Ko Hyeong-ryeol adalah seseorang penyair modern asal Korea yang lahir pada tanggal 8 November 195 di Sokcho, Gangwon-do, Korea Selatan. Ia memulai debutnya di dunia sastra pada tahun 1979 dengan karya sastra kontemporernya bertajuk “Zhuangzi”. Salah satu koleksi puisinya adalah “Grasshopper's Eyes” (2017) yang diterjemahkan Taize dan Lee-Hyung Jin. Adapun beberapa karya lain yang terkenal, yakni “I Miss a Garden Meal” (1995), “Frost Flower and Snow Buddha” (1998), dan “A Sleeping Sister with a Slice of Bread in Her Hands” (2021). Selain menulis puisi, gagasan-gagasan cerdas Ko juga tertuang dalam beberapa koleksi esainya seperti “A Flower Bloomed in The Poems” (2002). Pengalaman Ko sebagai penyair turut ditandai oleh jejak prestasinya yang terlihat dari beberapa raihan penghargaan seperti Jihun Literature Award pada tahun 2003, Baekseok Literature Prize pada tahun 2006, dan Contemporary Literature (Hyundae Munhak) Award pada tahun 2009.
Puisi-puisi Ko banyak terinspirasi dari perjalanan menelusuri berbagai tempat dan lanskap pemandangan negeri kelahirannya, Korea Selatan. Pada kumpulan puisi “Ikan adalah Pertapa”, Ko membingkai puisi-puisinya dalam beberapa isu seperti permasalahan sosial, lingkungan, politik, dan sejarah. Tiap-tiap puisi itu lahir dengan nilai-nilai kehidupan yang disisipkan di balik kata-katanya. Berbeda dengan puisi-puisi kontemporer lain, kebebasan berekspresi Ko sebagai penyair modern tidak hanya terlihat pada keunikan gaya bahasa atau simbol-simbol semata, namun puisi-puisi yang ditulisnya dalam buku ini juga menyuguhkan keragaman makna dari lika-liku berbagai dimensi kehidupan manusia.
Kumpulan puisi ini memuat empat bagian utama yang masing-masing terdiri dari lima belas puisi. Bagian pertama berjudul “Bagai Kenangan Milik Cahaya yang Sangat Dekat”, bagian kedua berjudul “Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin”, bagian ketiga berjudul “Gerombolan Manusia Debu”, dan bagian keempat berjudul “Ada Kenyataan Belum Terbongkar”. Pada bagian akhir, Ko turut menyajikan prosa berupa esai, yakni “Puisi yang Turun di Peron Kereta Api yang Berangkat lagi”.
Nyanyian herba, nyanyian rumput dan pepohonan, pertemuan
antara air dengan angin dan arus yang tak terbatas
Musik itu turun ke atas danau. Seperti Gunung Seorak, aku
menaruh kepala di
utara, menjulurkan kaki ke selatan, dengan kepala berbantalkan
lengan, sembari
memandang Gunung Seorak. Di sini tempat aku akan lahir. Dia
seperti seorang
wanita saat wajahnya di depan mata berhadap-hadapan
Sangat dekat, tidak bisa lebih dekat lagi
(“Woiseorak”, Ryeol, hlm. 66)
Kutipan di atas merupakan penggalan dari puisi “Woiseorak” yang ada di bagian kedua kumpulan puisi “Ikan adalah Pertapa”. Woiseorak sendiri merupakan bagian luar dari Gunung Seorak yang terletak di daerah kelahiran penyair Ko yakni, Gangwon, Korea Selatan. Puisi ini menggambarkan pengalaman dan perasaan aku-lirik saat berada di suatu tempat yang indah dan bersejarah untuk dirinya. Potret dan elemen-elemen alam dihadirkan untuk menggambarkan keindahan dan kedekatan pengalaman aku-lirik dengan alam sekitar Woiseorak.
Nyanyian herba, rumput, dan pepohonan mengacu pada kehidupan yang berlimpah di sekitar tempat itu. Pertemuan antara air dan angin serta arus yang tak terbatas menggambarkan gerakan dan aliran yang terus berlangsung di danau dekat Gunung Seorak. Aku-lirik merasa terhubung dengan alam sekitar Woiseorak. Ia menyampaikan perasaannya melalui gambaran Gunung Seorak. Dengan menempatkan kepalanya di utara dan menjulurkan kakinya ke selatan, aku-lirik mencoba untuk mencakup keindahan dan keseluruhan pemandangan tersebut. Aku-lirik merasa sangat dekat dengan alam dan menggambarkan keintiman itu dengan perumpamaan seorang wanita yang wajahnya begitu dekat, tidak bisa lebih dekat lagi.
Lewat “Woiseorak”, kita dapat melihat keindahan alam Gangwon, tempat di mana Ko dilahirkan. Ko menuntun para pembaca pada kerinduan akan tanah kelahiran sebagai rumah, tempat berpulang, atau apapun yang dirasa selaras dengan pengalaman pembaca. Puisi ini cantik, hangat, dan dekat, namun memiliki makna yang intim untuk siapapun yang membacanya. Ini lah yang ditawarkan Ko dalam puisi-puisi lain di buku “Ikan adalah Pertapa”. Ko menuntun para pembaca menuju pintu-pintu nilai kehidupan yang perjalanannya dapat dimaknai dengan sangat personal.
Buku ini bisa menjadi pilihan untuk mengisi waktu luang atau beristirahat. Meskipun membutuhkan penghayatan dan latar pengetahuan lebih (sosial, politik, sejarah, hingga budaya) untuk memahami beberapa puisinya, secara keseluruhan buku ini masih bisa dinikmati berbagai kalangan termasuk para penikmat sastra pada umumnya. Justru itu yang menjadi nilai tambah dari kumpulan puisi Ko. Dengan menelusuri tiap-tiap puisinya, pembaca juga dapat mempelajari berbagai peristiwa di dalamnya sebagai realitas sosial dan cerminan zaman, khususnya di Korea Selatan. Beberapa pembaca mungkin merasa puisi-puisi Ko dalam buku ini akan sulit dimaknai. Namun, permainan kata yang ciamik dan nuansa baru yang ditawarkan oleh buku ini bisa memanjakan imaji para pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H