“Dadoooo…!!”, suara cempreng itu muncul tiba-tiba, entah dari kerumunan sebelah mana. Mataku yang sebelumnya asik membaca kalimat-kalimat Gibran, reflek membelot, mencari sumber suara.
Ternyata tadi itu suara Nisa. Gadis hitam manis itu mendekat ke arahku, dua tiga orang diterobos dengan cuek, “Permisi dong..!!”, “Maaf dong..!!”, berkali-kali diucapkannya . Hari ini kantin kampus lebih ramai dari biasanya. Kerumunan tidak hanya terbentuk di kursi-kursi kantin, tetapi juga di bagian-bagian yang terlihat kosong, itulah alasan mengapa Nisa perlu berkali-kali mengucapkan kata, “Dong…!!”.
“Nih bukunya…!!”, Nisa menyodorkan buku tebal bercover biru sambil mengelap keringat, dia terlihat kelelahan, nafasnya “ngos-ngos-an”. Buku itu sebenarnya pesanan lama yang baru bisa dipenuhinya hari ini. “Susah nemuinnya, Do..!”, alasan yang selalu diucapkannya tiap kali kutanyakan soal buku import karangan Mr.Bule siapa gitu (dilarang sebut merek di sini).
“Thanks ya, Ni…”, belum sempat menyelesaikan kalimat tadi, Nia sudah nyerocos duluan, persis bajaj yang lebih dari satu abad mesinnya tidak di upgrade, cempreng.
”Cuma makasi doang nih, Do..? Kalo cuma makasih doang mah, gue gak mau lagi deh susah-susah ngubek buku di Kwitang buat Lo...bla…bla…bla…!!!”, panjang kalimat yang diucapkan gadis berlesung pipit satu, hanya di sebelah kiri itu melebihi panjang antrian warung Bang Joni di depan kampus, mencipatakan efek gatal-gatal telinga, gatal-gatal muka, gatal-gatal tangan, dan gatal-gatal lainnya. Kalau tidak segera di stop, urusan bisa gawat nanti.
“Stop…!!!”, aku memutus rantai panjang dari mulutnya, “Jadi, lo mau apa, Ni???”, cepat-cepat kupotong kalimatnya tadi sebelum orang disampingku ini disumpal sandal jepit oleh massa kantin yang mulai terusik dengan ke-cemprengan-nya. Nia tersenyum, tanpa ba bi bu, dia mengatakan bahwa dia lapar dan haus, kesimpulannya dia minta ditraktir.
Kalau dirunut lebih dalam, tugas penjual pesanan itu mencari barang yang dipesan pembeli kemudian transaksi jual beli pun dilakukan, tidak ada urusan traktir mentraktir. Tapi, Nia berbeda, selalu ada kata “traktir” setiap kali barang pesanan klien didapat. Herannya lagi, klien-klien yang kebanyakan mahasiswa labil, tidak bisa menghindar apalagi menolak permintaannya itu. Dengan terpaksa, kantong direlakan bocor untuk metraktir si bawel Nia.
“Buat apa sih, Do ni buku..??”, Nia bertanya spontan, mulutnya masih penuh dengan nasi saat dia menanyakan tentang buku biruku. Tangannya sesekali berpindah dari sendok ke buku, membolak-balik buku sebentar, kemudian pindah haluan ke sendok.
“Ada deh..!”, kataku mantap. Mendengar jawaban dua kata dari mulutku membuat Nia berhenti bertanya. Saat kutanya mengapa, dia menjawab spontan, “ Males…! Ko ada ya, orang yang irit ngomong kayak lu, Do?”. Aku tersenyum saja melihat tingkahnya, umurnya lebih tua dibandingkan kelakuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H