Mohon tunggu...
Dini Afiandri
Dini Afiandri Mohon Tunggu... -

Penyuka berbagai jenis kesenian, mulai dari Musik, Puisi, Lukisan, hingga Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Ketika Sial dan Beruntung Menyatu Seru (bagian ke II)

7 Oktober 2012   15:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:07 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu ketika, saat aku sedang bergeming tanpa melakukan apapun selain mengeluhkan nasibku, aku kesandung lagi sama kesialan, dan kesialan kali ini berbuntut panjang. Siapa lagi dalangnya kalau bukan keberuntungan, Sebenarnya aku sudah lama tahu. Kasas, yang bisa meramal, pernah berkata padaku bahwa setelah Kaliyuga atau kehancuran sudah terjadi, fase berikutnya adalah Satyayuga.

“Aduuuhh! Kamu lagi, kamu lagi! Maumu apa sih? Aku lagi ga mood!” Gerutuku sambil mencabut segenggam ilalang dan melemparkannya ke muka ajudan yang tolol songong bin sombong itu. Dia menyahut dengan congkak: “Aku ini atasanmu, tolol! Jaga mulutmu!” Lalu mukaku ditamparnya. Aku diam saja. “Cuih!” Mukaku diludahi oleh ajudan satunya lagi, dan ketika aku menghapusnya dengan tangan, mereka menginjak punggungku yang sudah terjerembab dari tadi. “Dewa Sial yang selalu sial! Hahaha! Bodoh, bodoh, Aegis bodoh!” Keduanya mengitariku dan bernyanyi mengejek. Rahangku gemeretak oleh kemarahan. Noi dan Mao adalah temanku sedari kecil, dan mereka selalu menindasku, menggilasku, dan memperlakukanku seperti talenan.

WADEZIG! Bukan, itu bukan bunyi perkelahian, tapi bunyi ide yang meniban otakku. Aku tersenyum culas. “Ajudan Noi dan Mao, sudah dengar gosip terbaru?” Aku berkata sepet sambil menatap mereka. “Gosip apa? Emangnya aku harus koprol sambil bilang “Wow!” gituh?” Mata Noi berputar-putar meremehkan.

“Ada seorang gadis nganggur yang amat cantik yang bisa kalian temui hari ini.”

Mao mendengus dengan hidung babinya, sementara hidung kerbau Noi mulai basah, tanda ngiler mendengar cetusanku. Lalu kubisikkan hasutan itu ke telinga mereka berdua, mereka langsung tertawa-tawa dan pergi setelah menepuk-nepuk pipiku. Aku tahu mereka sudah termakan ucapanku. Aku duduk lagi di tepian sungai itu, mencabut lagi sebatang ilalang yang beku oleh embun, dan mengisapnya. Ketika melamun itu, aku mendengar suara hati seseorang, seperti telepati mistis nan aneh. Hanya satu kata: Tolong. Baru saja aku hendak membarikade pikiranku karena malas, sekelebat bayangan tampak di benak dan aku melihat hasil hasutanku tadi. Seorang maiden alias pembantu rumah tangga yang sedang diganggu oleh dua orang terberengsek sedunia. Aku terkekeh. Hiburan~! Ya, hiburan kesialan!

Noi sedang mengelus-ngelus muka maiden itu. Mao sedang meraba dan memukul pantat si gadis. Seakan belum puas, mereka makin kurang ajar. Kemoceng dan sapu mereka lemparkan ke belakang, lalu, yah, aku sudah hapal tingkah mereka jadi kubiarkan saja kesialan berikutnya menimpa para preman rese ngeres itu. Sebuah ember berisi cairan kotor habis ngepel terbang dan tumpah ke kepala keduanya. Maiden itu berhasil lepas, lalu kakek tua yang muncul di ruangan itu gabung dan membuat chaos makin rebut, makin menarik, sekaligus makin lucu. Noi dan Mao kaget bukan kepalang karena kakek itu guru mereka Wisanggeni. Aku ngakak sejadi-jadinya. Baguuuuss! Biar mereka tahu sekarang siapa yang tolol dan siapa yang pantas dilindas!

Kututup imaji tadi dengan enteng. Lalu berbaring. Kesialan itu nikmat. Balas dendam juga manis dan nikmat. Semanis mata seseorang yang--- Oh, sialan!

“Kamu ga berubah, Aegis.” Orang yang kutunggu datang. Aku tidak memeperbaiki sikapku meski hanya sekedar untuk duduk. Aku malah berguling ke samping agar tak melihat mukanya. “Kamu juga sama saja.” Ujarku kesal.

Aku merasakan sapuan lembut pada bahuku. Aku menepis tangan itu dengan marah dan langsung berdiri. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!”

Mata coklat madu itu sekarang berkaca-kaca. “Maaf…”

“Tak sudi aku menerima maafmu! Maaf yang lemah!”

Wanita itu mengurungkan tangisnya, atau barangkali niatnya, karena kulihat dia menguatkan diri dan membuka mulut untuk menjelaskan. ‘Tapi aku sudah mencoba, Gis. Aku berusaha mendapatkan izin untuk kita berdua, tapi admin Nasuada tak menggubris…. Aku sudah lelah dengan surat serta segala tetek bengek kahyangan… Dan kulihat kau juga sama… Bantulah aku!”

Aku membuang muka. Harga diriku sekumal sandal jepit usang!

“Berkali-kali kubilang, bukan bagianku sebagai pengurus kesialan untuk bertarung hanya demi sebuah nama baik!”

“Ga adil! Kau yang lelaki!” Phoebe berputar dan muka kami sekarang bertatapan. Matanya nyalang, sedang mataku memicing setipis garis. “Kalau begitu maumu, aku akan mengutukmu lagi!” “Oh ya? Kutuklah aku dan akan kubalas dengan kutukan pula! Bosan aku bicara pada pria yang kejantanannya nihil!” Amarahku meledak, kucengkram bahunya dan kuguncang-guncang hingga ia ketakutan. Seorang perwira tinggi melihat, meringkusku, juga Phoebe, dan menjebloskan kami berdua ke penjara. SIAAAAALAN! TIDAK LAGI! PENJARA LAGI? Itu berarti puasa makanan dan hukuman Karma lagi! Dan kesialan kali ini berpangkat tiga, bukan dua. Malah sepertinya berpangkat kuadrat 108! Lebih nista daripada Teori Relativitas ilmuwan kribo! Lengkap sudah penderitaanku! Grrrrrrrrrh!

Kahyangan, Pengadilan Tinggi Ababil

Kaisar Guri Giok menghantamkan tinjunya (bukan palu, karena ketinggalan zaman) ke meja kayu hitamnya. Juru tulis mencatat dengan pena bulu merak.”Dekrit 95 Pasal 3 titik 1. Kekerasan terhadap sesama dewi. Satoru-san dan Magnolia-chan tertangkap basah di tepi sungai pergantian arwah! Catat itu.” Sret sret sret sret, pena itu menulis dengan cekatan. Mungkin kau bertanya-tanya mengapa di pengadilan jadi ada embel-embel sapaan Jepang. Sebabnya adalah Guri masih muda sekali, dan seperti kubilang, dewa dewi dunia masa kini itu konyol. Aku sudah melotot marah. Aku tak peduli meski seisi juri dalam ruangan bulat ini menertawakanku. Atau kepada tombak, golok, dan pedang yang tersampir di pinggang para prajurit. Phoebe, sebaliknya, pasrah. Ia merasa terasing dari rasnya sendiri.

“Biarkan aku membela diri!” Aku mengaum kepada seisi pengadilan.

“Catat itu. Terdakwa minta izin untuk.—“ Guri tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena kupotong. “Oh, diam! Anak ingusan, aku 7tahun manusia lebih tuir darimu dan 800 juta tahun cahaya lebih sakti darimu jadi DIAM! Ini semua salah dia!” Aku mengedikkan kepala ke samping. Rambut hitamku yang sebahu mencipratkan keringat ke Phoebe! Gadis itu memekik tinggi. “Paduka, yang salah justru dia!” Jeritnya ga mau kalah. “Enak saja! Salahmu tauk!” “Salahmu! “Bukan! SALAHMU DEWA SIALAN!”

“Aku minta kebab dengan bawang.” Guri menyahut nggak nyambung.com ke juru tulis. Aku menggeliat, dan memutuskan rantai yang mengikatku. Phoebe hendak berdiri, tapi kesandung rok bordirnya. Sempurna! Kesialan yang sempurna! Kali ini aku akan menang darinya! Aku mencabut sabit di pinggangku dan mengambil kuda-kuda. Phoebe berguling ke depan, menendang prajurit apes di belakangnya kemudian lari keluar pengadilan! “Eits, mau ke mana kamu?” Kukejar dia.

Dan dimulailah sesi kejar mengejar paling konyol sepanjang sejarah kahyangan.

*&&&&&&&&*

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun