Pernikahan merupakan persatuan dua individu dewasa yang memiliki hubungan intim secara seksual dan diakui secara hukum serta sosial. Membahas pernikahan sering kali tidak bisa lepas dari isu perselingkuhan. Berdasarkan survei dari JustDating, Indonesia menempati posisi kedua di Asia dengan kasus perselingkuhan tertinggi, yaitu sebesar 40%. Kasus perselingkuhan paling banyak terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun (32%), diikuti oleh kelompok usia 19-29 tahun (28%), dan 40-49 tahun (24%). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 60% perselingkuhan terjadi pada usia dewasa muda. Masa dewasa muda, yang dimulai dari usia 18-40 tahun, merupakan fase penting untuk memilih pasangan hidup dan membangun rumah tangga. Menurut studi Glass & Staeheli dalam Adam (2020), ditemukan bahwa 6 hingga 8 dari 10 pria yang sudah menikah pernah berselingkuh. Didukung oleh riset yang melibatkan responden dari 14 provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa suami memiliki potensi lebih besar untuk berselingkuh (75%) dibandingkan istri (40%).
Perselingkuhan merupakan salah satu penyebab utama perceraian (Hawkins, Willoughby, & Doherty, 2012). Perselingkuhan mencakup keterlibatan seksual atau emosional oleh salah satu atau kedua individu dalam hubungan berkomitmen yang dianggap melanggar kepercayaan atau norma (baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat) (Blow & Hartnett, 2005). Penelitian Glass & Wright (1992) mengidentifikasi alasan seseorang berselingkuh meliputi faktor seksual, emosional, cinta, dan motivasi ekstrinsik. Terdapat beberapa jenis perselingkuhan: sexual infidelity (hanya melibatkan aktivitas seksual tanpa perasaan), romantic infidelity (hanya melibatkan perasaan tanpa aktivitas seksual), dan sexual and romantic infidelity (melibatkan keduanya) (Glass & Wright, 1992). Dampak dari perselingkuhan termasuk hilangnya keharmonisan dan menurunnya kepercayaan anggota keluarga terhadap pelaku perselingkuhan.
Apakah Kurangnya Kesiapan Mental Menjadi Pemicu Perselingkuhan ?
Dalam berbagai kasus perselingkuhan, kesiapan mental merupakan faktor dominan yang memengaruhi perilaku ini. Hubungan antara kesiapan mental dan perselingkuhan sangat kompleks, melibatkan berbagai aspek psikologis, emosional, dan sosial. Ketidakpuasan dalam hubungan, baik secara emosional, fisik, atau psikologis, sering kali mempengaruhi kesiapan mental seseorang untuk berselingkuh. Saat kebutuhan seseorang dalam hubungan tidak terpenuhi, mereka mungkin lebih rentan mencari pemenuhan di luar hubungan tersebut. Tingkat stres dan tekanan psikologis yang tinggi dapat menurunkan kesiapan mental seseorang untuk tetap berkomitmen dalam hubungan. Kondisi mental yang tidak stabil atau stres yang tinggi dapat membuat individu lebih rentan terhadap godaan perselingkuhan sebagai cara pelarian dari masalah yang ada. Kesehatan mental yang baik sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mengontrol diri dan membuat keputusan yang bijaksana. Sebaliknya, masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan dapat mengurangi kontrol diri dan meningkatkan kemungkinan perselingkuhan.
Pengalaman masa lalu, termasuk trauma atau perselingkuhan sebelumnya, dapat memengaruhi kesiapan mental seseorang dalam menghadapi dan mengatasi godaan perselingkuhan. Mereka yang memiliki pengalaman negatif mungkin lebih rentan mengulangi perilaku tersebut. Kesiapan mental untuk berselingkuh juga dipengaruhi oleh tingkat komunikasi dan keterbukaan dalam hubungan. Hubungan dengan komunikasi yang buruk dan kurangnya keterbukaan dapat menciptakan jarak emosional, yang bisa menjadi pemicu perselingkuhan. Nilai dan keyakinan pribadi tentang kesetiaan dan komitmen sangat memengaruhi kesiapan mental seseorang. Individu dengan nilai dan keyakinan yang kuat tentang pentingnya kesetiaan cenderung memiliki kesiapan mental yang lebih baik untuk menghindari perselingkuhan.
Secara keseluruhan, kesiapan mental berperan penting dalam mencegah perselingkuhan. Dengan menjaga kesehatan mental, mengatasi stres, dan membangun komunikasi yang baik dalam hubungan, risiko perselingkuhan dapat diminimalisir. Namun, perlu diingat bahwa setiap individu dan hubungan itu unik, sehingga faktor-faktor ini dapat memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada konteks dan situasi masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, A. (2020). Dampak Perselingkuhan Suami Terhadap Kesehatan Mental dan Fisik Istri. Al-wardah:  Jurnal  Kajian  Perempuan,  Gender  dan  Agama,  14(2), 177-186.
Glass, S. P., & Wright, T. L. (1992). Justifications for Extramarital Relationships: The Association between Attitudes, Behaviors, and Gender. The Journal of Sex Research, 29(3), 361–387.
Hawkins, A. J., Willoughby, B. J., & Doherty, W. J. (2012). Reasons for Divorce and Openness to Marital Reconciliation. Journal of Divorce and Remarriage, 53(6),453–463.
Muhajarah, K. (2016). Perselingkuhan Suami Terhadap Istri Dan Upaya Penangannya. Jurnal Studi Gender,12(1), 23-40.
Syarif, D. F. T. (2015). Konseling Individu Dalam Upaya penaggulangan Dampak Perselingkuhan Dalam Pernikahan. 10, 40–54.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H