Sejarah Ekonomi Politik dalam Kajian Budaya Media berawal dari kritik Karl Mark atas ekonomi politik klasik Adam Smith yang dimotori oleh semangat kapitalistik. Maka dari itu, pembahasan ekonomi politik dalam kajian budaya dan media perlu dimulai dari akar bagaimana ekonomi politik muncul, agar terkonsep pemahaman yang utuh. Esai ini selanjutnya akan membahas ikhwal ekonomi politik klasik, ekonomi politik kritis, ekonomi politik dalam kajian budaya dan media, serta kaitannya dengan isu-isu yang lebih khusus seperti feminisme.
Ekonomi Politik Klasik
Ekonomi politik bermula dari gagasan ekonomi klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith yang beranggapan bahwa ekonomi klasik sebagai pemahaman atas revolusi kapitalis, yakni perubahan sosial ekonomi masyarakat dari basis agraria yang menggunakan tenaga kerja manusia untuk mengolah tanah menjadi basis industri yang sebagian tenaga manusia diganti dengan mesin-mesin.
Ekonomi politik klasik sangat dipengaruhi oleh paradigma positivisme dengan ciri utama antroposentrisme dan mengandalkan akal budi. Antroposentrisme yang memusatkan prioritas pada manusia pada akhirnya menjadikan pemikiran ini berkembang menjadi laissez-faire yang percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan dapat dimanifestasikan melalui pasar bebas, sehingga negara tidak dapat turut campur dalam suatu sistem ekonomi. (Wahyono, 2020)
Ekonomi Politik Kritis
Ekonomi politik berparadigma kritis yang kali pertama diprakarsai oleh Karl Marx merupakan gagasan tandingan atas ekonomi politik klasik yang tengah berkembang pada masa itu. Marx memberikan kritik terhadap ekonomi politik klasik yang dianggap mengabaikan aspek kemanusiaan karena terlalu memuja rasionalitas juga moda produksi kapitalisme yang berorientasi pada pertumbuhan yang berimplikasi pada keterasingan atau alienasi bagi para buruh. (Wahyono, 2020)
Bagi Karl Marx, ekonomi politik berarti menguji kekuatan-kekuatan dinamis yang ada di dalam tubuh kapitalisme yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perubahannya. (Mosco,1996) adanya faktor-faktor etis dan non ekonomi ketika menganalisis tenaga kerja dalam sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar kapitalisme, menunjukkan bahwa fenomena ekonomi tidak cukup dijelaskan dengan disiplin ilmu ekonomi yang mekanis dan teknikal. Hal ini dapat dilihat dari teori hukum permintaan dan penawaran. Teori ini mengatakan bahwa jika penawaran tinggi, maka permintaan akan turun. Kanon ini tentu tidak tepat jika diterapkan untuk melihat fenomena nyekar. Penawaran harga bunga yang tinggi, nyaranya tidak menyurutkan permintaan masyarakat untuk membeli bunga yang akan digunakan untuk nyekar. Pada kenyataannya, hukum ekonomi dipengaruhi oleh banyak hal seperti budaya, gender, sosial dan politik itu sendiri. Praktis, realitas ekonomi tidak sepenuhnya tepat jika ditarik dari kebenaran tunggal. Ekonomi politik membicarakan hal yang melampaui kebenaran tunggal dan objektif ini, yakni dengan melihat kebenaran-kebenaran lain yang sibjektif.
Kajian Budaya dan Media Perspektif Ekonomi Politik
Ekonomi politik telah menyusup dalam arti dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengupas apapun yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik individu, sosial maupun kelembagaan. Pandangannya yang kritis mampu melihat celah ketimpangan dan mengonstruksinya sebagai temuan baru, termasuk dalam mengulik budaya dan media.
Smythe secara tegas mengatakan bahwa media adalah industri kesadaran yang membuat teks berupa film, acara televisi, dan lain sebagainya, yang mewujudkan ideologi dominan, yang diserap oleh rata-rata khalayak. Khalayak kemudian menganggapnya sebagai naturalisasi, akal sehat. Karenanya, media paling baik dipelajari dengan mendekode teks untuk mengungkap ideologi yang menghasilkan kesadaran. Smythe menolak ini sebagai titik buta dari Marxisme Barat, yang disebabkan oleh perhatian utama Marxis akademis terhadap ideologi dan penolakan mereka terhadap ekonomi politik dan tindakan politik. Selanjutnya Smythe mengajukan jawabannya sendiri, yang kemudian mengejutkan: media hanya memproduksi satu komoditas - khalayak. Dengan ini, Smythe mengartikan bahwa semua media berkumpul, mengemas, dan menjual khalayak kepada pengiklan. Kontennya sekunder - paling banter makan siang gratis. Industri media bukanlah pabrik impian atau industri kesadaran: mereka adalah pemburu-pengumpul penonton. (Durham & Kellner, 2006)
Smythe memperkenalkan istilah ekonomi politik komunikasi pada 1960, yang ia definisikan sebagai kajian kebijakan politik dan proses ekonomi, interrelasi antar keduanya, serta pengaruhnya secara bersama pada institusi sosial. Smythe berargumentasi bahwa tujuan utama ekonomi politik komunikasi adalah untuk mengevaluasi efek agensi-agensi komunikasi di bawah kebijakan-kebijakan yang menetapkan pengorganisasian dan pengoperasian mereka. Dengan kata lain, tujuan ekonomi politik dalam komunikasi adalah mempelajari struktur dan kebijakan instistusi-institusi komunikasi dalam setting sosial mereka.