Mohon tunggu...
Dini Anggiani
Dini Anggiani Mohon Tunggu... -

Cewek kurus, hitam manis, dengan tinggi standar orang Indonesia yang sekarang terancam ga lagi menjadi kurus, masih tetap hitam manis, dan tinggi yang sepertinya mengalami penyusutan karena adanya pelebaran ^_^. Saat ini, sedang merintis cita-cita lama dan baru (cita-cita itu sifatnya mati satu tumbuh lagi seribu, selalu berdoa semoga dibimbing ke arah yang benar, agar segala cita dan cinta bisa terwujud. Amin).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Corat-coret (Final)

14 April 2011   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:48 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Well, terima kasih untuk para pembaca yang sudah berkenan mampir ke note ini, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, amin J.

Ada yang bertanya kepada saya, “Apa inti tulisan sebelumnya (kalo ada yang belum baca, monggo (klik disini) ko ga mudeng ya?” Inilah jawabannya saudara Arie, tulisan pertama barulah intro, intro yang kepanjangan tentunya, hehe.

Seperti yang diceritakan sebelumnya, Minggu kemarin saya berkunjung ke rumah sahabat lama untuk mengambil jam. Sesampainya saya di sana, saya disuguhkan potongan campur sari atas hidupnya yang sebelumnya tidak diketahui karena selama enam tahun terakhir, komunikasi kami terbatas.

Hari itu, Mawar lebih banyak bercerita tentang hidupnya belakangan ini, entah dari mana datangnya kekuatan itu, saya mendengarkan semua ceritanya, komentar juga sih dikit-dikit, hehe. Biasanya kan saya lebih banyak ngomong ketimbang ngedengerin cerita orang (sedikit curhat, saya memiliki ketidakfokusan verbal, yang artinya sulit focus kalo mendengarkan orang bercerita secara verbal (maaf teman2, gw udah berusaha focus kus kus J)).

Back to the topic, mendengar ceritanya, ada bagian dalam hati yang tersentuh, hidup itu ga sempit teman alias luas, luas, dan luas!!! Hidup itu pasti ada memiliki dan kehilangan, mau ga mau, siap ga siap, saat kehilangan itu ada di depan mata, kita mesti terima. Saat bisa menerima itu semua, ada energi untuk saling menguatkan, orangtua menguatkan anak, anak menguatkan orangtua, kakak menguatkan adik, dan seterusnya. Kesimpulan ini terlihat  agak sotoy alias sok tahu, seolah-olah saya udah hidup lama aja dan tahu bagaimana hidup itu sebenarnya. Hey, emang saya ga tau banyak tentang hidup, tapi kenyataannya cerita-cerita Mawar membuat saya  berpikir seperti itu, hehe. Menyenangkan bisa mendengar cerita Mawar, membuka potongan lain yang tidak pernah dilihat.

Ketika ngobrol-ngobrol dengan Mawar, ibunya lewat. Beliau mondar-mandir mau mandi, tapi ada barang yang ketinggalan, persis seperti mama saya di rumah kalau mau mandi, mondar-mandir ga jelas sambil nenteng-nenteng anduk plus riweh. Ga terlalu penting ya bahas ibu-ibu yang mau mandi, ga ada gregetnya juga (Maksud Lo, Din?? Hehe). Itu tadi hanya intermezzo sebelum beralih ke pelajaran lainnya lagi, J.

Saat datang ke rumah Mawar, ibunya menyambut dengan senyum, mempersilakan duduk, kemudian kami ngobrol santai sebentar. Saat ngobrol santi itu, beliau menceritakan tentang teman lama saya juga yang baru saja melahirkan. Waww, mendengar berita  bahagia seperti itu siapa yang tidak senang? Tapi, kesenangan itu berbalik menjadi sebuah simpati saat fakta lain diceritakan olehnya. “Suaminya meninggal saat anaknya baru berusia dua minggu…Radang Otak…!”, Innalilahiwainailaihirojiun, kesenangan dan kesedihan itu bedanya tipis teman, malah kadang sulit membedakannya.

Lagi-lagi saya dihadapkan pada contoh “menerima” seperti yang diungkapkan di awal. Mau ga mau, siap ga siap, takdir yang ditentukanNya harus diterima dengan lapang dada. Saat penerimaan itu muncul dari hati terdalam, beuh, sepertinya ada cahaya warna-warni yang muncul dari dalam diri, menciptakan kedewasaan berpikir, dan menimbulkan aura menyenangkan (ini semua Cuma khayalan saya aja, mungkin akan lebih dari ini, J).

Begitulah ceritanya.

Kebetulan, hari Minggu itu, di rumah yang diceritakan ibu Mawar tadi, akan ada pengajian memperingati empat puluh hari kelahiran anaknya teman saya itu. Kebetulan juga rumah Mawar dan Melati (sebut saja begitu biar gampang) berdekatan, plus saya lagi main ke rumah Mawar, maka diputuskan untuk ikut pengajian itu.

Enam tahun, dan sudah banyak hal yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun