Mohon tunggu...
Dinda Sabtiti
Dinda Sabtiti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hak yang Hilang dan Dilupakan

14 April 2015   08:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dan dilindungi sejak Declaration of Human Right, kini kembali harus di gembor-gemborkan lagi kepentingannya. Bicara tentang hak asasi manusia di Indonesia tak akan ada habisnya karena banyak kasus pelanggaran HAM yang masih menggantung dan belum terselesaikan atau sering disebut dengan impunitas HAM. Yang mana impunitas HAM ini, sekarang sedang berkembang di negeri kita Indonesia. Banyak kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang masih menggantung di Kejaksaan Agung, dan hanya menjadi isapan jempol belaka. Seperti kasus Marsinah dan pembunuhan Munir yang sampai saat ini masih belum bisa diungkap siapa pelaku sebenarnya, atau apakah aparat hukum memang malah menutup - nutupi pelaku yang sebenarnya? Mengapa bisa seperti ini? Apakah aparat penegak hukum di Negara kita benar-benar belum mampu menyelesaikannya? Apakah seperti ini yang disebut penegakan hukum yang dirasa sudah adil dan melindungi? Jawabannya adalah bukan. Indonesia membutuhkan para penegak hukum yang benar-benar memiliki hati nurani, dan menjunjung tinggi keberadaan Hak Asasi Manusia.

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum terselesaikan dan menjadi sorotan publik yaitu peristiwa Talangsari, peristiwa Wamena-Wasior, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, kasus penculikan aktivis, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya, menjadi harapan masyarakat akan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya.

Dari kasus-kasus yang belum terselesaikan ini, berarti pemerintah memiliki tugas besar untuk segera mengusut dan membongkar bagaimana peristiwa itu terjadi dan siapa pelakunya. Pemerintah selalu berjanji akan mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM yang ada. Tapi, janji tinggallah janji, para korban pelanggaran HAM ditinggalkan begitu saja tanpa ada jawaban dan penyelesaian yang pasti. Pemerintah selalu menutupi masalah pelanggaran HAM yang menyeret para penguasa.

Bisa kita lihat pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sama sekali tidak ada penanganan yang serius oleh aparat pemerintahan. Malah terjadi lebih banyak pelanggaan HAM disana-sini, terbukti dengan adanya perlakuan tidak sepantasnya kepada para TKI kita. Para TKI yang mampu meningkatkan devisa negara malah terabaikan oleh Pemerintahannya sendiri. Beginikah perlakuan yang bisa dilakukan oleh para pemegang kekuasaan?, maka bisa dibenarkan jika kita menyebut mereka sebagai seorang “pecundang” yaitu mengabaikan orang yang seharusnya diberi rasa aman, akan tetapi malah bersenang-senang menikmati hasil jerih payah para TKI.

Harapan baru telah muncul dengan dilantiknya presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Yang mana ketika kampanye pilpres beberapa bulan yang lalu mereka berjanji untuk menuntaskan kasus Munir dan kasus pelanggaran HAM lainnya. Kita harap itu semua bukan hanya sekedar janji yang bertujuan untuk menarik perhatian publik, tapi dapat direalisasikan sebagaimana seharusnya. Selain itu, para penegak hukum juga harus berani mengambil tindakan yang tegas dalam mengusut kasus yang ada. Bukan hanya kasus yang lalu, akan tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM kedepannya juga harus benar-benar di usut sesuai hukum yang berlaku. Aparat penegak hukum tentunya perlu adanya pengawasan dari pihak pemerintah, maka presiden Jokowi-JK diharapkan mampu menggerakkan dan mengawasi segala tindakan para penegak hukum.

Institusi pemerintah yang paling banyak berkontribusi pada rendahnya skor kinerja penegakan HAM, adalah Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan Agung. Sedangkan aparat kepolisian secara signifikan berkontribusi juga pada variabel pengabaian jaminan kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi.

Akan tetapi perlu diingat pula, bahwa dalam penyelesaiaan pelanggaran HAM masa lalu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, maka perlu adanya dukungan dari berbagai elemen negaradan juga tiap elemen korban memiliki pemahaman yang berbeda atas peristiwa yang dilalui. Oleh karenanya, harus ada cara alternatif lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu “Tidak ada cara tunggal.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun