Konflik sosial yang terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada awal tahun 2017 lalu bukanlah yang pertama. Sejak tahun 1970-an, daerah yang dikenal dengan sebutan Bumi Lamaranginang ini kerap dilanda konflik dengan skala yang bervariasi.Â
Mulai dari perkelahian antar kelompok pemuda hingga perkelahian antara desa bahkan hingga berimbas pada kerusuhan antar umat beragama. Akibatnya, berbagai fasilitas umum, fasilitas ibadah, lahan pertanian dan perkebunan, serta rumah para penduduk rusak parah akibat konflik tersebut.
Berdasar data dari Data Dinas Sosial Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2014, konflik sosial di Luwu Utara yang berdampak luas. Konflik yang melibatkan warga Kecamatan Bone-Bone dan Kecamatan Tana Lili tersebut mengakibatkan sebanyak 195 Kepala Keluarga (KK) atau 689 Jiwa mengungsi dan puluhan warga harus kehilangan tempat tinggal. Kedua wilayah ini merupakan daerah dengan intensitas tertinggi kejadian konflik.
Perebutan tanah yang terjadi awalnya dipicu oleh banyaknya warga luar daerah yang merantau ke wilayah Luwu. Pendatang yang kebanyakan berasal dari daerah Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan tersebut membuka lahan untuk menanam kakao atau coklat.Â
Jika awalnya tidak ada masalah, maka setelah mengetahui harga kakao terus meroket di pasaran, penduduk Luwu pun mulai mempersoalkan status tanah yang digunakan sebagai ladang.
Saling klaim inilah yang menjadi pangkal konflik di Luwu Utara. Warga pendatang dianggap memiliki tingkat perekonomian yang jauh lebih baik dibanding penduduk lokal setempat. Rasa iri akibat ketimpangan ekonomi inilah yang dibungkus agar seolah-olah yang terjadi adalah konflik antar agama.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya provokasi yang seringkali dilakukan pihak luar untuk semakin memanaskan suasana. Harapannya, tentu saja agar warga setempat terseret untuk terus bertikai.Â
"Sering juga terdengar ada orang yang memukul-mukul tiang jembatan penghubung dua kampung seolah-olah ingin menyulut konflik antar dua kampung tersebut," terangnya.
Hasmini juga menerangkan bahwa wilayahnya merupakan miniatur Indonesia lantaran terdapat berbagai suku bangsa yang hidup berdampingan diantaranya Suku Toraja, Bugis, Jawa, Bali, Rongkong, Pamona dan Luwu. Majemuknya masyarakat yang berada di wilayahnya sangat rentan terjadi konflik yang dapat mengarah pada disintegrasi jika komunikasi tidak terjalin dengan apik.
Pergeseran Makna Kesenian Dero
Luwu Utara memiliki kesenian lokal bernama Dero, sebuah tarian massal berkelompok di mana para pesertanya membentuk lingkaran dan saling berpengangan tangan dengan iringan irama lagu (electone). Dero ditampilkan di setiap pesta pernikahan atau acara masyarakat karena melambangkan sukacita atau kebahagiaan serta rasa syukur.
Kesenian Dero sebetulnya wujud kekeluargaan dan kebersamaan, namun seiring waktu terus mengalami pergeseran. Kini, Dero tidak lebih dianggap sebagai hiburan yang kerap menyisakan perkelahian. Para pemuda yang ikut serta dalam Dero tidak jarang terlibat perkelahian akibat masalah sepele seperti bersenggolan, beradu pandang, dan lain sebagainya.
Hal ini diperparah karena umumnya mereka mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Perkelahian yang awalnya hanya antar orang perorang kemudian meluas menjadi konflik suku, agama, ras bahkan agraria (sengketa lahan).
Redam Konflik dengan Kearifan Lokal
Di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yoingsun, Ingsun yosiro (Jawa Timur), Alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun Sirih (Melayu/Sumatera) dan lain-lain.
Sedangkan, dalam budaya lokal Sulawesi Selatan khususnya Luwu Utara dikenal dengan istilah "Tudang Sipulung" yang secara harfiah berarti "duduk bersama". Tradisi ini merupakan ruang kultural yang demokratis bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya dalam rangka membahas berbagai hal diantaranya kondisi sawah, rencana kegiatan desa, berbagai ritual adat keagamaan hingga mencari solusi atas permasalahan yang masyarakat hadapi, termasuk untuk memperoleh kata mufakat atas pertikaian di tengah masyarakat.
Budaya tudang sipulung merupakan upaya berkumpul bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Proses mediasi dalam tudang sipulung harus menghasilkan keputusan bersama untuk kepentingan bersama pula. Keputusan tersebut harus dihormati seluruh pihak karena melalui proses musyawarah bersama.
Tokoh masyarakat asal Kecamatan Tana Lili, Abdullah mengatakan bahwa setiap percikan konflik yang terjadi di Luwu Utara selalu dikembalikan dalam aturan adat tudang sipulung. Seperti yang dilakukan saat hendak menyelesaikan konflik besar yang terjadi 2014 silam.Â
Saat itu, kedua belah pihak yang bertikai yakni perwakilan warga Kecamatan Bone-Bone dan Kecamatan Tanalili dipertemukan di Polsek Bone-Bone. Dihadirkan pula tokoh masyarakat, lurah dan camat kedua wilayah dan sekretaris daerah Luwu Utara yang bertindak sebagai mediator.
Dalam pertemuan tersebut masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan keluh kesah sekaligus keinginannya. Mediator berupaya menjembatani kedua belah pihak yang bertikai tersebut dengan memberikan sejumlah alternatif solusi dan jalan keluar demi mendamaikan kedua pihak. (DFY/PSKBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H