Pada titik jenuh yang tak terkira, kita meradang dalam kehausan. Semesta telah menghembuskan nafas-nafasnya dan senantiasa membagikan pada pelaku-pelaku kehidupan. Terkadang kita semua sejenak terlupa bahkan sampai benar-benar melupakan kebaikan semesta dan penciptanya. Sehingga tergambar jelas panorama yang kerontang tanpa kesejukan tentang si tamak meminta dan meminta lebih. Haruskah si Berhak merelakan setipis harapan yang seharusnya melekat pada baju kegigihannya. Terlintas jelas bahwa bumi yang kita pijak adalah dimensi yang harus kita lalui dengan segala doa untuk kebaikan kesempurnaan. Kita terlahir dalam tuntutan ilmu dan pandangan-pandangan ketentuan yang harus kita jalani atau semua itu yang memaksa kita untuk bergerak dan berjalan, itulah rel yang tersedia, mudah-mudahan bukan rel kesesatan yang kita pilih.
Semua telah bergulir memperjuangkan ego-ego yang selalu bernafsu dan dengan sadar telah mengikis habis ketebalan dinding-dinding serta pondasi kebaikan yang telah kita raih dipersinggahan tujuan sebuah hakekat. Kita semua dengan kemunafikan selalu membuat dan mendengar lahirnya janji-janji yang selalu dan terkadang mengenakan jas keingkaran juga berdasi kemelesetan.
Pada keheningan hati dan kesunyian jiwa masihkan kita punya kesempatan untuk berpikir tentang kejernihan hidup dan kesejukan bathin yang semakin menjauh arah dari jasad-jasad lahiriyah kita semua. Serasa kita tidak berpijak lagi pada norma kesepakatan tapi melayang bagai asap kemurkaan dari api kebencian dan bahan bakar ketamakan.
Di sana dan di sini, di kanan dan di kiri, di bawah dan di atas, adalah bagian jelas sebagai garis kontras yang tidak bisa menyatu dan kita tidak dapat membedakan bagian per bagian, semua menjadi samar, yang di sana terkadang di sini, yang di kanan terkadang di kiri dan yang di bawah terkadang di atas.
Kita selalu dihadapkan pada keadaan dan suasana yang panas tanpa sedikit rasa kesejukan, pada akhirnya kita semua teringat bahwa kita memang berada dalam bara-bara kebijakan yang belum juga melahirkan sebuah kenyamanan dan ketentraman hati, jiwa dan pikiran. Tapi kita semua masih bisa berucap Alhamdulillah... walau sembako dan semua patokan harga melambung bagai balon gas yang tak terjangkau tapi kita masin bisa menjalankan ibadah puasa dan diharapkan bukan hanya mengucapkan tapi juga memaknai dan memang kita harus memahaminya. Sangatlah tepat bagi kita semua di bulan yang suci ini untuk dapat berusaha dan meraih momen-momen yang diinginkan oleh kita masing-masing dalam kebersamaan Ramadhan.
Kita sama-sama tahu bahwa Ramadhan itu sendiri diumpamakan "sangat panas" atau "membakar". Dinamakan bulan Ramadhan karena udara pada bulan Ramadhan tempo dulu di jazirah arab sangat panas, sehingga kalau orang berjalan di padang pasir tanpa alas kaki, kakinya bisa hangus terbakar atau dapat diartikan pula karena pahala orang yang berpuasa pada bulan suci Ramadhan dapat membakar dosa-dosanya.
Marilah dalam kebersamaan Ramadhan ini, perjuangan kita tingkatkan untuk menetralisir titik kejenuhan kita menghadapi tuntutan hidup yang melambung, menghilangkan radang kehausan agar lancarnya air rejeki agar dapat merayakan hari kemenangan Idul Fitri dengan kelebaran pikir, hati dan laku. Dan dapat menghiasi kanvas pertiwi ini dengan goresan-goresan kuas kesejukan dan cat-cat kemuliaan serta kita selalu mendapatkan kelapangan kalbu dalam menghadapi kebijakan-kebijakan pimpinan-pimpinan kita sekarang ini dan yang akan datang.
Semoga saja kecerahan milikNYA terpantul pada hamba-hamba yang menghamba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H