Mohon tunggu...
Dinsa Selia Putri
Dinsa Selia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - semoga bermanfaat

ikuti alurnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kehangatan yang Membawa Kedamaian di Klenteng Eng An Kiong

24 Maret 2022   22:05 Diperbarui: 24 Maret 2022   22:07 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tidak usah heran ya, karena memang selama dua minggu ini membahas mengenai berbagai tempat-tempat ibadah yang ada di Malang khususnya, dengan segala ciri khasnya masing-masing.  Mulai dari gereja, klenteng, vihara dan masih banyak lagi. Dan sepertinya memang aku harus lebih banyak-banyak lagi untuk menjelajahinya. Setelah minggu lalu membahas tentang gereja klasik yang megah itu, maka tiba saatnya bahasan ini berlanjut dengan klenteng. Sebagai tempat ibadah yang terakhir aku kunjungi selain masjid tentunya. Sebenarnya ini kali pertama aku berkunjung ke tempat ibadah selain masjid seperti ini. Entah aku yang mainnya kurang jauh apa bagaimana, tetapi memang beginilah keadaan yang sebenarnya.  

Hari itu ditengah teriknya matahari dan udara Malang yang tidak terlalu sejuk hanya dengan bermodalkan maps kita nekat untuk mengunjungi sebuah pura sebelum berlanjut ke klenteng. Kenapa ku sebut kita? Karena waktu itu aku tidak sendirian. Bermodalkan maps dan informasi dari internet tersebut akhirnya kita tidak memperoleh apapun.  Alasannya karena pura tersebut masih berada dikawasan militer, sehingga untuk mengunjunginya diperlukan perizinan dari pusat yang sedikit ribet. Bukan sedikit, tapi memang ribet sekali. Begitulah kira-kira yang dikatakan oleh Bapak TNI yang menjaga di pos informasi dan pelaporan pada saat itu.

Kini kita akan memasuki bahasan yang sebenarnya dari tulisan ini. Ketika pertama kali datang ke Klenteng Eng An Kiong kita akan disambut dengan bangunan klasik yang didominasi dengan warna merah dengna sentuhan warna gold yang begitu menawan. Memasuki area klenteng aku tidak segugup ketika datang ke gereja seperti sebelumnya. Justru perasaan tenang dan nyaman yang aku rasakan. Lagi-lagi kita diberi kemudahan oleh Allah SWT pada saat itu, dimana kita dapat bertemu langsung dengan ketua dari klenteng itu yaitu Bapak Rudi. Sesampainya disana kita juga diberi sebotol air minum ditambah senyuman ramah dari staf klenteng tersebut. terlihat biasa saja atau bahkan sepele, namun itu merupakan suatu bentuk kepedulian dan kehangatan yang begitu romantis ditengah perbedaan ini.

Dengan penuh keramahan dan kehangatan Bapak Rudi tidak ragu untuk mejelaskan tentang Klenteng Eng An Kiong tersebut. Berdasarkan dari sejarah kota Malang ada dua versi yang menyebutkan tentang tahun pendirian dari Klenteng Eng An Kiong ini. Yaitu antara tahun 1825 dan tahun 1835 sebagai tempat beribadah bagi pemeluk agama Ji (Khonghucu), Too (Tao), dan Sik (Buddha). Ya kalian memang tak salah membacanya, klenteng ini memang merupakan tempat peribadahan dari tiga agama sekaligus. Sangat indah bukan toleransi yang ada disini?. Eng An Kiong sendiri memiliki arti "Istana Keselamatan dalam Keabadian Tuhan".

Sedangkan pada tahun 1940 menurut data Khong Kouw Sian menyebutkan bahwa tempat suci yang dipersembahkan untuk menghormati Kongeo (yang muluia) 'Hok Tik Cing Sien' (menegakkan Kehidupan Rohani), Beroleh Berkah dalam Kebajikan). Klenteng ini didirikan atas inisiatif Letnan Kwee Sam Hway (Yauw Ting Kong) yang menjabat pada tahun 1842-1863. Dimana setelah Letnan Kwee Sam Hway (Yauw Ting Kong) meninggal tempat suci ini dipegang secara berurutan oleh kedua anak laki-lakinya yakni Letnan Kwee Sioe Ing (Guo Mao Chuan), yang menjabat di tahun 1864-1880 dan kemudian diteruskan oleh anak keduanya yaitu Letnan Kwe Sioe Go (1880-1889). Setelah dipegang oleh kedua anak beliau kemudian secara berturut-turut dilanjutkan oleh tokoh masyarakat Tionghoa lainnya.

Memasuki area Klenteng arsitektur yang ada didalam klenteng justru terlihat lebih menarik dengan benda-benda klasik yang memiliki sejarah yang sayang untuk dilewatkan. Tidak jauh berbeda dengan bagian luarnya, untuk warna bagian dalampun tetap didominasi oleh warna merah dan emas. Dimana warna merah ini memiliki makna keberuntungan dan warna emas memiliki makna keagungan. Bagian dari Klenteng yang kita kunjungi adalah bagian depan klenteng. Dimana pada bagian depan ini terdapat Singa (Im Yang), sebagai lambang penjaga. Pilar depan yang berjumlah delapan buah yang melambangkan unsur Pat Kwa. Hio Lo berukuran besar yang berkaki untuk menancapkan dupa (hio) dan Kim Lo berukuran besar untuk penyempurnaan upacara ritual. Saat itu dengan senang hati Bapak Rudi juga memperlihatkan kepada kami bagaimana caranya untuk menancapkan dupa. Beliau mengatakan bahwa setelah dupa dibakar dengan api untuk memadamkannya kita tidak boleh dengan cara meniupnya, tetapi harus dilakukan dengan cara digerakkan dupanya hingga apinya padam. Hal ini karena dupa itu suci dan harus bersih, bahkan orang yang membuat dupa juga harus dalam keadaan bersih dan wangi ketika membuatnya. Ada tida dupa yang diambil untuk beribadah. Dimana tiga batang hio itu mempunyai lambing yang berbeda yaitu  doa untuk langit, bumi dan manusia. "Langit untuk para dewa, kalau bumi alam ini semoga selaras, dan manusia semoga manusia damai, rukun saling sapa dan tata krama. Langit itu menurunkan hujan dengan tepat waktu.

Dibagian ruang utama juga terdapat beberapa lukisan yang memilki arti disetiap lukisannya. Lukisan yang telah berhasil menarik sebagian besar atensiku adalah lukisan-lukisan yang menggambarkan tentang bakti anak kepada orang tua. Salah satunya adalah lukisan yang menggambarkan tentang seorang anak yang dengan sengaja melepas bajunya agar nyamuk-nyamuk yang ada beralih menggigit dirinya dibandingkan orang tuanya yang sedang tidur. Selain lukisan ada pula kalender penanggalan cina. Biasanya pada tanggal 15 adalah saat yang tepat untuk kita melihat full moon. Pada saat ini juga masyarakat Tionghoa membawa buah-buahan dan kue-kue sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat kehidupan yang telah diberikan oleh Dewa.

Dari tulisan saya yang ini dan minggu lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk kita bisa saling berdiskusi satu sama lain. Apalagi kita hidup dinegara yang begitu majemuk sehingga mau tidak mau kita harus terbiasa dengan perbedaan yang ada. Lalu jika kita bisa menjalani kehidupan yang damai maka itu akan lebih baik dibandingkan kita saling berseteru

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun