Mohon tunggu...
Dini Putri Komalasari
Dini Putri Komalasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FKM UI

Mahasiswa yang hobi berlari

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hipertensi Remaja: Pembunuh Senyap Masa Depan Bangsa

29 Oktober 2022   22:48 Diperbarui: 31 Oktober 2022   12:49 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bonus demografi yang digadang-gadang akan terjadi di Indonesia mungkin hanya akan menjadi mimpi belaka jika bangsa kita belum bisa mengatasi masalah-masalah yang ada saat ini. Penyakit, kemiskinan, masalah lingkungan, masalah iklim, dan masih banyak lagi masalah yang harus segera kita atasi bersama-sama. 

Setelah mengalami transisi epidemiologi yang mengubah pola penyakit dan kematian, kita menghadapi berbagai beban penyakit. Salah satunya adalah penyakit tidak menular. Penyakit yang sudah akrab di telinga kita adalah hipertensi. Hipertensi merupakan penyakit yang dijuluki “pembunuh senyap”. 

Julukan ini didapat karena hipertensi lebih banyak terjadi tanpa disadari oleh penderitanya. Ketika timbul gejala, gejala yang terjadi adalah gejala dari komplikasi penyakit. Menurut data WHO (2021), diperkirakan sekitar 46% orang dewasa dengan hipertensi tidak menyadari bahwa mereka mengidap hipertensi. Kemudian, hanya 42% yang terdiagnosis dan terkontrol hipertensinya.

Hipertensi sering dianggap sebagai penyakit bagi mereka yang sudah “dewasa” atau “lanjut usia”. Hal ini sebenarnya kurang tepat. Mengingat hipertensi juga bisa terjadi pada remaja.

Hasil penelitian Siswanto dkk. (2020) menunjukkan bahwa hipertensi pada remaja lebih banyak terjadi pada perempuan. Berdasarkan karakteristik masing-masing, responden remaja perempuan lebih banyak menderita hipertensi (36,5%) dibandingkan responden remaja laki-laki (30,1%). 

Salah satu faktor risiko yang mendorong terjadinya hipertensi pada remaja adalah pola makan. Pola makan merupakan faktor risiko yang bersifat dapat diubah. Berikut adalah beberapa hal yang dapat diubah dari pola makan. . Berikut adalah beberapa hal yang dapat diubah dari pola makan, yaitu konsumsi GGL (Gula, Garam, Lemak). 

Berdasarkan Riskesdas 2018 sebanyak 28,7% konsumsi di masyarakat melebihi batas anjuran. Terutama makanan cepat saji yang biasa digemari oleh remaja cenderung mengandung GGL yang tinggi. 

Kita perlu secara bijak membatasi asupan GGL dalam makanan yang dikonsumsi, baik diolah secara mandiri maupun berbentuk kemasan siap saji. Upaya tersebut merupakan prinsip diet sehat untuk mencegah dan mengatasi hipertensi.

 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji telah memuat rekomendasi maksimal asupan gula (50 gram atau 4 sendok makan), garam (2 gram atau 1 sendok teh), dan lemak (67 gram atau 5 sendok makan) per orang per hari. 

Di dalamnya terdapat pesan kesehatan berupa risiko penyakit tidak menular akan meningkat seiring bertambahnya jumlah takaran yang dikonsumsi. Konsumen juga dapat memilih makanan yang rendah gula, garam, dan lemak secara mudah melalui aturan yang mewajibkan pencantuman informasi kandungan GGL pada produksi pangan olahan dan siap saji.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun