semakin dewasa ksempatan untuk seperti ini akan jarang sekali saya dapatkan. Ditambah terkadang kita kesusahan sekali untuk mendeskripsikan dengan lisan bahwa sebenarnya kita juga sayang dengan orang tua. Sehingga dengan adanya tulisan ini sedikit membantu dan menjadi bukti bahwa saya bangga memillki mereka dalam hidup saya.

Berlanjut dengan cerita-cerita menarik lainnya, pada bagian ini merupakan salah satu bagian yang sangat membekas sekali. Karena untuk pertama kalinya selama belasan tahun saya hidup, ini adalah kali pertama saya mengunjungi dan bahkan bertemu langsung dengan tokoh agama lain selain agama saya. Hal yang biasanya hanya bisa saya saksikan langsung melalui televisi, buku atapun media. Mungkin memang terlihat sangat norak, tetapi hal ini memang benar adanya bahwa saya benar-benar tidak menyangka. Karena memang dari kecil sampai sekarang saya tinggal dilingkungan yang mayoritas beragama islam. Bahkan, saya belum pernha menemui yang beragama selain muslin disekitar tempat tinggal saya. Jika ditanya apa yang saya rasakan ketika mengalami hal tersebut, jawabannya adalah campur adauk. Bingung, gugup dan rasa takut lebih mendominasi kala itu. Tetapi semua perasaan itu perlahan hilang ketika dengan ramahnya dan senyum yang lebar menyambut kami. Dari gestur tersebut seolah mengatakan bahwa perbedaan terlalu indah untuk dijadikan alasan kita terpecah. Masih teringat betul bagiman senyum tulus Bapak Yoris selaku Pastur di salah satu Gereja Katolik di Kota Malang yang dengan antusianya menjawab beberapa pertanyaan yang saya dan teman-teman ajukan tanpa ada unsur memojokkan atau melebih-lebihkan satu sama lain. Sangat terlihat jelas saat itu bahwa beliau ini begitu menjunjung tinggi arti sebuah toleransi dalam perbedaan. Beliau juga sangat bijak dalam menanggapi isu-isu agama yang tengah ramai diperbinjangkan publik akhir-akhir ini. Setelah dari Gereja tulisan ini masih berlanjut hingga mengantarkan saya bertemu dengan Bapak Rudi yang merupakan Ketua Pengurus dari Klenteng Eng An Kiong. Kedatangan saya dan teman-teman pada saat itu juga disambut tak kalah ramah oleh Bapak Rudi. Bahkan pada saat itu kita juga disuguhkan masing-masing orang sebotol air minum. Mungkin untuk sebagian orang hal ini adalah suatu hal biasa, namun bagi kami itu sangatlah luar biasa. Karena hal ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa bukan tidak mungkin untuk kita selalu hidup berdampingan layaknya dengan moto "Bhinneka Tunggak Ika". Tanpa rasa keberatan ataupun terganggu, dengan sabar beliau menjelaskan setiap sudut yang ada di Klenteng tersebut meskipun hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar saat itu. Diakhir perbincangan belaiu juga tidak ragu mengundang kami untuk datang diacara keagamaan yang akan diadakan keesokan harinya di Klenteng Eng An Kiong.

Begitu banyak sekali cerita-cerita menarik yang telah saya alami disemester 2 ini. Dimana pengalaman ini belum tentu bisa saya dapatkan kembali dikemudian hari. Dari teman saya Wulidatul Imroah saya belajar bahwa mimpi itu patut diperjuangkan. Mungkin kita akan merasa lelah bahkan putus asa ketika jalan menuju mimpi itu tidak muda. Tetapi kita tetap tidak boleh menyerah untuk menjari jalan itu. Dari ayah dan ibu, saya juga belajar bahwa ketika menjadi orang kebahagian anak adalah yang utama dan saya benar-benar beruntung bisa lahir menjadi anak dari orang tua hebat seperti mereka. Dari Bapak Yoris dan Bapak Rudi saya juga belajar bahwa pada dasarnya semua agama itu mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Dan dari pemilu mengingatkanku bahwa negara ini demokrasi, sehingga semua orang berhak untuk menjadi pemimpin. Dari sosok Mbah Giyah saya juga belajar bahwa kehilangan seseorang adalah suatu hal yang pasti akan dialami oleh semua orang dan yang harus kita lakukan untuk itu adalah bangkit dan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Saya juga sangat berterima kasih dengan Guru-guru Ngaji saya, karena telah sangat tulus dan ikhlas mengajarkan banyak hal tentang Islam.

Saya benar-benar sangat bersyukur bisa mengalami hal-hal yang luar bias aini dalam hidup saya. Karena dari sosok-sosok hebat ini saya belajar dan sadar bahwa hidup bukan hanya tentang diri sediri, tetapi juga tentang banyak hal dan orang-orang disekitar kita.

Disclaimer: Cerita ini saya alami dan saya tulis ketika saya masih menjadi mahasiswa semester 2. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun