Mohon tunggu...
Dini Damayanti
Dini Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kepemimpinan Perempuan Dalam Prespektif Hukum Islam

28 Oktober 2023   15:11 Diperbarui: 28 Oktober 2023   15:42 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

      

       Kepemimpinan perempuan dalam perspektif hukum Islam telah menjadi topik yang releven dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun ada pandangan yang beragam tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, banyak muslim percaya bahwa ajaran agama mereka mendorong kesetaraan gender dan memberikan ruang bagi perempuan untuk menduduki jabatan pemimpin. Dalam artikel ini, saya akan mengeksplorasi pandangan hukum Islam tentang kepemimpinan perempuan dan menyajikan argumen bahwa agama ini sebenarnya mendukung kehadiran perempuan dalam posisi kepemimpinan.

       Kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan persoalan yang masih kontroversial. Hal tersebut disebabkan adanya nash (Al-Qur’an dan hadis) yang secara tekstual mengisyaratkan keutamaan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, secara realitas tidak dapat dipungkiri adanya sejumlah perempuan yang secara obyektif memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin dan acceptable ditengah masyarakat.

       Posisi perempuan pada masa pra Islam sama sekali tidak berdaya bahkan diartikan sebagai harta benda yang bisa diperjual belikan dan diwariskan. Sementara laki-laki menguasai seluruh hak-hak yang sebenarnya milik perempuan. Setelah Islam datang, kedudukan perempuan diangkat setara dengan laki-laki. Namun ironisnya, keadaan kaum perempuan tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni masih merupakan subordinat laki-laki. Hal itu disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap mereka masih bersifat skeptis atau bias interpretation terhadap nash-nash (Al-Qur’an dan hadis) yang berbicara tentang perempuan. (Kasim Salenda, 2012).

       Beberapa orang percaya bahwa Islam menganjurkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa perempuan memiliki hak untuk memimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Namun ada yang berpendapat bahwa perempuan sebaiknya tidak menjadi pemimpin negara berdasarkan interpretasi tertentu terhadap ajaran Islam. Pandangan ini sering kali didasarkan pada konteks budaya dan tradisi yang ada di masyarakat Muslim. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam masyarakat dan diberi tanggung jawab untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan dan kesejahteraan umat manusia. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 35, Allah Swt berfirman yang artinya, “ Sesungguhnya laki-laki yang muslim dan perempuan yang muslim, laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang benar dan perempuan yang benar, laki-laki yang sabar dan perempuan yang sabar, laki-laki yang khusyuk dan perempuan yang khusyuk, laki-laki yang bersedekah dan perempuan yang bersedekah, laki-laki yang berpuasa dan perempuan yang berpuasa, laki-laki yang memelihara kemaluannya dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki yang banyak mengingat Allah Swt dan perempuan yang banyak mengingat Allah Swt. Allah Swt telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

       Selain itu, hadis dalam Islam juga mencerminkan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan. Hadis tersebut menyebutkan bahwa Aisha, istri Nabi Muhammad Saw, adalah salah satu perempuan yang memiliki wawasan politik dan pemahaman agama yang mendalam. Dia terlibat dalam konsultasi politik, memberikan nasihat kepada pemimpin muslim pada saat itu, dan bahkan berpatisipasi dalam pertempuran. Contoh seperti ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi peran dan kontribusi perempuan dalam kepemimpinan. Di sisi lain, banyak negara muslim yang telah mengakui pentingnya kepemimpinan perempuan dan menerapkannya dalam praktik politik dan sosial. Misalnya, Bangladesh telah memiliki dua perdana menteri perempuan yaitu Sheikh Hasina dan Khaleda Zia. Indonesia juga memiliki sejarah panjang kepemimpinan perempuan, seperti Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden pertama perempuan di Indonesia.

       Fakta-fakta sejarah mengungkapkan, beribu tahun sebelum Islam datang, khususnya di zaman jahiliah, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak memiliki harta. Karena itu, merendahkan perempuan adalah budaya jahiliah yang harus ditinggalkan. Cerita tentang penguburan anak perempuan secara hidup-hidup karena orangtuanya khawatir menanggung malu adalah lembaran hitam yang menghiasi zaman jahiliah. Ringkasnya, budaya jahiliah merendahkan perempuan dan memandangnya sebagai makhluk hina. Budaya itulah yang sekarang dikenal dengan nama budaya Patriarki, budaya yang menolerir adanya penindasan, perlakuan tidak adil, dan tidak manusiawi. Akibat budaya jahiliah ini, tidak sedikit kaum perempuan yang dipingit, dipasung, dan dibelenggu. Mereka tidak diizinkan menuntut ilmu, menikmati pendudukan tinggi, berkarier, bekerja, dan memiliki profesi, melakukan aktivitas kemanusiaan yang bermanfaat serta menggali pengetahuan untuk menolong sesama. Perempuan hanya dipaksa melakukan tugas-tugas reproduksi, melahirkan anak, mengasuh, dan mengurus keluarga, serta dianggap sebagai penanggung jawab urusan domestik di rumah tangga. Fatalnya meski telah mengerjakan semua urusan maha penting tadi, tetap saja mereka dihinakan, dilarang bersuara dan mengemukakan pandangan kritis. Di keluarga mereka bukan pengambil keputusan penting, di masyarakat pun jarang diperhitungkan pendapatnya dan sangat jarang diajak dalam musyawarah memutuskan kebijakan publik. Tidak heran, jika posisi perempuan hanyalah sebatas penjaga dapur, sumur dan kasur, serta dianggap sebagai konco wingking (teman di arena belakang). (Musdah Mulia, 2014).

       Untuk menjadi teladan berkualitas, perempuan dapat mengembangkan diri mereka melalui pendidikan dan pengetahuan Agama yang mendalam. Mereka juga dapat memperkuat kepribadian dan karakter mereka dengan nilai-nilai Islam, seperti kesabaran, kejujuran, keadilan, dan rasa empati. Selain itu, penting bagi perempuan untuk memahami bahwa kepemimpinan yang berkualitas adalah yang mampu memimpin dengan bijaksana, mengutamakan kemaslahatan umum, dan memberikan ruang bagi partisipasi semua anggota masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin.

       Kesimpulanya mengenai kepemimpinan perempuan dalam perspektif hukum Islam adalah meskipun terdapat perbedaan pendapat, ada ruang bagi perempuan untuk memegang posisi kepemimpinan dalam Islam. Meskipun beberapa argumen menunjukkan batasan-batasan tertentu, seperti larangan menjadi pemimpin negara atau imam shalat jamaah, ada juga argumen yang mendukung keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik dan sosial. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi  para pemimpin perempuan untuk mempromosikan interpretasi yang progresif terkait peran perempuan dalam kepemimpinan. Dengan memperkuat pendidikan dan pemahaman tentang ajaran Islam yang mendukung kesetaraan gender dan partisipasi perempuan, masyarakat dapat memperluas ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam kepemimpinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun