Mohon tunggu...
Dini Afiandri
Dini Afiandri Mohon Tunggu... -

Penyuka berbagai jenis kesenian, mulai dari Musik, Puisi, Lukisan, hingga Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kelakar 7 Kopi di Kineruku Atas Rumah Kopi Singa Tertawa

7 Oktober 2012   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:06 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesialan. Kebetulan. Keranda. Kenangan. Kegoyangan. Keresahan. Kegembiraan.

Itulah 7 poin pertama sebagai icip-icip rasa di lidahku ketika bertandang sore itu ke Hegarmanah 52. Bandung hujan lebat. Setelah selesai makan siang di Cipaganti, aku menghadiri Bincang Buku di Kineruku. Barangkali frase Diskusi Buku dan Bedah Buku sudah terlampau umum. Memang demikian halnya. Pada katalog seni rupa, katalog pameran, hingga kamus sekalipun, sebuah ucapan terima kasih atau tepatnya kata pengantar selalu saja diawali dengan kalimat “Berawal dari kegelisahan….” Yang sepintas terlihat megah, maha besar, padahal belum tentu demikian. Itu baru sebagian saja dari kepuasan menjadi penikmat Yusi Avianto Pareanom. Slogan Kineruku hanya terdiri dari 3 kata: Dengar/Baca/Tonton. Pada nyatanya, kopi, camilan, dan akustikan menjadi titik-titik krusial dari kedalaman para penganut sekte pemuja matahari—kami sendiri—yang terbuai 4 jam dengan Dewa Apollonya, penulis kumcer alias antologi cerpen “Rumah Kopi Singa Tertawa”.

Aku dan pria bongsor kenalanku kebetulan adalah peserta kelas penulisan yang dibesut mas Yusi sendiri, dulu, berdua dengan satu-satunya musuh terbesarnya yakni sahabat mas Yusi selama 35 tahun: A.s. laksana CK. Hanya kami berdua yang tahu bahwa cerpen “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih” ditulisnya dengan ide genre slice of life. Sesungguhnya, aku hapal buku-buku terbitan Kebun Pisang (Banana Publisher) luar dalam karena salah satu novel keroyokan kami brojolkan bersama tepat setahun belakangan, tepatnya hanya selisih satu hari dengan acara ini… Menakjubkan bukan? Itulah hebatnya kebetulan. Kebetulan bisa dieksekusi menjadi kenyataan karena menurut Budi Warsisto, penggemar setia “The Catcher in the Rye”-nya J. D. Salinger, cerpenis semestinya menjadi Tuhan dalam karyanya. Ini kami bantah, kami tembak dengan umpan-umpan pertanyaan baru, utamanya setelah saya selesai bertanya mengapa cerpen 2 punakawan di dalam buku itu tidak ada tanda bacanya. Jawabannya menakjubkan sekali dari bibir mas Yusi sendiri: “Menantang diri sendiri itu bagus sebetulnya. Sejujurnya, tanda koma di sana pun ingin aku hilangkan, tapi belum bisa.”

Karena sudah khatam Sherman Alexie dan bacaan lalapan perguruan kelas menulis kami, aku tertawa saja habis-habisan. Dalam hati, juga bersama kawan dekatku lainnya yang penasaran dengan pancingan bagaimana membedakan pacarmu bila dia kembar? Seisi orang yang ada di teras sejuk itu memutar otak, berusaha mencari punchline yang menghantam dan kocak, padahal jawabannya amat berterima cukup dengan logika menyentil. “Kalau yang satu toketnya besar, sedangkan yang satunya lagi tititnya panjang.” Gila, kan orang ini?

Aspek kebetulan menjadi hidangan utama hari ini. Aku pun beruntung karena kebetulan-kebetulan yang aneh tapi ajaib memang ada hari ini. Bandung, memang sempit. Saya bertemu dua orang pengisi kumcer “Perkara Mengirim Senja”, Maria Dilla dan Theoresia Rumthe. Maklumlah, secara sejarah, ada 4 toko buku intelektual di Bandung yakni:

1.Tobucil

2.Kineruku

3.Common Room

4.Reading Lights

Itu semua belum termasuk 1 Taman Bacaan tertua, terantik, dan terlengkap yang hanya diketahui oleh saya sendiri dan namanya akan saya rahasiakan. Untuk lebih jelasnya, diskusi hari itu di Kineruku membuahkan begitu banyak topik lanjutan. Kegalauan penulis muda adalah dengan maraknya jejaring social Facebook dan Twitter, toko buku kawakan seperti GPU selalu saja menelurkan dan menerbitkan buku kumpulan ocehan Twitter hingga yang lebih parah lagi seperti mereproduksi ulang karya-karya lama hanya dengan mengganti sampulnya. Orang-orang yang peka di teras Kineruku mendadak merasa sehati. Aku rasa, penulis-penulis muda pemberani sekarang dicaplok sana sini hingga perguliran arus zaman membuat manusianya tergerus Takdir.

Akhirnya sosok yang begitu saya rindukan itu mulai mencoreti papan tulis yang disediakan. Ketika materi-materi ringan dan singkat itu terucap dari bibir mas Yusi, saya merasa kelebatan memori-memori saya bertahun silam itu tidak sia-sia. Aku menoleh dan menjepretkan ponselku untuk mengabadikan Ronny, kakak seperguruanku, yang sedang meneguk kopinya. Mas Yusi sendiri berkali-kali memberi jeda untuk sekedar minum jatahnya, menyundut rokoknya, bahkan hanya untuk sekedar membiarkan barista sekaligus owner Kineruku memutar blendernya. Kami mendadak seperti menjadi peran-peran baru dalam rutinitas kami yang kerap kali memancing kemarahan. Sekali lagi, itu hanya sebersit rasa hari itu. Selera indera pengecap kami berbeda, seberbeda daftar menu kopi hari itu.

Aku memesan Kopi Kenangan. Pada setiap gelas hari itu disematkan kertas yang merupakan cuplikan dari buku yang dibahas hari itu. Saya pengamat dan pendengar yang ahli, maka saya juga memperhatikan bahwa kopi tubruk sederhana tanpa gula yang berjodoh dengan saya hari itu seperti sebuah ironi. Dibandingkan Coffee Cream, Cappuccino, serta Ice Mocha Latte yang lebih yummy di tangan peserta lain. Petikan gitar dari lagu jadul hari itu di awal, suara Theo sebagai MC, semuanya seolah terangkum dalam satu kata bernama ‘kesetiaan’. Tiap-tiap dari kami berada pada fase yang sama. Letih dengan kegetiran hidup yang sepahit kopi. Berusaha bersandar pada kemanisan gula. Atau barangkali mencari pelarian dengan whipped cream di sloki sendiri. Apapun itu, pastilah pertemuan di tengah hujan lebat seantero kota berkesan di benak masing-masing.

“Buatlah komunitas kecil yang bisa memberikan pendapat jujur untuk tulisanmu.”

“Cobalah mengetik ulang karya-karya penulis yang kau kagumi, lalu curilah ide, kata-kata, dan jurus jurus mereka pelan-pelan. Penjiplakan, tentu saja, dilarang.”

“Sampai sekarang aku masih tercengang dengan ujaran anak-anak muda sekarang di internet. Seolah-olah takut tidak dipercaya bahwa sedang bercanda. Embel-embel yang mereka suarakan hanya membuat mereka makin gagal untuk memahami metafora, majas, dsb. Ini patut disayangkan….”

Bincang-bincang singkat itu berujung kepada kesimpulan, solusi, bahkan sebagai acara bedah buku RKST ke-3 (Yang pertama di kafe Coffeewars Kemang, yang kedua di komunitas Salihara di bilangan Pasar Minggu), menurutku pribadi, ini adalah acara yang tersukses dan paling penuh sambutan baik dari seluruh hadirin, karena tawa-tawa kami jauh lebih renyah. Kreatifitas kami terbina, dan bonusnya adalah pergaulan kami menjadi lebih luas. Tidak hanya itu, ada endapan-endapan tertentu yang sulit sekali kuungkapkan. Endapan itu bak sisa ampas biji robusta di gelasku, yang dibuang tapi intisari keberaniannya sudah masuk ke pencernaan.

Pembaca dan apresiator sastra bisa dengan asyik menantikan karya garapan yang akan diopyok oleh Yusi berikutnya. Judulnya Anak-Anak Gerhana dan satu lagi, sebuah proyek nusantara yang 2 babnya tertera sebagai hidangan pembuka di RKST: Raden Mandasia dan Pencuri Daging Sapi.Begitulah sesi “Rumah Kopi Singa Tertawa” berakhir. Kerancuan, kebetulan, keindahan, kebangsatan, dan kegilaan yang luar biasa menohok dari sesi ngrasani & nggilani itu berakhir memuaskan dengan tanda tangan dari editor paling menawan.

(Dini Afiandri, salah satu kontributor buku “LENKA” oleh Sarekat Penulis Kuping Hitam)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun