Belakangan ini ramai sekali kabar mengenai reklamasi. Sebelum reklamasi Teluk Jakarta, sudah terjadi reklamasi Teluk Benoa di Bali. Mungkin beberapa orang masih belum begitu paham apa sebetulnya reklamasi. Namun percayalah, bagaimanapun sudut pandang orang mendefinisikan atau memaknai arti dari reklamasi tetaplah suatu proses yang dapat menuai pro dan kontra, terdapat positif dan negatifnya. Intinya jika reklamasi diberlakukan ada dua pihak dimana satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan. Begitu pula jika reklamasi tidak diberlakukan, maka harapan satu pihak akan pupus dan pihak lain terselamatkan. Yaa, mungkin saya agak subjektif. Karena memang saya pro di satu pihak.Â
Teluk Jakarta telah direklamasi sebagian wilayahnya. Sementara, nelayan yang berada di sekitar kawasan tersebut terus mengupayakan agar reklamasi dihentikan. Beberapa waktu lalu sempat beredar mengenai ajakan untuk menandatangani petisi pemberhentian reklamasi. Kebetulan saya mendapatkan link petisi tersebut dari akun salah seorang tokoh jurnalistik sekaligus sutradara WatchDoc, Dandhy Dwi Laksono. Sutradara satu ini aktif sekali di lini media sosial. Hampir dari seluruh konten di beranda miliknya menyuarakan penolakan reklamasi. Petisi ini menyebar dan terakhir, 23 Mei 2016 (link : https://www.change.org/p/sk-reklamasi-pulau-g-harus-batal-demi-hukum), saya memantau petisi  penolakan reklamasi di Teluk Jakarta telah mencapai 709 orang. Berdasarkan isi dari petisi tersebut jika telah mencapai 1000 massa maka akan langsung diserahkan ke PTUN Jakarta.
Sebagian masyarakat setuju soal reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta. Alasan mereka pun bahkan sangat sederhana sekali. Jakarta perlu direklamasi, karena lahan untuk pembangunan sangat minim. Untuk itu dengan adanya reklamasi, tentu dapat memberikan kesempatan bagi pengusaha dan pembisinis baru untuk mengangkat ekonomi negara melalui infrastruktur. Toh, Jakarta juga sudah rusak. Jalan sempit, macet tidak kunjung dapat terurai. Jakarta saat ini hanya butuh lahan. Butuh Lahan! Mau dibangun setinggi apapun jalan layang, tetap saja lahan masih kurang. Penduduknya semakin melimpah dan butuh tempat tinggal. Bukankah reklamasi menjadi ide cemerlang untuk kelangsungan hidup warga Jakarta?
Di sisi lain, timbul pertanyaan. Kelangsungan hidup warga yang mana yang perlu diselamatkan? Lantas bagaimana para Nelayan yang mata pencahariannya berasal dari Teluk Jakarta? Sempat saya membaca berita dari Tempo, Ahok menyebutkan bahwa sebelum direklamasi, tidak ada ikan di Teluk Jakarta. (https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/083762634/ahok-sebelum-reklamasi-pun-tak-ada-ikan-di-teluk-jakarta). Seperti yang kita ketahui bahwa Ahok seringkali berbicara ceplas-ceplos, tanpa berpikir dahulu, asal bicara. Ada baiknya lihat data ini.
Pada tahun 2014, ada 138.95 ton ikan yang menghuni Teluk Jakarta dan nilainya berkisar Rp 3,2 miliar. Ahok mengatakan bahwa sebelum reklamasi tidak ada ikan, sedangkan reklamasi dimulai sejak 2014. Lantas ikan sebanyak itu apa? Jika Ahok berbicara soal tidak ada ikan di Teluk Jakarta saat ini, mungkin masih bisa diterima. Saat ini memang ekositem air di Teluk Jakarta perlahan mulai musnah. Semakin hari ekosistem yang ada semakin rusak, semua dikarenakan reklamasi. Ekosistem laut tercemar karena limbah dari reklamasi. Ikan tidak dapat berkembangbiak karena reklamasi.
Jauh sebelum itu, mengapa nelayan tidak bersuara seramai seperti sekarang. Karena dulu ikan masih dapat diperoleh. Namun sekarang karena melihat bahwa penambang begitu ganas ingin melahap semua perairan di Teluk Jakarta, tentu mereka tidak dapat tinggal diam. Mereka merasa bahwa kehidupan mereka terancam. Ahok menyebutkan bahwa reklamasi dilakukan untuk kepentingan warga Jakarta. Warga yang mana? Warga yang tinggal di gubuk dan petakan kumuh atau warga dari kalangan elit tertentu?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H