Mohon tunggu...
Dinna Destiyani
Dinna Destiyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan: Tinjauan terhadap Sejarah, Makna Filosofis, Sosiologis, Religius, dan Yuridis serta Implikasi Pentingnya

21 Februari 2024   20:43 Diperbarui: 21 Februari 2024   20:59 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pencatatan perkawinan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan perubahan yang signifikan seiring dengan perkembangan waktu. Pada masa kolonial Belanda, pada tahun 1828, peraturan resmi tentang pencatatan perkawinan pertama kali diperkenalkan. Peraturan ini mengharuskan semua perkawinan di wilayah Hindia Belanda untuk dicatatkan. Pada awalnya, pencatatan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang beragama Kristen dan dilakukan oleh pegawai sipil Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan resmi mengatur pencatatan perkawinan di Indonesia. Menurut undang-undang ini, pencatatan perkawinan harus dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Namun, pentingnya pencatatan perkawinan ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Penduduk dan Identifikasi Penduduk. Undang-undang ini tidak hanya mengatur pencatatan perkawinan tetapi juga kelahiran, kematian, dan identifikasi penduduk.
Seiring dengan kemajuan teknologi, proses pencatatan perkawinan di Indonesia semakin modern dengan adopsi Sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri. Melalui sistem ini, masyarakat dapat melakukan pencatatan perkawinan secara online, mempercepat proses administrasi, dan memastikan keabsahan serta perlindungan hak-hak pasangan dan anak.
Dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan bukan hanya merupakan administrasi biasa, melainkan bagian integral dari hukum positif yang mengatur hak dan kewajiban pasangan di hadapan hukum. Pencatatan ini dianggap sebagai pendataan administratif yang mengamankan ketertiban hukum. Pernikahan yang tidak dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah, sesuai dengan Pasal 6 KHI.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa pencatatan perkawinan menjadi keharusan, baik bagi mereka yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun bagi yang beragama lain di Kantor Catatan Sipil (KCS). Proses ini tidak hanya menjadi syarat sahnya perkawinan, tetapi juga penting untuk memastikan ketertiban hukum, hak-hak pasangan, dan perlindungan anak-anak.
Dari segi filosofis, pencatatan perkawinan mencerminkan upaya manusia dalam menerapkan moralitas dan nilai-nilai dalam hubungan serta memberikan struktur organisasi bagi sistem perkawinan. Secara sosiologis, pencatatan ini mengidentifikasi dan mengatur perkawinan dalam masyarakat serta memengaruhi perilaku individu dan kelompok. Dari segi religius, pencatatan perkawinan disesuaikan dengan hukum agama yang mengatur proses perkawinan sesuai keyakinan masing-masing.
Secara yuridis, pencatatan perkawinan memiliki peran utama dalam menegakkan keabsahan perkawinan, mengatur hubungan antar pasangan, dan melindungi hak-hak pasangan dan anak-anak mereka. Tanpa pencatatan perkawinan, pasangan akan kehilangan keabsahan hukum, manfaat ekonomi, hubungan yang terhormat, dan perlindungan hak-hak yang diperlukan.
Oleh karena itu, pentingnya pencatatan perkawinan tidak hanya berarti mematuhi aturan, tetapi juga menjaga keseimbangan dalam hubungan, perlindungan hak-hak, dan memastikan kepatuhan terhadap agama dan hukum. Pencatatan perkawinan juga memiliki dampak yang luas dalam masyarakat, ekonomi, dan kesejahteraan keluarga. Sebagai bagian dari sistem hukum dan sosial, pencatatan perkawinan terus menjadi fokus perhatian dalam upaya memastikan keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak individu di Indonesia.Pencatatan perkawinan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan perubahan yang signifikan seiring dengan perkembangan waktu. Pada masa kolonial Belanda, pada tahun 1828, peraturan resmi tentang pencatatan perkawinan pertama kali diperkenalkan. Peraturan ini mengharuskan semua perkawinan di wilayah Hindia Belanda untuk dicatatkan. Pada awalnya, pencatatan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang beragama Kristen dan dilakukan oleh pegawai sipil Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan resmi mengatur pencatatan perkawinan di Indonesia. Menurut undang-undang ini, pencatatan perkawinan harus dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Namun, pentingnya pencatatan perkawinan ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Penduduk dan Identifikasi Penduduk. Undang-undang ini tidak hanya mengatur pencatatan perkawinan tetapi juga kelahiran, kematian, dan identifikasi penduduk.

Seiring dengan kemajuan teknologi, proses pencatatan perkawinan di Indonesia semakin modern dengan adopsi Sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri. Melalui sistem ini, masyarakat dapat melakukan pencatatan perkawinan secara online, mempercepat proses administrasi, dan memastikan keabsahan serta perlindungan hak-hak pasangan dan anak.

Dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan bukan hanya merupakan administrasi biasa, melainkan bagian integral dari hukum positif yang mengatur hak dan kewajiban pasangan di hadapan hukum. Pencatatan ini dianggap sebagai pendataan administratif yang mengamankan ketertiban hukum. Pernikahan yang tidak dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah, sesuai dengan Pasal 6 KHI.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa pencatatan perkawinan menjadi keharusan, baik bagi mereka yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun bagi yang beragama lain di Kantor Catatan Sipil (KCS). Proses ini tidak hanya menjadi syarat sahnya perkawinan, tetapi juga penting untuk memastikan ketertiban hukum, hak-hak pasangan, dan perlindungan anak-anak.

Dari segi filosofis, pencatatan perkawinan mencerminkan upaya manusia dalam menerapkan moralitas dan nilai-nilai dalam hubungan serta memberikan struktur organisasi bagi sistem perkawinan. Secara sosiologis, pencatatan ini mengidentifikasi dan mengatur perkawinan dalam masyarakat serta memengaruhi perilaku individu dan kelompok. Dari segi religius, pencatatan perkawinan disesuaikan dengan hukum agama yang mengatur proses perkawinan sesuai keyakinan masing-masing.

Secara yuridis, pencatatan perkawinan memiliki peran utama dalam menegakkan keabsahan perkawinan, mengatur hubungan antar pasangan, dan melindungi hak-hak pasangan dan anak-anak mereka. Tanpa pencatatan perkawinan, pasangan akan kehilangan keabsahan hukum, manfaat ekonomi, hubungan yang terhormat, dan perlindungan hak-hak yang diperlukan.

Oleh karena itu, pentingnya pencatatan perkawinan tidak hanya berarti mematuhi aturan, tetapi juga menjaga keseimbangan dalam hubungan, perlindungan hak-hak, dan memastikan kepatuhan terhadap agama dan hukum. Pencatatan perkawinan juga memiliki dampak yang luas dalam masyarakat, ekonomi, dan kesejahteraan keluarga. Sebagai bagian dari sistem hukum dan sosial, pencatatan perkawinan terus menjadi fokus perhatian dalam upaya memastikan keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak individu di Indonesia.

Disusun oleh :

Dinna Destiyani R.(222121006)

Rizka Nur Febriana (222121023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun