Komoditas minyak sawit beserta turunannya memang menjadi andalan pemerintah untuk diekspor ke berbagai negara di dunia. Industri sawit kita sangat produktif sehingga pasar-pasar ekspor yang strategis berhasil kita masuki. Negara Besar di kawasan Asia Timur seperti China sangat bergantung dengan produksi CPO di tanah air karena permintaan dalam negerinya besar. Â
Pada Oktober lalu misalnya, ekspor ke Negeri Tirai Bambu mencapai 541,81 ribu ton. Jumlah ini di luar ekspor biodiesel ke China yang sejak Mei hingga Oktober 2018 telah mencapai 637,34 ribu ton. Jelas, ini berdampak baik kepada volume ekspor minyak sawit Indonesia yang berhasil naik lima persen Sepanjang Oktober 2018.
Akan tetapi Indonesia tidak bisa hanya bergantung dengan pasar China saja. Karena gejolak perdagangan internasional begitu tidak bisa ditebak. Oktober lalu bisa saja permintaan dari China besar tetapi belum tentu dengan bulan-bulan berikutnya. Kabar terbaru misalnya, ada pemberitaan media yang menyebuktkan harga minyak sawit terpuruk akibat lesunya ekspor yang diperparah kondisi oversuplai dari dalam negeri.
Terbukti kan? Dalam kurun waktu sebulan saja perdagangan global bisa berputar 180 derajat. Salah satu penyebab lesunya permintaan adalah stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) yang sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.
Akibatnya untuk meminimalisasi dampak buruk yang akan terjadi, Pemerintah Indonesia mau tidak mau memutuskan untuk sementara waktu menolkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya sampai harga kembali membaik. Tujuannya tentu untuk menyelamatkan industri sawit domestik dalam negeri, karena banyak pihak sudah mulai merasakan kerugian.
Karena kelemahan utama kita adalah kurang optimalnya pengelolaan minyak sawit di dalam negeri. Sehingga lagi lagi kita hanya mengandalkan ekspor. Padahal jika kita mengoptimalisasi pengelolaan industri sawit sendiri keuntungan yang bisa diperoleh bisa empat kali lipat.
Presiden Jokowi pun sebetulnya terus mendorong program lain seperti B20 agar bisa dimplementasikan secara maksimal di dalam negeri. Jika program ini berjalan dengan baik, serta-merta mendongkrak harga CPO di tengah perlambatan permintaan ekspor. Bahkan lebih jauh bisa mengurami impor minyak mentah yang akan berdampak positif pada neraca perdagangan Indonesia.
Namun lagi-lagi itu bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan waktu yang singkat. Maka Kementerian Perdagangan pun terus berupaya melakukan negosiasi dengan negara-negara Eropa meyakinkan bahwa produk sawit asal Indonesia berkelanjutan. Di saat yang bersamaan Kemendag juga berupaya mencari pasar ekspor baru.
Negara-negara non tradisional yang belum tersentuh perdagangan dengan Indonesia menjadi sasaran pemerintah kita. Negara-negara tersebut antara lain Arab Saudi, Oman, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar. Juga, negara-negara di Asia Selatan, di antaranya India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Jika pasar baru berhasil terbuka, maka peluang Indonesia untuk mengekspor minyak sawit akan dapat meningkat secara signifikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H