Persoalan buruh ternyata tidak bisa dipandang sebelah mata hingga saat ini. Berbagai pihak terutama saat ini yang digerakkan oleh civil society memberi perhatian khusus kepada buruh. Buruh Perempuan Migran yang sering disebut sebagai Pahlawan Devisa kerap kali mendapat tidakan kekerasan dan ketidakadilan di negara tempat bekerjanya. Beberapa kasus yang terblow-up ke media massa diantaranya adalah kasus Nirmala Bonat yang disiksa secara kejam oleh majikannya di Malaysia, juga kasus Darsem, walau lolos dari hukuman pancung karena membunuh majikannya di Arab Saudi yang ingin memperkosanya tetap mendapat hukuman untuk membayar ganti rugi sebesar 2 juta Real atau sekitar 4.7 Milyar Rupiah.
Lalu mungkin banyak pihak bertanya mengenai peran dari pemerintah. Pemerintah sebenarnya bukan hanya berdiam diri. Sudah ada beberapa usaha yang dilakukan seperti meratifikasi MoU dengan Negara-negara tujuan buruh migrant seperti Malaysia dan Arab Saudi. Tapi, usaha-usaha meratifikasi perjanjian saja tentu tidaklah cukup untuk mencerahkan wajah TKW migran Indonesia. Perlu solusi teoretis dan teknis agar permasalahan ini tak terus menjadi ironi mengingat besarnya peran TKW migran tersebut bagi keberlangsungan pembangungan Indonesia karena nyatanya remitansi dari para TKW migrant tersebut menjadi remitansi kedua terbesar bagi pemasukan Negara setelah remitansi yang dihasilkan dari proses ekspor gas dan minyak. Jumlah TKI yang bekerja di luar negeri hingga awal Februari 2010 dilaporkan jumlahnya mencapai 2.679.536 orang. Untuk pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$ 6,615 miliar.
Permasalahan mengenai buruh perempuan migran memang memiliki dilemanya tersendiri. Di satu sisi, semua pihak meninginginkan kondisi buruh migran perempuan mendapat kondisi pekerjaan yang lebih baik. Namun, pemerintah Indonesia belum bisa membuat peraturan yang tegas agar memiliki power yang berimbang dengan Negara-negara lain untuk bisa melindungi buruh migrannya. Membatasi jumlah buruh migran juga sulit dilakukan karena selain telah menjadi sumber penghasilan remitansi yang besar, pemerintah Indonesia sendiri belum bisa memberikan lapangan pekerjaan di negeri sendiri untuk buruh teutama buruh perempuan. Proses pengiriman baik TKI maupun TKW telah menjadi ladang bisnis yang subur pula sehingga telah terlalu banyak kepentingan yang bermain daalam polemik buruh migran Indonesia. Sedangkan permasalahan ini tentu tidak bisa diabaikan karena menyangkut isu HAM, gender, dan perlindungan warga Negara. Masalah-masalah yang sering dihadapi buruh migran Indonesia diantaranya adalah PHK secara sepihak, gaji yang tidak dibayar, dan penganiayaan.
Jalan terbaik yang bisa diusahakan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan buruh migran terutama buruh perempuan dapat diawali dengan sikap sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menjadikan isu ini sebagai salah satu fokus perhatian pemerintah karena menyangkut HAM warga Negara yang harus dipenuhi dan dijamin oleh negara. Kesan yang selama ini tertangkap adalah pemerintah yang baru memberikan perhatiannya hanya saat setelah terjadi kasus-kasus kekerasan yang berhasil diungkap atau di blow up media massa. Hal selanjutnya adalah dengan mengatur sebaik mungkin proses migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Bila perlu, pengiriman TKI ini dilakukan secara terpusat, dan terkontrol sehingga dapat dipetakan dan sesuai kebutuhan di masing-maisng Negara.
Dalam hal yang lebih teknis, para buruh yang akan diberangkatkan seharusnya mendapat berbagai pelatihan sebelum keberangkatan, misalnya pengajaran bahasa komunikasi sederhana dari Negara tujuan tersebut dan sosialisasi mengenai hal-hal penting menyangkut keselamatan kerja yang perlu mereka ketahui. Banyak kasus penganiayaan yang terjadi pada buruh migran namun sulit terungkap karena buruh Indonesia banyak yang tidak memiliki kecakapan bahasan setempat bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena mereka menjadi TKW dengan proses yang illegal. Artinya, proses pengiriman tenaga kerja migran memang harus melalui pihak pemerintah atau lembaga yang professional dan tidak mencari keuntungan semata. Hal terakhir yang harus terus diusahakan oleh pemerintah adalah dengan membuat atau meratifikasi kembali perjanjian bilateral dengan Negara-negara tujuan kerja para buruh Indonesia. Tapi, perjanjian tersebut harus bisa menjamin kondisi bekerja yang nyaman atau setidaknya manusiawi bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pemerintah Indonesia harus bisa lebih tegas dan menekankan power nya dalam melindungi pekerja migrannya agar warga Negara di Negara tujuan kerja para TKI Indonesia cenderung untuk tidak berani melakukan hal yang sewenang-wenang pada buruh migrant Indonesia.
Dengan kondisi yang pelik ini, peran civil society mau tidak mau menjadi amat sentral. Meski misalnya tidak bisa berbuat banyak dalam urusan hubungan antar Negara namun setidaknya civil society bisa mendorong dan mengawasi pemerintah dalam menjamin hak-hak TKI terutama TKW Indonesia yang cenderung lebih rentan mendapat perlakuan tidak adil karena dianggap lemah dan rendah. Semoga pemerintah dan masyarakat sebagai dua pilar pembangunan yang sentral dapat bekerjasama untuk mengusahakan kondisi buruh Indonesia yang lebih baik, tidak hanya di luar negeri namun tentunya juga yang berada dalam negeri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H