Pelecehan seksual menjadi salah satu kasus yang perlu diperhatikan mengingat dampaknya begitu buruk terhadap kesehatan fisik, psikis, bahkan sosial dan ekonomi korban. Kasus pelecehan seksual di Indonesia masih terhitung tinggi. Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tercatat sejak 1 Januari 2024 hingga saat ini, 25 Desember 2024 terdapat 28.051 kasus kekerasan seksual yang di mana perempuan menjadi mayoritas korbannya. Kekerasan seksual dan pelecehan seksual merupakan dua bentuk pelanggaran serius yang dapat merusak martabat dan kesejahteraan korban. Pelecehan dapat terjadi di berbagai lingkungan dalam kehidupan, baik dalam lembaga pendidikan, tempat kerja, bahkan ruang publik seperti pasar, jalan, dan kendaraan umum. Maraknya kasus pelecehan yang mencuat di berbagai media massa sudah semestinya membuat perempuan berhati-hati dan senantiasa menjaga diri, mengingat pelecehan seksual dapat dilakukan siapa saja tanpa pandang bulu dan latar belakang pelaku.
    Seperti belum lama telah beredar informasi pelecehan seksual terhadap 13 santriwati di Bandung, juga kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum polisi di Maluku terhadap anak dibawah umur. Kini media digegerkan kembali oleh kasus pelecehan yang dilakukan oleh penyandang disabilitas. Agus Buntung atau I Wayan Agus Suartama yang merupakan seorang pria difabel asal Nusa tenggara Barat (NTB) ramai menjadi perbincangan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus pelecehan terhadap 17 perempuan yang di mana dua diantaranya termasuk anak di bawah umur. Adanya laporan dari salah satu mahasiswi yang mengaku menjadi salah satu korbannya memicu penyelidikan ini terus berlanjut. Kasus Agus buntung memunculkan spekulasi dan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang penyandang disabilitas yang seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan lebih justru malah terlibat tindak pelecehan seksual. Kasus ini juga menimbulkan keraguan dan pemahaman masyarakat terkait kemampuan dan keterbatasan penyandang disabilitas dalam melakukan tindak criminal.
    Sementara pernyataan Agus dalam sebuah video klarifikasinya menantang tuduhan tersebut. Dia mengatakan atas keadaannya yang kurang dan masih dirawat oleh orang tuanya sehingga tidak mungkin dapat melakukan tindak kekerasan bahkan pemerkosaan. Sedangkan menurut keterangan pihak kepolisian, Agus memanfaatkan manipulasi emosional serta ancaman psikologis untuk memaksa korban mengikuti keinginannya. Agus diduga mengancam korban dengan mengungkapkan aib mereka sehingga mempermudah pelaksanaan aksinya. Dugaan ini juga semakin kuat setelah terungkapnya temuan bukti berupa beberapa video dan rekaman suara.
    Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak aparat penegak hukum untuk menetapkan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dalam menangani kasus pelecehan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai tersangka ini. Proses hukum sudah semestinya berjalan adil dan transparan serta konsisten dalam menetapkan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.
    Jika dihubungkan dengan konteks Pancasila, kasus pelecehan seksual melanggar sila kedua karena merupakan perbuatan yang tidak beradab dan berkemanusiaan. Pelecehan seksual merupakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia karena dapat merusak harkat dan martabat korban. Maraknya kasus pelecehan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila sebagai landasan berkehidupan. Penerapan nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan karena dapat menuntun manusia dalam berkepribadian, salah satunya menjadi manusia yang beradab. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, maka manusia akan lebih memahami tentang pentingnya menghormati dan melindungi hak asasi setiap individu, termasuk dalam hak keselamatan dan keintiman. Oleh karena itu, hal terpenting dalam mencegah kasus ini terulang kembali adalah dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Pendidikan Pancasila sudah semestinya diberikan mulai dari bangku sekolah dasar sehingga butir-butir nilai Pancasila tertanam dalam diri. Di sisi lain, pendidikan tentang kesehatan reproduksi juga harus diberikan kepada anak-anak sehingga mereka mampu memahami dan menolak kejadian yang berkaitan dengan pelecehan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H