Kekosongan adalah keniscayaan absolutis dari hati dengan ruang-ruang sempit. Kehampaan juga definisi postulatif milik benang kusut perkembangan peradaban. Nilai-nilai luhur yang meredup dan perlahan menghilang menjadikan manusia tak ubahnya seonggok tulang belulang berdebu berbalut daging-daging kemunafikan.
Siapa menjamin bahwa ulama tak menyesatkan. Siapa menggaransi bahwa guru tak membodohi. Siapa pula yang berani melawan kehendak opini bahwa penegak hukum adalah individu yang paling tahu bagaimana celah hukum bisa digagahi.
Manusia tak perlu cangkang untuk sembunyi layaknya siput-siput di bantaran sawah dengan daun-daun padi yang berlubang tergerus kerakusan. Manusia juga tak perlu jejaring sebagai pelindung eksistensi nyawa dalam raga layaknya laba-laba. Manusia memiliki ornamen vital yang membentuk sistem pertahanan diri yang integral dan multifungsi. Lekuk-lekuk dan ukiran indah bersusun gradual itulah kemudian kita namai sendiri sebagai otak.
Otak menjadikan manusia demikian sulit ditundukkan. Perlindungan total terhadap intensitas serangan predator-predator zaman. Kebenaran menjadi mudah terputarbalikkan. Aspek bahaya sungguh terubah menjadi pacuan adrenalin nan menantang. Olah data tentang statistik berputar tak henti di komponen berbobot mini ini. Perkembangan zaman pun dihadapi bukan layaknya dongeng bodoh Darwin soal jerapah melawan evolusi. Komponen otak mendominasi insan tuk bertahan di gilasan roda kehidupan.
Kelebihan bukanlah representasi dari kesempurnaan. Segala palang bermotif plus mendadak dapat berkurang dan menyisakan segaris goresan bertajuk minus. Sistem pertahanan manusia sempurna tatkala himpitan gangguan menekan dari luar. Tapi sistem membanggakan ini rapuh dan tak bergigi ketika harus berhadapan dengan keganasan predator terbaik sepanjang masa. Organ rapuh yang bobotnya tak lebih baik dari otak itu sendiri. Komponen tanpa baut itu yang lantas kita beri nama hati. Menjadi demikian tak berdaya ketika otak harus beradu kepintaran dengannya. Jelas bukan cerdas cermat layaknya murid kelas lima memperebutkan piala. Otak pun harus tertunduk lesu menatap statistik memalukan hasil kompetisinya. Bukan sedikit jumlah kerabat karibnya di luar sana yang telah dipecundangi.
Sungguh ironis menjadi manusia. Harus menyadari kalau sistem pertahanan dan penyerangan terbaik sedunia berada dalam jasadnya. Pertarungan dua sisi jadi penentu nasib es di kutub yang terus mencair. Pertempuran yang juga penentu diameter lubang di atmosfer sepuluh tahun lagi. Perseteruan abadi yang tak kenal berhenti. Hasil akhir pertandingan ketat ini akan terus dinanti oleh koloni siput, laba-laba, dan jutaan spesies Tuhan lainnya. Semoga yang terbaik yang menang..semoga!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H