Mohon tunggu...
Dini Anggiani
Dini Anggiani Mohon Tunggu... -

Cewek kurus, hitam manis, dengan tinggi standar orang Indonesia yang sekarang terancam ga lagi menjadi kurus, masih tetap hitam manis, dan tinggi yang sepertinya mengalami penyusutan karena adanya pelebaran ^_^. Saat ini, sedang merintis cita-cita lama dan baru (cita-cita itu sifatnya mati satu tumbuh lagi seribu, selalu berdoa semoga dibimbing ke arah yang benar, agar segala cita dan cinta bisa terwujud. Amin).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Cikini ke Sabang

1 Juni 2011   08:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal paling menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah menemukan”, quote tersebut saya temukan di salah satu halaman buku kumpulan kisah perjalanan beberapa penulis, Journey (Kalo ga salah ya, maaf saya lupa judul lengkapnya apa). Buku dengan sampul yang memberikan kesan Vintage itu, saya temukan di salah satu rak yang tentunya rak milik toko buku ternama yang ada di Kota Bogor. Well, saya bukan orang yang suka menilai orang dari cover luarnya, tapiiii, saya salah satu orang yang suka membeli buku karena cover buku-nya. Istilah Don’t judge books by its cover ga terlalu berlaku buat saya dalam hal membeli buku karena umumnya saya melirik buku akibat covernya yang eye catching dan beruntung isinya juga read cathing (maksa, haha), maka transaksipun terjadi. Buku dengan cover tas yang ditumpuk-tumpuk ini menarik perhatian saya dan tanpa tiba-tiba buku itu sudah ada digenggaman dan tanpa sadar, saya sudah membaca seperempat isinya sambil berdiri (okeh, bagian ini cuma rekayasa). Buku ini berisi kumpulan kisah perjalanan beberapa penulis yang dengan suksesnya membuat saya mupeng dan membuat saya teriak ke temen kantor pagi-pagi, “Tanzilll, kita ke Karimun Jawa yukkk….!”. (Padahal pengen banget teriaknya itu, “Tanzil, kita ke New York yuk, ato “Tanzil, kita ke Arab Saudi yukk”, ato “Tanzil, kita ke Afrika Yukkk…!!”, tapi entah kenapa yang keluar malah Karimun Jawa. Hehe, sebenernya bisa-bisa aja teriak-teriakin semuanya, tapi untuk saat ini yang paling masuk akal dan masuk logika kantong ya Karimun Jawa, hehehe).

Well, sejujurnya, ditulisan kali ini saya ga bermaksud untuk meresensi buku tersebut, ada maksud lain ketika saya menuliskan note ini. Maksud lain itu apa? Let me write it now.

Pagi ini, saya dan beberapa rekan kantor dikirim ke Sabang (bukan Sabang temennya Merauke ya, tapi Sabang yang ada di daerah Kebon Sirih itu lo) untuk melihat kegiatan wawancara online yang sedang berlangsung di sana. Untuk sekedar informasi, saya bekerja di lembaga riset independen yang khusus melakukan riset terkait dengan produk, konsumen, dan lainnya yang terkait pemasaran. Salah satu metode yang digunakan untuk mendapatkan data adalah wawancara secara online, responden di undang untuk datang ke kantor kami kemudian wawancara dilakukan secara langsung menggunakan media komputer, bukan kuesioner seperti pada umumnya. Kali ini, program untuk memasukan data yang digunakan berbasis web, jadi data yang di-input akan terkirim langsung ke server klien. Kebetulan riset yang dilakukan kali ini berkaitan dengan kesehatan dan profile respondennya orang-orang berusia lanjut, yaitu mulai 45 sampai 75 tahun. Kebayang kan ribetnya nge-interview nenek-nenek/kakek-kakek? Emang ribet, karena faktor usia ada hal-hal yang membatasi ruang gerak dan ruang berpikir mereka. Herannya, udah tau profil respondennya seperti itu, tetep aja pertanyaannya banyak. Okeh cukup informasinya, bisa-bisa nanti note kali ini malah bahas tentang begituan secara lanjut, pusinggg…!!.

Sampai di sana, saya disambut para interviewer yang sedang asik ber-klak-klik ria di depan komputer sambil mewawancarai responden. Saya yang kebetulan ditugaskan untuk melihat jalannya kegiatan tersebut, langsung memilih spot asyik untuk mengamati. Setelah nomaden dari satu bilik ke bilik lain, nangkringlah saya dengan tenang di satu bilik yang isinya mba-mba interviewer yang sedang mewawancarai ibu yang entah namanya siapa, yang belakangan saya tahu umurnya 62 tahun. Saya menyaksikan dengan pasti bagaimana mba-mba interviewer bertanya dan si ibu menjawab. Saya sebagai pemerhati, sukses dibuat geregetan karena pertanyaan ternyata masih banyak, (semakin saya pandangin itu komputer, semakin yakin kalau kegiatan ini masih lama, la wong sudah 30 menit berjalan, proses interview baru sekitar 30-40 persen-an, Dezingggg….!!!). Tapi, ketika saya beralih dari komputer ke ibu yang lupa saya tanya siapa namanya itu, ke-geregeratan saya berkurang. Tanya kenapa? Ibu itu sabar dan santai banget menghadapi penderitaan yang masih akan berlangsung sampai 40 menit ke depan itu. “Santai aja mba, saya orangnya santai kok, ngapain buru-buru…!”, Si Ibu tiba-tiba nyeletuk seperti itu, mungkin dia bisa membaca raut wajah saya yang mulai dilanda ketidaksabaran tingkat tinggi ini.

Sejauh saya memerhatikan, ibu yang usianya sudah lanjut ini bisa dikategorikan sebagai nenek yang “CERDAS dan FOKUS”. Mohon maaf, bukan bermaksud merasiskan seseorang berdasarkan usianya, tapi selama ini memang jarang saya temui nenek-nenek ataupun kakek-kakek yang masih bisa nyambung dan focus kalau diajak bicara serius, seperti bicara mengenai masalah kesehatan, persepsi, dan tetek bengek lainnya seperti wawancara kali ini. Nenek yang satu ini (untuk selanjutnya, ibu diganti nenek J) terlihat bersemangat, guratan-guratan halus yang melukis wajahnya tidak mengalahkan fokusnya dalam menjawab pertanyaan, dengan teliti ia membaca satu per satu pilihan jawaban yang tertera di layar komputer. Sesekali nenek ini menanyakan istilah-istilah asing yang mungkin baru kali ini didengarnya. Untuk beberapa saat saya dibuatnya, berdecak kagum, “Dahsyat, Nek, anda cerdas dan fokus sekali..”, dan beberapa saat kemudian, saya kaburkan pandangan ke kakek-kakek yang tepat duduk di depan saya, sekitar 5 meter-an. Tampangnya penuh kebingungan, matanya sepertinya sudah tidak berfungsi dengan baik, beliau terlihat memaksimalkan fungsi pendengaran dan fungsi “Mba-mba interviewer” sebagai penerjemah jawaban-jawaban yang irit dikeluarkan dari mulutnya. Dia sesekali mengangguk, mendengar penjelasan mba-mba interviewer.

Saya fokuskan kembali pengamatan ke Nenek Melati (Sebut saja begitu biar mudah ya J). Kali ini, pertanyaan berkaitan dengan persepsinya terhadap kekhawatiran mengenai kesehatan dan kekhawatirannya akan masa depan terkait umurnya yang sudah lanjut. Setelah dengan mantap menjawab pertanyaan-pertanyaan membosankan itu, Nenek Melati tiba-tiba nyeletuk, “Saya bukan tipe orang yang takut akan hal-hal yang belum terjadi mba, kalau takut begitu mah bikin stress…!!!”. Mba Yulia, interviewer yang duduk tepat disamping saya ini menambahkan, “Iya ya bu, kita jalanin aja dulu yang ada sekarang dengan baik…!”. Percakapan pun berlanjut, antara keduanya, dan saya hanya menggut-manggut sampai akhirnya berhenti manggut-manggut karena merasa seperti ada yang menampar pipi yang mulai melebar ini, “Saya ga pernah takut dengan masa depan mba, jangan pernah menakutkan hal yang belum pernah terjadi…”. Jederrrr…!!. Kemudian mba Yulia menambahkan lagi, “Iya setuju bu, kita jalanin aja yang ada sekarang sebaik-baiknya…”. Entah kenapa, ingatan saya melayang ke sebuah quote “Kehidupan sekarang, ada karena kehidupan masa lalu. Dan kehidupan masa depan, itu ditentukan oleh hidup yang dijalani saat ini…!”. Setelah itu ingatan itu kembali ke dalam otak dan tersadarkan oleh sebuah kenyataan, bahwa beberapa waktu belakangan ini, hidup saya berasa kacau karena sedikit dibumbui oleh ketakutan tentang hari esok. Thanks Nenek Melati dan Mba Yulia, sudah mengingatkan, bahwa biarkan esok menjadi esok, dan kita jalani hari ini dengan sebaik mungkin. Pertanyaannya adalah, sudahkan anda minum Ya*** hari ini??? Hehe, ngacooo…!!. Pertanyaannya sekarang adalah, sudahkan saya (anda juga) menjalani hari ini dengan sebaik dan sebermanfaat mungkin ???? Entahlah…J

Berlanjut ke sesi berikutnya, dengan mantap dan teliti Nenek Melati menjawab pertanyaan dari Mba Yulia. Sesekali tangannya menyentuh monitor dan komat-kamit sendiri. Sampailah di pertanyaan yang saya lupa apa, tapi saya ingat Nenek Melati mengatakan ini, “Kalau udah tua kayak gini, uang udah ga dipikirin lagi mba, yang dipikirin adalah SEHAT”. Mba Yulia tersenyum, dan saya bersorak dalam hati, “Setuju, Nekk…!!!”. Setelah bersorak dalam hati, saya jadi mikir sendiri, “Hmm, terus kalo udah tua uang ga dipikirin lagi, kenapa sewaktu muda, “kita” pol-polan nyari uang yang katanya untuk tabungan masa depan, masa tua, sedangkan pas udah tua, uang udah ga dipikirkan lagi???”. Hati-hati dengan pemikiran seperti ini, salah-salah malah jadi salah tangkep. Mari kita abaikan saja pikiran tadi, hehe. Ketika masih muda, saatnya berkarya, untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Dengan karya-karya itu, kita bisa membangun sebuah keluarga yang pada nantinya akan meneruskan perjuangan “kita” ketika masih muda dulu, yaitu berkarya lagi, looping terus dalam berkarya. Agak terkesan sotoy, tapi biarlah, hehe.

Akhirnya saya berucap syukur dalam hati ketika komputer menunjukan kalimat berikut, “Terima kasih atas partisipasinya, kami ucapkan terima kasih…!”. Siksaan saya berakhir juga akhirnya, hehe. Sejenak saya berpikir (tepatnya nyambung-nyambungin dengan quote pembuka di awal), “Hal paling menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah menemukan”, sepertinya saya baru merasakan hal yang paling menyenangkan itu, bertemu dengan Nenek Melati, mengamatinya, bisa mendengar celetukan-celetukannya yang ga sekedar celetukan biasa. Ternyata memang benar, “hal paling menyenagkan dari sebuah perjalanan adalah menemukan”. Ga sia-sia jauh-jauh (ga deng, deket, jauh itu kalau jalan kaki J), pergi ke Sabang pagi ini.

Mari lanjutkan perjalanan, dan selamat menemukan hal yang paling menyenangkan dari sebuah perjalanan itu, yaitu “Menemukan”.

Stop korupsi waktunya, mari kita kerja lagi J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun