Dalam tinjauan psikologi, perempuan berinteraksi dengan masalah melalui pembicaran. Namun laki-laki berinteraksi dengan permasalahan dengan diam. Begitu yang tertera dalam buku Psikologi Suami-Istri yang ditulis oleh DR. Thariq Kamal an-Nu'aimi.
Ketika laki-laki diliputi oleh lebih dari satu permasalahan, maka ia akan konsentrasi pada satu permasalahan itu saja, dan mengerahkan kemampuan untuk berfikir dan mendapatkan pemecahan yang tepat. Laki-laki melakukan semua itu dengan cara tidak bicara (diam).
Seorang suami pulang kerja, lelah menghabiskan waktu seharian untuk pekerjaan yang berat dan penuh permasalahan. Maka ia masuk rumah, setelah selesai makan ia berusaha mencari ketenangan untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang terjadi di tempat kerja. Ia duduk di sudut kamar dan berfikir dengan diam. Tanpa mau atau menghiraukan anak dan istri. Itulah pendapat DR. Thariq Kamal.
Dalam situs ensiklopedia-alQuran.com, Karim As-Sadzili menuliskan bahwa "sikap diam merupakan sebuah timbangan yang digunakan oleh suami untuk menimbang kadar permasalahan yang sedang dihadapinya."
Diamnya laki-laki adalah sebuah siklus, yang berarti akan adanya pengulangan. Karena diam merupakan cara untuk meredakan ketegangan sekaligus menjadi bagian dari solusi ketika menghadapi masalah.
Karena istri tidak memahami kecenderungan ini, maka dia kerap uring-uringan dan kesal tatkala menjumpai suaminya bersikap diam ketika dirumah. Begitu pendapat Cahyadi Takariawan dalam situs kompasiana.com.
Secara psikologis, sikap diam suami membuat istri gelisah baik dia berhasil menyembunyikannya atau tidak. Istri merasa menderita terlebih sikap diam suami meningkat pada perilaku "sibuk sendiri yang tidak penting." Sehingga istri mengira ia sudah tidak berarti lagi. Merasa tidak diperhatikan alias "dicuekin." Celakanya suami menikmati diamnya itu.
DR. Thariq Kamal dan Karim As-Sadzili sama-sama menasehatkan agar istri tidak perlu khawatir. Diammya laki-laki adalah untuk mengintrospeksi diri dan ini adalah normal. Dan "DIAM" atau menarik diri ini memang dilakukan di rumah, bukan di tempat kerja atau ketika sedang bersama teman-temannya.
Cahyadi Takariawan menyarankan agar istri sebaiknya memberikan waktu cukup pada suami untuk menenangkan diri. Tidak mengganggunya, dan tetap bersikap menyayangi. Sambutlah suami dengan senyum saat dia telah mengakhiri diamnya itu.
Namun di era sekarang yang penuh sesak dengan permasalahan, masihkan berlangsungkah sifat psikologis "diamnya laki-laki" ini? Masih relevankah? Apakah sifat ini adalah kebutuhan psikologis yang tidak bisa dihindari?