Mohon tunggu...
Dini Rachman
Dini Rachman Mohon Tunggu... -

saya pengen ikutan ngumpul-ngumpul di rumahnya para penulis, skalian pengen belajar nulis :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi Minim, Ekonomi Maksim

16 Juli 2010   09:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Proses pemberantasan korupsi pasti menghadapi hambatan yang berat (mission impossible). Selain upaya pengompongan Komisi Pemberantasan Korupsi, terjadi juga ancaman dan teror terhadap para aktivis anti korupsi dan media yang menyorot isu terkait korupsi. Peristiwa pembacokan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun 8 Juli 2010 dini hari dan pelemparan bom molotov di kantor Tempo beberapa waktu lalu merupakan sekelumit contoh yang menyatakan bahwa ada pihak-pihak yang melawan dan ingin menghentikan proses bersih-bersih di negara ini.

Padahal pemberantasan korupsi adalah salah satu kebutuhan paling mendasar suatu negara untuk mendorong kemajuan perekonomian. Tingginya tingkat korupsi menandakan kondisi persaingan bisnis yang tidak sehat. Kesuksesan berbisnis menjadi lebih tergantung pada kemampuan saling telikung melalui “koneksi” yang bisa disuap, bukan lagi soal profesionalitas atau produktifitas. Kondisi seperti ini tentu mereduksi appetite investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi dan menjalankan usaha di Indonesia.

Sebaliknya, komitmen seluruh pihak dalam suatu negara, khususnya pemerintah, untuk memberantas korupsi terbukti meningkatkan daya tarik ekonomi bagi investor sekaligus merangsang kepercayaan diri para pengusaha dalam negeri. China contohnya.

Masih Ada Harapan

Bicara pemberantasan korupsi di Indonesia, kebanyakan orang sudah pesimis. Di Indonesia, korupsi telah beranakpinak dari Sabang sampai Merauke, dari pejabat urusan buat KTP sampai para pejabat yang menyetujui APBN-P.

Dalam Corruption Perception Index 2009, skor Indonesia adalah 2,8 (skor 0 untuk negara yang dinyatakan sangat korup, dan skor 10 untuk negara yang dianggap memiliki tingkat korupsi sangat rendah). Artinya Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang korup, lebih korup dari negara konflik seperti Rwanda (3,3) dan negara-negara miskin di Afrika seperti Zambiadan Madagaskar (3,0).

Tak heran, Indonesia dinilai kurang kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Global Competitiveness Report 2009-2010 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum mencatat Indonesia berada di peringkat 54, jauh di bawah Thailand (36), Brunei Darussalam (32), dan Malaysia (24). Singapura melesat tinggi di peringkat 3. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa tingginya tingkat korupsi telah menjadi kendala yang signifikan untuk menjalankan bisnis di Indonesia, selain ketidakefisienan birokrasi pemerintah, keterbatasan infrastruktur, dan ketidakstabilan kebijakan.

Namun bukan berarti Indonesia sudah tidak ada harapan. Untuk sesuatu perubahan yang baik, tak ada kata terlambat. Tak ada salahnya belajar dari pengalaman China yang pemerintahnya telah melaksanakan (bukan cuma menjanjikan) political will yang nyata. Memberantas korupsi memang harus melalui tindakan politis yang tegas, berani, dan radikal.

Sebelum masa pemerintahan Perdana Menteri Zhu Rongji, korupsi telah mengakar urat sedemikian rupa sampai orang China sendiri sangat pesimis korupsi dapat dikurangi. Pada tahun 1997, corruption perception index China sangat rendah, yaitu 2,9 (sedikit di atas Indonesia hari ini).

Tahun 1998, dalam pidato pelantikannya, Zhu menegaskan keseriusannya memberantas korupsi di China, “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu.”

Bukan omong kosong, Zhu melaksanakan janjinya. Pada masa kepemimpinannya, Zhu betul-betul menghukum mati para pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Sebagai contoh, hukuman mati terhadap pejabat tinggi selevel Cheng Kejie, Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional, yang terbukti terlibat suap US$ 5 juta. Zhu juga menghukum mati koleganya sendiri, Hu Changqing, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi yang terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar.

Ketegasan Zhu telah mengubah atmosfer dunia usaha di China. Nampaknya Zhu paham betul pepatah China: bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Sejak “ayam-ayam” dibunuh, “kera-kera” menjadi takut.

Setelah masa pemerintahan Zhu, tahun 2003, corruption perception index China naik menjadi 3,4. Tahun 2009 naik lagi menjadi 3,6. Pelaku usaha domestik lebih bergairah seiring dengan meningkatnya kepercayaan kepada kredibilitas pemerintah. Investor asing pun agresif meningkatkan investasinya ke China. Hal ini tercermin dari peningkatan global competitiveness index China. Tahun 2001 China berada pada peringkat ke-39 dari 75 negara, tahun 2003 meningkat menjadi peringkat ke-44 dari 101 negara, dan kini menduduki peringkat ke-29 dari 133 negara. Aktivitas produksi nasional juga menggambarkan optimisme ini, gross domestic product naik dari US$953 milyar tahun 1997, menjadi US$1,641 milyar tahun 2003, dan terus berlipat menjadi US$4,326 milyar tahun 2008 (data World Bank, 2010).

Korupsi Bisa Direduksi

Komitmen pemerintahan incumbent Indonesia untuk memberantas korupsi harus diwujudnyatakan dalam tindakan yang berani, tegas, dan aktif-bukan reaktif.

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta pengusutan tuntas pelaku pembacokan terhadap Tama Satrya Langkun patut diapresiasi. Namun, pemerintah seharusnya tidak hanya bersikap responsif terhadap teror semacam ini. Pemerintah harus secara aktif memberikan perlindungan seaman-amannya kepada aktivis anti-korupsi, media, dan whistle blower. Baik perlindungan secara hukum, maupun secara fisik. Dengan perlindungan ini, pihak-pihak tersebut memiliki ruang aman untuk melaporkan setiap kejanggalan dan menyuarakan kebenaran, yang akan sangat mendukung proses pemberantasan korupsi di tanah air.

Indonesia mungkin belum bisa sespektakuler China atau Zhu Rongji. Tak apa. Mari kita mulai dari yang kita punya, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa koruptor dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar, serta dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi pidana mati. Klasik, persoalan di Indonesia adalah persoalan implementasi, apakah hukum pada akhirnya betul-betul mengadili secara tegas atau tidak, dan apakah hukuman tercantum betul-betul dijatuhkan secara adil atau tidak. Untuk itu, otoritas dan independensi KPK tidak boleh dilemahkan atau dibiarkan melemah.

Langkah terbaik adalah apabila UU 31/1999 diamandemen menjadi segarang “hukum Zhu Rongji”, sebab hukuman penjara dan denda sebagaimana tercantum di atas dianggap tidak cukup menakutkan bagi “para kera.”

Indonesia bisa memaksimalisasi ekonomi. Mulai dari memaksimalisasi upaya reduksi korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun