Pagi ini saya sedih. Tapi tak bisa menangis. Kepercayaan diri langsung runtuh begitu melihat kenyataan.
Tidak. Bukan ini yang saya harapkan dan impikan. Tapi ini yang menjadi kenyataan.
Masih terbayang jelas bagaimana saya dan seorang teman menertawakan soal-soal ujian seleksi kemarin. Menertawakan bagaimana bisa seseorang dengan pedenya berkata bahwa sumimasenadalah the bullet train from Japan. it’s called by Shinkasen, dumb.
Masih jelas bagaimana kami dalam ketidakyakinan kami masih bisa tertawa terbahak-bahak, bahwa keputusan mengikuti ajang pemilihan ini adalah sarana buang uang kami. Hahaha. Lucu sekali.
Tapi berubah menjadi tidak lucu ketika teman saya dan seorang temannya lolos ke semifinal. Sedangkan saya tidak. Tertinggal sendiri di belakang. Menyedihkan. Sangat.
Saya belajar. Belajar untuk tidak cepat berpuas diri. Belajar untuk tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang saya remehkan.
Pada awalnya, keinginan untuk mengikuti acara ini pun, merupakan ajakan dari teman saya yang lolos semifinal itu. Sebut saja dia A. A mengajak saya dan beberapa orang teman lainnya untuk ikut meramaikan acara pemilihan ini. Tapi yang benar-benar mendaftar pada akhirnya, hanya saya dan dia. Yang benar-benar datang ke acara technical meeting dan mengikuti tes nya hanyalah saya dan si A.
Apa pasal saya menjadi begitu percaya diri dari awal? Karena isi tesnya hanya psikotes dan beberapa tes lainnya.
Untuk psikotes, saya merasa cukup percaya diri. Saya yakin, bisa menjawab soal-soal itu. Abstrak sekalipun. Karena dalam beberapa kali tes, hasilnya cukup memuaskan saya.
Dan tes lainnya adalah pengetahuan umum, bahasa indonesia, bahasa inggris, kebudayaan dan sejarah pemilihan tersebut.
Saya memang tidak belajar. Tidak menghafal. Padahal saya bukan orang asli penduduk disini. Sedangkan si A yang memang dari lahir tinggal dan hidup disini saja, mati-matian menghafal kebudayaan daerahnya. Saya pasrah. Terserah. Bagaimanapun keadaanya. Dengan pedenya saya menconteng jawaban-jawaban saya. Yang ternyata, tidak cukup memiliki poin untuk lolos ke babak semifinal.
SEDIH.
Menyedihkan sekali ketika kau melihat kawan seperjalananmu bisa berjalan lebih jauh ke depan, sementara kau tertinggal di belakang.
Tapi setidaknya saya belajar, untuk mengambil hikmah dari semuanya.
Saya memang meminta kepadaNya, untuk memberikan yang terbaik. Dan mungkin, kemungkinan terburuk ini adalah yang terbaik bagi saya. Bagi kuliah saya.
Saya yakin, insyaallah, nanti akan ada kesempatan lain yang mungkin lebih besar lagi kemungkinan untuk memenangkannya.
Dan sekarang, bukan saatnya untuk menyesal. Pribahasa “menyesal selalu datang belakangan” sangat memuakkan dan mengjengkelkan untuk didengar.
Ada sebuah penggalan paragraf dari cerita inspiratif yang pernah saya baca pada e-book yang juga inspiratif,...
Ada seorang anak yang mengikuti perlombaan. Terlihat biasa saja dan terkesan diremehkan. Tidak ada yang memandangnya sebagai saingan. Tapi sebelum aba-aba perlombaan dimulai, ia terlihat khusuk berdoa.
Dan tiada yang menyangka ketika ia menang.
Banyak yang bertanya, doa apa yang ia panjatkan sebelum ia berlomba tadi?
Dengan senyum ia menjawab,
"Aku tidak meminta supaya Tuhan membuatku menang... Aku hanya meminta agar Ia tidak membuat aku menangis jika aku kalah nanti"
sebuah keikhlasan yang manis.
Go fighting. Keep smiling :D !
Bismillahirrohmanirrohiim...
Palembang, 30 April 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H