Biasa dengan kehilangan dari mulai sepatu sampai sandal di mesjid Jakarta khususnya, ketika saya dan suami berlibur ke beberapa kota di Maroko rasa was-was setiap kali melepaskan alas kaki membuat saya menjadi malu hati. Bagaimana tidak? bahkan ketika tahun lalu pulang kampung, sandal kakak ipar saya yang katanya baru saja berumur seminggu sudah lenyap lagi. Untungnya suami saya yang ikutan jum'at an bareng pakai sandal jepit swallow, jadi tak di lirik oleh si maling sepatu.
Alhamdulillah dalam rangka 10 tahun pernikahan, saya dan suami bisa berbulan madu ke Maroko. Fes, Meknes dan Moullay Idriss menjadi tiga kota tujuan kami berpelesir asmara. Sampai di Fes, sasaran utama kami adalah shalat di mesjid besar Qaraouiyine yang berada di dalam Medina (kota). Sampai di dalam tentu saja layaknya di mesjid alas kaki wajib di lepaskan. Di mesjid yang keindahan dan keagungannya begitu memukau itu, rak sepatu telah di sediakan bagi para jemaah. Sayapun melepaskan tapi dengan rasa khawatir karena tidak ada yang menjaga dan masalahnya saya hanya membawa sepasang sepatu ke Maroko ini.
Tetapi setelah shalat jamaah usai, bahkan saya sempat mendapat kenalan satu keluarga maroko yang mengundang saya bertandang kerumahnya di Marakes, ternyata sepatu saya masih tetap dalam posisi seperti sedia kala. Huuuhhh, lega rasanya. Dan balas dendam akan mesjidpun mulai kami gencarkan alias setiap waktu shalat sebisa mungkin di lakukan dalam mesjid. Maklum di tempat tinggal saya (Montpellier) memang ada mesjid tapi bangunannya tak seperti mesjid. Kadang seperti kantor kosong kadang seperti gudang yang di jadikan mesjid karena besar dan lapang.
Tapi masih tetap saja rasa cemas kecolongan sepatu tetap ada. Suami saya sih santai saja, dia bilang kalau hilang ya tinggal beli lagi. Nah belinya gimana? masa mesti telanjang kaki cari-cari toko sepatu? mana udara lumayan dingin lagi!
Di Fes saya dan suami memang terbukti tidak di sentuh sekalipun alas kaki kami oleh para pencuri. Lalu kami pindah kota di Meknes. Saat kami tiba tepat waktunya shalat jum'at an. Mesjid besar yang jadi sasaran kami ternyata sedang di renovasi, wah kecewa sekali saat itu. Lalu seorang pria maroko menunjukkan pada kami bila ada mesjid lainnya tak jauh dari situ. Masalahnya pria itu tampangnya agak sedikit sangar. Apalagi dia memanggil teman-temannya sambil berseru kegirangan karena suamiku yang orang prancis adalah seorang muslim. Dan teman-temannya itu tampangnya lebih gahar lagi dari si pria tadi. Tapi pasrah karena suami ingin benar sehalat jum'at (maklum di prancis tidak terlalu bisa) jadilah kami mengikuti si pria bertampang seram itu menuju mesjid. Ternyata mesjidnya benar-benar kecil, apalagi yang untuk wanita. Tempat wudhunya pun kotor. Dan yang lebih parah alas kaki di tinggalkan hampir bersentuhan dengan gang mesjid. Pasrah deh....
Saya tak bisa menutupi kecemasan, saya pilih duduk dekat pintu luar biar bisa mengawasi sepatu saya. Dalam hati kenapa saya jadi norak begini. Mau ketemu Tuhan kok yang ada malah jadi konsentrasi ke sepatu? Aduh Tuhan dalam hati saya semoga dia mengerti. Wow yang terjadi ketika bubaran shalat, dua benda kepunyaan saya itu masih tetap nangkring, hanya bergeser sedikit mungkin kesenggol sama temannya sesama alas kaki. Dan si pria menyeramkan tadi masih tetap ada, dia tidak shalat tapi menunggui kami karena ingin menunjukan toko karpet di mana rasanya kami wajib beli sebagai tanda terima kasih. Tidak hilang sepatu tapi ke perangkap si preman maroko.
Kota ketiga yang kami datangi adalah Moulay Idriss. Kota kecil yang sangat terkenal di kalangan Maroko. Mesjid Moulay Idriss yang di jaga ketat karena hanya muslimlah yang berhak masuk, benar-benar terlarang bagi turis non muslim apapun alasannya. Suami sayapun sempat tidak di percayai, bahkan surat KUA kamipun di tolak. Lalu setelah suami saya bersilat lidah dan akhirnya di minta membaca syahadat (untuk membuktikan bila dirinya memang muslim) ketika kalimat akhir di lantunkan suami saya, merekapun langsung mempersilahkannya masuk dan menyambutnya gembira. Di sini saya melihat sekali lagi pemandangan alas kaki berserakan di mana-mana. Dan saya lihat sepatu yang beredar cukup bagus-bagus. Karena memang tempat ini sangat di anggap suci maka pengunjungnya begitu ramai. Mereka datang tidak hanya untuk shalat tapi juga untuk meminum air yang ada di dalam mesjid tersebut sekalian ziarah ke makam Moulay Idriss yang berada dalam lingkungan mesjid tersebut.
Lalu ketika selesai shalat, seorang wanita maroko mendekati saya karena tertarik dengan mukena yang saya gunakan. Berbincang cukup lama, saya gunakan kesempatan untuk bertanya "apa di Maroko ada maling sepatu di mesjidnya?" Mendadak muka wanita itu menjadi merah, saya pikir pasti mau marah ternyata dia malah tertawa cekikikan. Jawabnya "bagaimana mungkin mencuri di rumah suci? apalagi sepatu orang..hihihi anda lucu sekali" sambil di belainya pundak saya, mungkin kasian sama pertanyaan saya yang di anggapnya bodoh.
Ketika tiba di penginapan kami, kebetulan kami berdua bermalam bersama keluarga maroko yang membuka penginapan seperti Bed & Breakfast. Di sana saya bertanya sekali soal maling sepatu, lagi-lagi mereka semuanya bengong. Katanya copet sih banyak tapi di pasar atau di jalan misalnya, kalau di mesjid bagaimana bisa datang ke sana kan untuk menghadap Allah masa untuk malingin sepatu sendal?
Ya sudahlah, rasanya sejauh ini mungkin memang di Maroko tidak ada maling sepatu sendal. Soalnya kalau saya tanya lagi sama yang lain paling mereka akan mandang saya heran lagi. Yang pasti di tiga kota kami datangi di mana mesjid-mesjid yang kami shalati memang terbukti sepatu saya tetap aman begitu juga milik suami saya. Namun suami saya tetap bersikeras kalau memang maling sepatu sendal itu tidak ada meskipun di Indonesia, karena sampai terakhir dia kembali ke kampung halaman saya, tidak sekalipun alas kakinya lenyap. Wong pakenya swallow melulu setiap jum'at an!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H