[caption id="attachment_125078" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pengesahan RUU Pengendalian Dampak Tembakau terhadap Kesehatan perlu untuk melindungi warga Negara dari konsekuensi negatif tembakau dan produk tembakau. Namun, nasib sekitar 3,1 juta petani tembakau yang telah tercekik produsen rokok, tak bisa dinafikkan. Tanggung jawab siapa? Masuknya Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Tembakau terhadap Kesehatan (RUU Tembakau) ke dalam Daftar Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2010 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai protes keras dari petani tembakau. Mereka menganggap pemerintah mengabaikan nasib petani tembakau yang telah terpuruk. Adalah benar apabila pemerintah berkomitmen melindungi warga negaranya dari bahaya konsekuensi tembakau dan asap rokok. Data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) tahun 2008 menyebutkan Indonesia adalah negara perokok terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India, dengan konsumsi rokok sekitar 225 milyar batang per tahun dan jumlah perokok sekitar 65 juta orang. 8,8 juta di antaranya adalah anak-anak dan remaja. Mereka semua dibayangi bahaya penyakit kanker, paru-paru, jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan sebagainya. Angka kematian yang diakibatkan epidemi tembakau pun telah mencapai 10 juta orang per tahun (WHO, 2008). Belum lagi nasib lebih dari 43 juta anak Indonesia yang tinggal serumah dengan perokok dan terpaksa menghirup asap rokok setiap harinya. Mereka terancam mengalami pertumbuhan paru yang lambat, Iebih mudah terkena bronkitis, dan infeksi saluran pemapasan, serta asma. Jika sekarang ini anak-anak dan remaja dalam kondisi kesehatan yang buruk, dalam 10 sampai 20 tahun mendatang akan tumbuh menjadi generasi penerus dengan daya saing rendah. Sit mens sana in corpore sano. Yang Termarjinalkan Data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menunjukkan saat ini jumlah petani tembakau adalah sebanyak 3,1 juta orang. Sungguh bukan jumlah yang kecil. Angka ini setara dengan 33% angka pengangguran terbuka pada Februari 2009 (data BPS) atau nyaris sebesar 10% dari angka kemiskinan Maret 2009. Bila ditelantarkan, akan memelarkan angka kemelaratan dan tunakarya Indonesia dalam 5 tahun mendatang. Belum termasuk efek domino pada anak-anak mereka, terutama dari segi kualitas pendidikan dan kesehatan. Mereka sebagian besar hanyalah buruh tani, tanpa kepemilikan lahan pertanian. Rata-rata hanya lulusan SD atau SMP serta tidak mempunyai keterampilan lain selain menanam tembakau. Semakin tingginya cukai yang dibebankan kepada perusahaan rokok mengakibatkan hampir tidak ada kenaikan harga jual tembakau dan upah petani tembakau. Data Statistik Upah 2005 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa upah petani tembakau hanya sebesar Rp 3.637 per hari, terendah di antara enam komoditas pertanian (tebu, kelapa sawit, teh, kopi, tembakau, dan cokelat) atau hanya separuh rata-rata upah petani tebu sebesar Rp 6.677 per hari. Padahal, harga-harga kebutuhan pokok terus melambung. Bagaimana nasib jutaan orang ini? Bagaimana nasib anak-anak mereka? Peran Pemerintah Pemerintah tidak boleh tuli terhadap teriakan jutaan petani tembakau. Pemerintah wajib mengingat bahwa, secara jelas dan tegas, para petani tembakau ini dilindungi konstitusi negara sebagaimana tercantum di dalam Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945 "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Penulis setuju dengan Sri-Edi Swasono, bahwa pasal tersebut artinya, negara tidak sekedar filantropis tetapi melaksanakan pemberdayaan (empowerment) untuk menumbuhkan pada masyarakat keprakarsaan, kemandirian sejati dan kelepasan dari ketergantungan (Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial, hal 68). Melaksanakan pemberdayaan bagi kaum marjinal ini, pemerintah dapat memanfaatkan periode "senja" industri rokok. Dalam 5 sampai 10 tahun mendatang, setidaknya ada dua alternatif realistis yang bisa dipertimbangkan dan dilaksanakan. Pertama, membekali para petani tembakau dengan keterampilan lain yang memadai untuk hidup di luar industri tembakau dan produk olahannya. Misalnya, keterampilan pertanian selain tembakau, keterampilan berternak, keterampilan kerajinan tangan, dan sebagainya. Pemerintah juga harus mengalokasikan dana untuk modal kerja awal mereka. Dalam tahapan lebih lanjut, mereka dilatih berwirausaha dan manajemen, sehingga mampu menjual dan mendistribusikan hasil kerja mereka sendiri. Pemerintah dapat pula mengambil peranan sebagai pembeli hasil produksi mereka. Kedua, menggalakkan kembali program transmigrasi kepada para petani tembakau yang sebagian besar tinggal di daerah padat penduduk seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemerintah pusat dan daerah secara sinergis dapat bergandeng tangan mewujudkan pemerataan pengembangan wilayah di luar Jawa, sekaligus menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah jangan alpa memberdayakan masyarakat. Jangan sekedar lips service memihak rakyat kecil. Sebaliknya, pemerintah harus berinvestasi secara serius dalam pemberdayaan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Sebab, seperti diungkapkan Swasono, penciptaan pekerjaan adalah tujuan substantif pemerintah, bukan derivatif atau pun residual (Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial, hal 49). Seperti telah dibuktikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh, hanya melalui pemberdayaan masyarakatlah - bukan charity atau filantropi -, perekonomian suatu negara dapat dibangun dan dikokohkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H