[caption id="attachment_266076" align="aligncenter" width="256" caption="The Lizards_picture from: google"][/caption]
Cerita dari balik plafon
Oleh: Dini N. Ehom
Pukul 22.21 WIB, malam Malam ini dingin sekali. Rasanya malas keluar, tapi cacing-cacing di perut tak mau berkompromi, terus berontak minta diberi kudapan. Aku pun melenggang keluar, ke salah satu sudut rumah mungil, sederhana dan seadanya. Di bawah sana, mereka, pasutri itu tengah asik berbincang akan beberapa hal yang nampaknya sungguh romantis. Aku yang kebetulan lewat situ, mau tidak mau, mendengarkan juga percakapan mereka, kira-kira seperti ini: "Pak, anak-anak sudah tidur?" "Sudah bu, ada apa?" "Nggak, Ibu lagi kangen aja sama Bapak" "Ah, Ibu bisa saja. Bagaimana hari ini mengajarnya?" "Alhamdulillah, menyenangkan Pak. Bapak bagaimana?" "Bapak lelah, Bu. Sudah bertahun-tahun Bapak bekerja di perusahaan itu, tapi officeboy memang tidak pernah dianggap. Sekalinya diberi, itu pun laptop bekas karyawan yang sering ngehang. Belum lagi printer yang sudah seharusnya dimasukkan ke gudang, malah disuruh bawa pulang. Ibu tau sendiri kan, biaya reparasi printer yang hampir tiap bulan minta dibetuli itu tidaklah sedikit. Inginnya Bapak, mereka lebih menghargai Bapak walaupun cuma seorang officeboy. Belum lagi biaya kuliah anak kita, walaupun dapat bantuan beasiswa tetap saja kurang. Gaji Ibu pun tidak seberapa, Hah!............." Kali ini aku memilih untuk cepat-cepat pergi meninggalkan mereka berdua. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi setelah percakapan itu. "Mengeluh lagi, kapan cacing-cacing di perut mereka kenyang," desisku sambil berlalu.
***
Pukul 17.30 WIB, petang Aku keluar sarang saat petang. Di luar sana banyak yang beterbangan, aku lebih suka menyebutnya kudapan asik. Adzan Maghrib untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sebentar lagi dikumandangkan, namun aku masih asik dengan kudapan asik. Sama seperti Dinda, begitu ia disapa, yang sedang asik berkutat dengan apa yang mereka sebut laptop. Penasaran, aku merayap, mendekat, lebih dekat lagi, sekadar ingin tahu apa yang membuat Dinda tak berpaling dari layar terang itu selama berjam-jam. "Bruk! Bruk! Hush.." Aku merayap sekencang-kencangnya saat Dinda memukul badan meja, mengisyaratkan agar aku pergi dari tempatku tadi. "Ada apa, Din?" suara satu lagi wanita dari ruangan lain. "Ada cicak!" Dinda menyebut nama spesiesku. "Oooh, yasudah, jangan lupa shalat maghrib," ujar sang Ibu setengah teriak. "Yaaaa," timpal Dinda singkat. Aku mendengar, jelas saja, aku kan mengintip. Disini lebih aman, pikirku. Aku terus mengamati Dinda yang tengah bingung mencari sesuatu di kolong mejanya. "Ah, cicak sialan, tadi bolpenku jatuh kemana ya?" Aku geram, apa-apaan dia menyalahkan spesiesku. Aku yang salah, bukan ibu, bapak, nenek moyang dan teman-temanku. "Ups, enak saja, aku tidak salah, kamu yang salah!" ralatku. Aku pun terus melancarkan aksi mengupingku. "Hah, tugas rumah macam apa ini? Merepotkan saja dosen itu. Memang apa pentingnya membuktikan semua teorema ini. Ini kan teorema, sudah pasti kebenarannya, sial!" ia tampak jengkel dan mengeluh. "Ini lagi, printer renta! Padahal baru kemarin diservice, masih ngadat saja. Bapak sih, aku minta printer baru nggak juga dibelikan. Begini kan jelas menghambat!" ia kembali menyalahkan keadaan dan tentu saja mengeluh. "Arghhh.... *$@#$%^*!@#$%^^%#$#%^....." Aku menutup telinga, berusaha tidak mendengar semua kutukkannya terhadap angin. Ya, aku pikir, kepada siapa lagi kata-kata sarat nafsu amarah itu ia lontarkan. Cuma ada seperangkat perabot dan udara yang mengisi ruangan itu. Aku pun merayap masuk ke tempat ternyaman yang pernah ada, dibalik plafon penuh debu, gelap, dingin, lembap, dan aman.
***
Pukul 01.13 WIB, dini hari Sebelum memejamkan mata, aku berdoa, "Tuhan, terimakasih atas sayap-sayap yang bergetar itu, atas barisan hitam yang merayap di atas putih, atas semua pedas yang terasa manis. Terimakasih Tuhan, atas hidupku sebagai aku dan apa adanya aku serta apa adanya di sekelilingku. Semoga esok aku masih diberi kesempatan merasakan asin yang manis, asam yang manis, pahit yang manis, dan manis yang lain, aamiin," doaku.
***
Pukul 13.45 WIB, siang Seorang wanita 40 tahunan, berjalan setapak demi setapak menyusuri gang sempit, becek, berbatu dan porak poranda. Aku mengenalnya, teman-temanku yang sering bersembunyi di balik tembok gang sempit itu juga mengenalnya. Ia seorang pendidik, guru honorer di sebuah taman kanak-kanak terakreditasi. Kurang manusiawi memang, sudah guru honorer, di taman kanak- kanak pula. Tapi Bu Ria, begitu ia disapa, nampaknya tak pernah sekalipun mengindahkan hal itu. Ia menyenangi pekerjaannya yang porak poranda. Waktunya dihabiskan percuma demi menemani anak-anak yang baru saja menginjak usia didik. Anak-anak yang nampaknya sangat menjengkelkan, berlarian ketika disuruh duduk, menangis ketika ditinggal ibundanya, bising ketika disuruh diam dan berbagai tingkah polah mereka yang porak poranda. Namun Ibu Ria, cerita temanku, selalu tersenyum dan tak pernah menyerah. Di sela-sela pekerjaannya, kata temanku lagi, ia selalu berdoa: "Ya Allah, terimakasih Engkau masih sudi melukiskan senyum di bibir, walau hati ini meringis, menanti sebutir buah yang manis," doanya.