Menari dan berlari di antara detik yang tak kenal lelah.
Waktu terus berlari, tak bisa kukejar dan kutaklukkan,
Meninggalkan jejak-jejak mimpi yang pudar.
Kucoba genggam setiap helai detik,
Namun ia luruh bagai pasir di tangan.
Masa lalu menjadi bayang yang memudar,
Sedang masa depan menggantung di ufuk malam.
Aku berlari mengejar bayang sang waktu,
Namun ia terus saja pergi dan berlari menjauh.
Dalam debar hati yang penuh resah,
Kusadar, aku hanyalah penonton di panggung semesta.
Setiap senja yang jatuh membungkus malam,
Harapan yang tak sempat terwujud.
Langkah-langkahku tertatih dalam usaha dan usia,
Namun sang waktu tetaplah penguasa yang setia.
Tanganku terulur pada bintang yang menjauh,
Namun jarak tetaplah tak terjembatani.
Dalam sunyi malam aku termenung menyepi,
Menyadari batas dari kekuatan diri.
Hanya kenangan yang tertinggal di belakang,
Menyisakan harapan dalam kesunyian.
Sang waktu, kau adalah musuh dan teman,
Yang mengajarkan arti dari penantian.
Dan dalam kesadaran yang perlahan datang,
Kusadari, bukan menaklukkan yang kucari.
Namun menerima, dan berdamai dengan sang waktu,
Menghargai setiap detik yang hadir di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H