Pernikahan wanita hamil terjadi dalam masyarakat, karena di lingkungan masyarakat kini kurang wawasan orang tua terhadap anak-anaknya sehingga terjadinya pergaulan bebas, terutama antar sesama lawan jenis. Terutama bagi mereka lawan jenis yang telah menjalin hubungan pacaran yang suka sama suka sehingga memicu terjadinya hubungan seksual sebab kurangnya iman dan pengetahuan untuk melawan hawa nafsu mereka. Juga bisa jadi  pernikahan wanita hamil dapat terjadi dalam masyarakat karena berbagai faktor kompleks yang melibatkan budaya, agama, dan tekanan sosial.Â
Dalam beberapa budaya atau agama, kehamilan di luar nikah dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial atau kehormatan keluarga, sehingga menikah sebelum melahirkan dianggap sebagai cara untuk memulihkan atau menjaga kehormatan tersebut.Â
Selain itu, di beberapa masyarakat, pernikahan dapat dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi situasi yang tidak direncanakan, seperti kehamilan di luar nikah, dengan harapan bahwa pernikahan akan memberikan stabilitas bagi anak yang akan dilahirkan. Faktor ekonomi juga dapat memainkan peran, di mana beberapa keluarga mungkin merasa perlu untuk menikahkan wanita hamil agar terjaminnya dukungan finansial bagi calon ibu dan anak.Â
Tekanan sosial dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan masyarakat, juga bisa menjadi faktor penting yang mendorong pernikahan dalam situasi seperti ini. Selain itu, ada juga kasus di mana pernikahan wanita hamil terjadi karena tekanan dari pasangan atau keluarga pasangan yang ingin mengambil tanggung jawab atas kehamilan tersebut.Â
Dalam beberapa budaya, terutama di wilayah di mana norma-norma patriarkal masih kuat, terdapat harapan yang tinggi terhadap pernikahan sebagai cara untuk memperbaiki situasi yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai tradisional.Â
Selain itu, beberapa individu mungkin memilih untuk menikah saat hamil karena mereka merasa bahwa itu adalah langkah yang tepat secara moral atau agama, dengan keyakinan bahwa pernikahan adalah langkah yang bertanggung jawab dalam menghadapi konsekuensi dari hubungan seksual. Dengan demikian, pernikahan wanita hamil sering kali merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor-faktor budaya, agama, ekonomi, dan sosial dalam masyarakat tertentu.
Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan wanita hamil:
1. Kehamilan di luar nikah: Kehamilan yang tidak direncanakan atau di luar hubungan perkawinan sering kali memicu pernikahan sebagai respons terhadap tanggung jawab yang dirasakan oleh pasangan atau keluarga mereka.
2. Tekanan sosial: Faktor-faktor seperti norma-norma budaya, agama, atau tekanan dari keluarga dan masyarakat dapat mendorong pernikahan wanita hamil sebagai cara untuk menjaga kehormatan keluarga atau menghindari stigma sosial.
3. Faktor ekonomi: Di beberapa kasus, pernikahan dapat terjadi karena pertimbangan ekonomi, di mana pasangan yang hamil dan keluarga mereka memilih untuk menikah agar mendapatkan dukungan finansial atau stabilitas ekonomi.
4. Pertimbangan moral atau agama: Beberapa individu mungkin memilih untuk menikah saat hamil karena keyakinan bahwa pernikahan adalah langkah yang bertanggung jawab secara moral atau agama dalam menghadapi konsekuensi dari hubungan seksual.
5. Desakan dari pasangan: Pasangan wanita hamil atau keluarga pasangan tersebut mungkin mendorong pernikahan sebagai bentuk tanggung jawab atau komitmen terhadap hubungan dan anak yang akan dilahirkan.
Â
Â
Penyebab lain dari pernikahan wanita hamil meliputi:
Â
1. Norma budaya dan tradisi: Dalam beberapa budaya, pernikahan merupakan tahap penting dalam kehidupan seseorang, dan kehamilan di luar nikah dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma tradisional. Sebagai hasilnya, pernikahan seringkali dianggap sebagai solusi atau kewajiban untuk menjaga integritas sosial dan kehormatan keluarga.
2. Perlindungan hukum dan hak-hak anak: Pernikahan mungkin dianggap sebagai cara untuk memberikan perlindungan hukum dan hak-hak anak yang akan dilahirkan. Dalam beberapa yurisdiksi, pernikahan memberikan status hukum yang lebih kuat kepada pasangan dan anak-anak mereka, termasuk hak-hak warisan dan dukungan.
3. Aspek emosional: Beberapa pasangan mungkin merasa bahwa pernikahan adalah langkah yang tepat secara emosional untuk memperkuat hubungan mereka dan memberikan stabilitas bagi masa depan keluarga mereka, terlepas dari kehamilan yang tidak direncanakan.
4. Tekanan dari keluarga atau masyarakat: Keluarga atau masyarakat dapat memberikan tekanan kepada pasangan untuk menikah sebagai tanggapan terhadap kehamilan di luar nikah, baik untuk alasan-alasan moral, agama, atau sosial.
Dengan demikian, pernikahan wanita hamil sering kali merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor sosial, budaya, ekonomi, dan pribadi dalam konteks tertentu.
Â
Argument pandangan Ulama' tentang pernikahan wanita hamil yakni menurut Mazhab Syafi'i berpandangan bahwa sah perkawinan yang dilakukan oleh wanita hamil baik dengan pria yang menghamilinya maupun pria lain, tidak perlu menunggu si wanita tersebut melahirkan terlebih dahulu. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sah mengawini wanita hamil baik oleh pria yang menghamilinya maupun pria lain, dengan catatan jika yang mengawininya bukan pria yang menghamilinya, maka pria itu tidak boleh mencampuri wanita tersebut hingga si anak lahir.Â
Sedangkan Mazhab Maliki, pelaksanaan kawin hamil menurut Malikiyyah adalah haram secara mutlak, baik pria yang menghamili atau bukan harus menunggu bayi tersebut lahir baru dapat mengawini wanita tersebut. Kemudian Mazhab Hambali berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik laki-laki yang menzinainya maupun laki laki yang bukan menzinainya. Pria baru boleh mengawini wanita tersebut apabila wanita tersebut sudah habis masa iddahnya dan telah bertaubat dari perbuatan maksiat.
Â
Secara sosiologis, pernikahan wanita hamil mencerminkan dinamika kompleks dalam masyarakat terkait nilai-nilai sosial, norma, dan perubahan budaya. Dalam beberapa budaya, kehamilan sebelum pernikahan masih dianggap sebagai pelanggaran norma sosial yang kuat, sementara dalam budaya lain, praktik ini mungkin lebih diterima atau bahkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan modern.Â
Perubahan nilai-nilai sosial terkait seksualitas dan peran gender juga memainkan peran dalam bagaimana pernikahan wanita hamil dipandang dalam masyarakat. Dari sudut pandang yuridis, pernikahan wanita hamil sering kali tercakup dalam kerangka hukum yang mengatur pernikahan dan keluarga. Hukum di berbagai negara dapat memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kehamilan dalam konteks pernikahan. Beberapa hukum mungkin memperlakukan pernikahan wanita hamil secara sama dengan pernikahan lainnya, tanpa mempertimbangkan status kehamilan.Â
Di negara lain, hukum dapat memiliki persyaratan khusus atau prosedur tambahan yang harus diikuti dalam kasus pernikahan wanita hamil, seperti verifikasi kehamilan atau persetujuan khusus. Selain itu, hukum juga dapat memberikan perlindungan khusus bagi wanita hamil, baik melalui hak-hak pernikahan maupun hak-hak terkait kehamilan dan kelahiran. Ini bisa mencakup hak atas dukungan finansial dari pasangan, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai selama kehamilan dan persalinan, serta perlindungan dari diskriminasi atau perlakuan tidak adil berdasarkan status kehamilan. Secara religius, pandangan terhadap pernikahan wanita hamil dapat bervariasi tergantung pada keyakinan dan ajaran agama tertentu.Â
Beberapa agama mungkin menekankan pentingnya kesucian dan kesucian dalam hubungan pernikahan, dan oleh karena itu, kehamilan di luar pernikahan bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama tersebut. Namun, dalam beberapa tradisi agama, ada juga pemahaman tentang belas kasihan, pengampunan, dan peluang untuk pemulihan. Beberapa pemimpin agama dan komunitas mungkin mendorong pernikahan wanita hamil sebagai cara untuk memberikan kestabilan dan tanggung jawab kepada orang tua dan anak yang akan lahir.Â