Mohon tunggu...
Dini Arfiani
Dini Arfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mom-Student

like a swallow, so proud and free

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Matinya Realitas

1 Desember 2020   21:09 Diperbarui: 2 Desember 2020   12:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pembahasan mengenai realitas akan sangat berkaitan dengan Jean Baudrillard dengan beberapa konsepnya yang sangat terkenal, simulakra dan hiperealitas. Pembacaan diskursus ini perlu dirunut dari awal apa dan bagaimana konsep ini dapat dilahirkan dan menjadi sangat fenomenal.

Jean Baudrillard lahir di Reims, salah satu kota di Prancis pada 20 Juni 1929. Jean Baudrillard adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf kontemporer, komentator politik, sosiolog dan fotografer dengan berbagai karya yang berkaitan erat dengan pascamodernisme dan pascastrukturialisme.

 

Aku Mengonsumsi, Maka Aku Ada

Karya-karya Jean Baudrillard sangat dipengaruhi oleh pemikiran marxisme yang dipelopori oleh Karl Marx dengan fokus pada determinisme ekonomi. Pada dasarnya, Jean Baudrillard sangat setuju dengan pemikiran Karl Marx tentang dinamika apa saja yang terjadi di masyarakat tidak lain dipengaruhi oleh ekonomi, pemikiran ini yang kemudian disebut dengan determinisme ekonomi. Ekonomi seperti menjadi variabel independen yang mempengaruhi banyak variabel lain dalam kehidupan manusia. Hanya saja, Jean Baudrillard merasa bahwa pemikiran Karl Marx tidak lagi relevan di era sekarang, era kapitalisme lanjut hingga hari ini. Pemikiran Karl Marx hanya relevan pada zaman di mana Karl Marx kali pertama mencetuskan deret teorinya, materialsme dialektika historis dalam Das Capital.

Di zaman kapitalisme awal atau di era Karl Marx, mereka yang menguasai zaman adalah orang-orang yang menguasai kunci-kunci produksi, orang yang memiliki kapital atau Karl Marx menyebutnya dengan kelas borjuis. Namun hari ini, kondisi telah berbalik. Jean Baudrillard justru berpikir terbalik, dengan mempercayai bahwa yang “terpenting” di era posmodern ini adalah konsumsi. Mode of production telah tergantikan dengan mode of consumption, hal ini yang belakangan disebut sebagai masyarakat konsumsi. Seperti tidak ada gunanya, seseorang memiliki banyak uang sangat banyak, namun tidak memiliki keinginan untuk membelanjakannya. Berbeda dengan seseorang yang memiliki sedikit uang namun memiliki keinginan untuk mengonsumsi barang-barang ‘berkelas’, kelompok orang kedua inilah yang justru akan dianggap di masyarakatnya. Apa yang seseorang konsumsi, menunjukkan siapa dirinya.

Pergantian dari Mode of production menjadi mode of consumption memberikan implikasi yang sangat signifikan, yakni manusia tidak lagi menjadi subjek, melainkan objek dari realitas yang mengelilinginya. Lebih jauh, kondisi ini akan memunculkan manipulasi tanda. Pada titik ini, Jean Baudrillard juga secara tegas memberikan kritik atas strukturalisme (tanda, penanda, petanda), bahwa hari ini simbol atau tanda dan penanda justru dianggap lebih penting dari makna atau petanda itu sendiri. Seseorang dengan gawai Apple dianggap lebih berkelas dengan gawai lain buatan China dengan spesifikasi yang sama. Betapa hari-hari ini, manusia justru terjebak pada simbol-simbol arfisial. Jika ditarik lagi, konsumsi didasarkan pada keinginan untuk memiliki simbol, bukan lagi karena kebutuhan.

Ketika manusia dipaksa terus menerus bergantung pada produk-produk kapitalisme berlakulah apa yang dikatakan Goethe: “Milikmu adalah roti yang tak pernah mengenyangkan.” Artinya, semakin rajin seseorang mengeksistensikan diri dengan membeli produk-produk mutakhir kapitalisme, semakin jauh dia dari rasa kepuasan. Inilah wajah manusia yang dalam istilah Erich Formm disebut sebagi homo cunsumers, yakni manusia yang berilusi dirinya bahagia dengan membeli padahal dinamika bawah sadarnya bosan dan pasif. Semakin dia mengkonsumsi, semakin ia menjadi budak kebutuhan yang terus meningkat, yang diciptakan dan dimanipulasi oleh sistem industri. (Wijaya, 2013)

Simulakra

Kondisi yang secara terus-menerus terjadi ini melahirkan simulakra. simulakra dimulai dengan likuidasi semua referensial - lebih buruk: oleh kebangkitan artifisial mereka dalam sistem tanda, yang merupakan bahan yang lebih ulet daripada makna, karena mereka meminjamkan diri ke semua sistem kesetaraan , semua oposisi biner dan semua aljabar kombinatori. Ini bukan lagi masalah imitasi, atau reduplikasi, atau bahkan parodi. Ini lebih merupakan pertanyaan tentang menggantikan tanda-tanda yang nyata dengan yang nyata itu sendiri; yaitu, suatu operasi untuk menghalangi setiap proses nyata dengan kembaran operasionalnya, mesin deskriptif yang metastabil, terprogram, dan sempurna yang menyediakan semua tanda-tanda dari sirkuit pendek dan nyata semua perubahannya. (Baudrillard, 1988)

Dengan kata lain, simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Simulakra mnejadi sebentuk instrumen yang mampu mengubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret atau sebaliknya, dari konkret menjadi abstrak. Beberapa instrumen yang termasuk di dalamnya antara lain: televisi, video games, komputer/internet, surat kabar, majalah, bahkan lukisan. Kesemuanya merupakan media yang sebenarnya mewakili realitas, namun manusia justru menganggap segala apa yang terlihat dari media-media tersebut adalah realitas sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun