Seruan dari kaum buruh agar pemerintah memperhatikan kepentingan mereka sering dipandang sebagai suara rengekan yang menyebalkan. Pemerintah pun kelihatannya lebih cenderung memihak kepada pengusaha daripada kepada buruh. Disahkannya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan setidaknya menjadi salah satu bukti sikap pemerintah yang berat sebelah. Pemerintah pasti perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk mendorong perkembangan dunia usaha di Indonesia. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan dan menjamin keadilan bagi tenaga kerja.
UU No. 13 tahun 2003 pasal 64 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis” menjadi celah yang menguntungkan bagi pelaku pasar di Indonesia, baik itu pengusaha domestik maupun pengusaha asing, untuk mendapatkan tenaga kerja dengan sangat murah. Semakin murah tenaga kerja, maka semakin efisien biaya operasional dan semakin besarlah keuntungan yang diraih.
Sementara ini, Indonesia seolah-olah memenangkan deal untuk menarik minat investor asing untuk berinvestasi dan menjalankan usaha di sini. Beberapa pengusaha asing telah menyatakan rencananya untuk membangun atau merelokasi pabriknya ke Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut memberikan keyakinan kepada mereka bahwa dalam jangka waktu tertentu (yang tidak pendek), upah buruh di Indonesia masih akan menjadi yang termurah di wilayah Asia Tenggara dan Cina.
Tenaga kerja kontrak (outsourcing) bisa jauh lebih murah daripada tenaga kerja tetap, karena mereka diperlakukan sebagai komoditi. Mereka menjual tenaga kepada majikan di pasar tenaga kerja, mereka bukan lagi penghasil produk. Mereka telah teralienasi dari produk yang mereka hasilkan. Oleh karena itu “penghargaan” kepada mereka pun dipersamakan dengan barang dagangan, yaitu ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang perlu untuk menciptakannya (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, hal. 184). Tok, sudah. Tidak ada penghargaan berkeadilan selayaknya untuk seorang pekerja hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Hak buruh kontrak hanyalah sebatas Upah Minimum Kota (UMK). Mereka tidak mendapatkan tunjangan sosial apabila ada masalah kesehatan, terjadi kecelakaan, atau pun kematian. Jangankan tunjangan hari tua, apabila umur mereka telah merambat naik mereka bisa diberhentikan begitu saja tanpa pesangon, lalu digantikan oleh buruh kontrak lain yang lebih muda. Begitu juga dengan pekerja kontrak yang wanita, dapat di-PHK apabila hamil. Semuanya demi efisiensi usaha.
Buruh pun tampak pasrah dan kurang bersemangat memperjuangkan hak-hak mereka melalui serikat buruh. Hal ini terutama dikarenakan mereka telah menandatangani kontrak dengan pihak penyedia jasa tenaga kerja yang memperkerjakan mereka. Kontrak itu adalah pernyataan kesediaan menerima upah minim tanpa jaminan apa pun.
Keberpihakan kepada Buruh
Apabila pemerintah Indonesia mengabaikan dan tidak memberikan perlindungan kepada buruh, cepat atau lambat akan merugikan Republik ini sendiri. Ekonomi suatu negara hanya akan kuat jika ditunjang oleh seluruh rakyat, bukan oleh pengusaha-pengusaha tertentu saja. Rakyat mampu berdayaguna hanya jika pemerintah menjalankan perannya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Jika masyarakat kecil secara umum dibiarkan terus diamputasi hak-haknya untuk hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan, maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah pembangunan di Indonesia bukan pembangunan Indonesia. Pada waktu itu, hanya sejumput kecil pemilik kapitallah yang akan diuntungkan, sedangkan puluhan juta manusia Indonesia lainnya hanyalah orang-orang tanpa penghasilan yang layak, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Mereka menjadi budak-budak terabaikan di tanah sendiri. Selain itu, apabila kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, kesehatan) dan pendidikan tidak dimurahkan atau digratiskan, maka dalam 10 sampai 20 tahun ke depan angka anak-anak malnutrisi dan maledukasi akan menanjak tajam. Dengan demikian, jelaslah bahwa kesuraman hidup buruh kontrak adalah kesuraman masa kini dan masa depan bangsa ini.
Sesuai dengan amanat konstitusi negara, UUD 1945 Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, pemerintahlah yang mampu dan harus memberikan perlindungan hak-hak tenaga kerjanya.
Pilihan pertama adalah mengamandemen UU Ketenagakerjaan. Pemerintah harus mengakomodasi kepentingan buruh. Hapuskan sistem buruh kontrak. Apabila hal ini terlalu sulit, maka pemerintah harus menjamin perlakuan yang sama antara buruh tetap dan buruh kontrak. Pemerintah juga harus bersedia bernegosiasi dengan pengusaha yang keberatan dengan tuntutan perundang-undangan dalam memperkerjakan buruh tetap. Alternatif lainnya adalah pemberian insentif dan atau fasilitas khusus bagi pengusaha yang memperkerjakan buruh tetap.
Kedua, pemenuhan kebutuhan dasar buruh oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia bisa belajar dari pemerintah Cina. Upah buruh di Cina tergolong murah, meskipun sekarang sudah mulai naik. Namun, para buruh tetap terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pemerintahlah yang mengambil alih dalam memberikan tunjangan-tunjangan yang sangat signifikan bagi buruh, mulai dari tempat tinggal, listrik, air, rumah sakit dan biaya pengobatan sampai pendidikan anak para buruh secara gratis. Sehingga walaupun upah mereka rendah, para buruh tidak menanggung beban biaya hidup yang besar.
Semoga pemerintah tidak memandang investasi ini sebagai biaya. Sebab investasi kepada rakyat banyak ini pasti akan memberikan return yang manis di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H