Dalam derai hujan air mata Ibu Pertiwi
Sang Saka Merah Putih tetap gagah berkibar
24 jam sehari
30 hari dalam sebulan
365 hari dalam setahun
Walaupun selama itu pula
Tak pernah dihormat
Bahkan sekedar dilihat
Sampai warnamu kusam dan pucat
Hingga badan terobek dan cacat
Tak henti menjaga tanah warisan leluhur
Dalam talu gemuruh
Berirama sambaran petir
(Saat hujan deras Minggu (21/11/2010) sore di depan kantor Kecamatan Kapetakan Cirebon)
Banyak yang berteriak marah ketika harga diri bangsa Indonesia dicampakkan.Malaysia yang menghina, Saudi Arabia yang mengabaikan, dan berbagai negara lain tak lepas dari umpatan.
Sebegitu cintakah kita pada Indonesia?
Lihatlah sejenak keluar rumah, didepan perkantoran termasuk instansi pemerintah.Adakah Sang Saka berkibar dengan gagahnya?Insya Allah, ya….
Lanjutkan pengamatan, ketika malam menjelang, apakah bendera kebanggaan bangsa itu tetap tidak turun dari tiangnya?Sebuah rasa cinta yang kebabalasan, terlalu cinta, cinta buta.Wujud cinta kepada bangsa tetapi tidak tahu aturan yang melandasi.
Amati lebih jeli, apakah warna merahnya tetap merah jernih dan putihnya tannpa gradasi?Tidak luntur dan terbias oleh hujan dan panas terik matahari.
Dalam kegagahannya berkibar, adakah luka yang menganga?Bentuknya utuh dan sempurna?Tiada luka dan cacat akibat terpaan angina tau sebab lainnya?
Hitunglah rentetan Sang Merah Putih yang gagah berkibar itu.Berapa banyak yang masih berkibar di saat semestinya beristirahat dalam lipatan yang benar dan tempat yang layak?Betapa banyak yang warna merahnya tak lagi dapat disebut merah.Bahkan tidak sedikit yang bentuknya tak lagi pantas untuk sebuah bendera yang diagungkan.
Kalau saya menampilkan gambar di depan Kantor Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon hanyalah sebagai salah satu contoh saja.Bagaimana dua orang birokrat eselon III, beberapa pejabat eselon IV dan para PNS lainnya yang semestinya menjadi tauladan masyarakat dalam menjunjung tinggi harga diri bangsa ternyata harus alpa.
Setiap hari kerja, lima hari dalam seminggu.Tak ada kepedulian mereka terhadap identitas bangsa tersebut.Padahal, tujuh hari dalam seminggu masyarakat dan penumpang kendaraan yang lalu-lalang di jalan nasional hanya bisa bersedih menyaksikan Sang Merah Putih yang terluka tetap berkibar gagah di depan kantor yang megah itu.
Tahukah sanksi yang mesti diterima mereka?Sama sekali tidak ternilai karena bersangkutan dengan harga diri bangsa, harga diri almamater yang pernah mendidik mereka sehingga menjadi pejabat, harga diri Bupati Cirebon yang telah mengangkat mereka pada jabatan yang layak, harga diri masyarakat Cirebon khususnya dan umumnya masyarakat Indonesia yang tak akan rela bendera kebangsaannya diabaikan.
Pasal 67 huruf b, UU Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan hukuman yang setimpal buat mereka, dipidana paling lambat 1 (satu) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).Sebuah ancaman hukuman yang jauh lebih ringan daripada yang selayaknya.
Lebih jauh lagi, lihatlah berbagai perlakuan buruk anak bangsa ini terhadap bendera kebangsaannya sendiri.Mulai dari yang meghiasi dengan tulisan tertentu, menyimpannya di tempat yang sama sekali tidak layak atau bahkan menggunakannya untuk bersih-bersih alias sebagai kalin-lap.
Kalau sudah begini, masih pantaskah kita menyebut diri sebagai bangsa yang punya harga diri?
Agar aksi kita tidak dapat reaksi yang malah mengolok-olok, mari kita pahami bersama cara memperlakukan Sang Merah Putih dengan selayaknya…. Baca aturan yang melandasinya sehingga kita tidak cinta buta apalagi buta cinta terhadap tanah air kita sendiri.
Salah aturan yang harus dipahami bersama adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H