Siang ini, setelah bell berdering pertanda usai jam sekolah, seperti biasa aku melakukan rutinitas setiap hari Rabu; duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan basket sekolah sambil “membaca” buku yang kubawa setebal ya kurang lebih 5 cm (lebih tepatnya “pura-pura” membaca). Pada kenyataannya, kedua mataku ini memang tidak tertuju pada buku yang sedang kupegang; kubiarkan terbuka seolah-olah aku sedang membaca, melainkan tertuju pada sosok seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit coklat gelap yang sedang men-dribble bola basket di tengah lapangan sekolah. Rutinitas yang kulakukan setiap hari Rabu; rutinitas yang menyenangkan. Rutinitas pengobat segala resah, jua penghapus lelah setelah bergelut dengan tugas-tugas mata pelajaran di kelas tadi.
Aku Bunga, siswi SMA kelas 3 ipa 2. Aku melihat Angin yang sedang bermain basket. Aku memandang kagum pada sosok itu dari kejauhan. Ya, hanya dari kejauhan. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tak peduli pada panas matahari yang menyengat siang ini. Tak peduli pada orang-orang di sekitar yang melihatku duduk sendiri. Aku tak peduli karena Angin, aku bahagia.
“Bunga, kamu nggak pulang?”
Aku tersentak saat kulihat Zeni, teman sekelasku yang tiba-tiba berdiri di hadapanku dan melontarkan pertanyaan itu.
“Eh,,”
“Ngg, aku masih ingin di sini. Masih ingin membaca” kataku sambil memperlihatkan buku yang kupegang sedari tadi (sombong) tapi tidak kubaca.
“Rajin amat sih”
Aku hanya tersenyum simpul. Dalam hati aku tertawa dan berkata, iya, membaca ke mana arah mata Angin menuju.
“Aku duluan ya, Bunga”
Aku mengangguk seraya berkata “oke”
Selepas kepergian Zeni dari hadapanku, aku kembali mengarahkan kedua mataku tertuju pada Angin. Menikmati pemandangan itu. Pemandangan indah seminggu sekali.
***
Langit malam gelap bertabur bintang. Pukul 9 lewat 15 menit. Kantuk masih belum menyapa. Di atas balkon rumah, aku berdiri. Temenung sendiri. Menikmati sepi dan sunyi di malam hari ini sambil mengingat rutinitas tadi. Aku mendesah, menghela nafas panjang dan teramat dalam. Huh! Sampai kapan? Sampai kapan kupendam rasa ini. Rasaku padamu, Angin. Sudah dua setengah tahun aku memendam rasa ini. Bodoh! Tak ada keberanian sama sekali untuk mendekatimu. Apalagi mengajakmu berbincang. Sesak di sini; di ruang ini; di hati. Ya, aku sudah dua tahun setengah mengagumi Angin. Angin adalah teman satu sekolahku di SMA tapi berbeda kelas. Aku teringat saat itu ketika debar-debar mulai merasuki relung hati ini. Saat berpapas tak sengaja di koridor sekolah, bersitatap beberapa detik. Mata itu. Kedua mata yang memancarkan cahaya sampai masuk ke dalam hati ini. Saat bertemu lagi tak sengaja di perpustakaan sekolah. Aku melihatnya sedang duduk asyik sambil membaca buku. Diam yang menawan; itulah sosok Angin.
“Heh! tidur woi!”
Lagi-lagi aku tersentak. Kali ini bukan temanku Zeni yang mengagetkanku tapi kakak perempuanku satu-satunya memukul pundakku dari belakang.
“Iih, kak Tiwi ngagetin aja sih”
“Lagian..”
“Ngapain sih? lagi ngelamunin cowok yaaa??”
“Lagi jatuh cinta ya?” todongnya
“Dari dulu” ujarku
“Dua tahun yang lalu” lanjutku
“Hah? Dua tahun?? siapa sih? tembak aja”
“Ngaco! Mau taruh di mana harga diri ini sebagai wanita”
“Halah, harga diri sebagai wanita? Udah nggak jaman, lagi. Sekarang udah emansipasi wanita. Wanita berhak mengutarakan isi hati”
“Ah! Tak mau”
“Ya suuuu-dah. Memendam rasa. Rasanya nyeri nyeri moal tiasa diubaran” katanya ngakak dan berlalu dari hadapanku”
“Tidur!!” teriaknya masih bisa terdengar tapi kenampakkannya sudah menghilang dari hadapan.
Kupikir benar apa yang dikatakan kak Tiwi barusan. Memang, rasanya “nyeri” dan ada sesak di sini; di hati. Memiliki rasa yang hanya bisa dinikmati sendiri. Sendiri saja.
***
Suatu sore di sekolah. Seusai mengikuti ekskul drama, setelah aku memasukkan barang-barangku ke dalam tas, aku keluar dari ruangan auditorium tempat aku latihan drama. Hanya tinggal aku sendiri sedangkan teman-teman latihan drama yang lain sudah pada pulang sejak tadi ketika aku pergi ke toilet untuk beberapa jam (hehe ngapain ya).
Hujan. Tidak bawa payung. Aku memutuskan untuk diam sejenak di depan ruangan auditorium hingga hujan berhenti atau hingga gerimis. Aku berdiri di depan ruangan auditorium. Sesaat beberapa menit kemudian, terlihat pria mendekat ke arah dimana aku sedang berteduh menunggu hujan mereda. Angin, aku membatin. Ya, pria itu adalah Angin. Dia lalu berdiri di sampingku sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya karena dingin. Ingin rasanya menyapa, terlontar “hai” dari mulutku. Tapi lidah ini seakan kelu. Aku hanya terpaku. Aku diam saja seolah bisu. Sesekali menengok ke samping, mencuri-curi pandang, memandang dia; sosok yang aku kagumi sejak 2 tahun yang lalu hingga detik ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebatang cokelat.
“mau?” tawarnya padaku.
“Hah?” aku tercengong dengan tampang bodoh.
Aku terkejut. Sungguh. Tak menyangka. Sama sekali tak menyangka Angin menawarkan cokelat padaku. Mimpi? Apakah ini mimpi? Diam-diam aku mencubit pelan kulit pahaku bagian belakang melalui rok SMAku. Aku meringis dalam hati. Sakit. Ternyata ini bukan mimpi.
Tanpa kuduga, dia memotong beberapa bagian kecil cokelatnya dan menawarkannya padaku.
“Ini ambil saja”
Senangnya, tanpa berpikir panjang dan tanpa sungkan, akhirnya aku pun menerima cokelat pemberian Angin itu dengan perasaan senang di dalam hati. Kebetulan aku juga sedang lapar (hehe).
“Terimakasih” aku berkata malu-malu
Aku pun perlahan memakannya.
“Enak ya” ujarnya
“Cokelat memang cemilan paling enak. Aku suka banget sama cokelat. Kalau pusing sama tugas sekolah atau sebelum latihan basket, aku pasti makan cokelat. Cokelat itu bikin relax”
“Iya, dan coklat bisa membuat hati senang” kataku.
What?? Aku berbicara pada Angin?? Kita saling berbicara??
“Siapa namamu?”
“Bunga”
“Bunga? Nama yang bagus. Aku Angin”
Sudah tahu. Aku sudah tahu namamu. Saat di perpustakaan itu, aku melihat daftar nama pengunjung.
“Namamu juga …” ucapku
“Bagus. Angin” lanjutku
Dia tersenyum. Senyumnya maniss sekali seperti rasa cokelat ini. Hujan perlahan mulai mereda.
“Hujannya sudah reda.” Angin berucap
Kami berdua berjalan beriringan menuju gerbang sekolah untuk keluar dan kami berpisah saat di persimpangan. Aku belok ke kanan, sedangkan Angin belok ke kiri.
“Angin”
“Ya”
“Terimakasih cokelatnya”
Angin tersenyum dan mengacungkan jempol kanannya menandakan “ok. Sip”
Aku berjalan melangkah mengayunkan kedua kakiku menuju jalan besar. Sambil tersenyum-senyum senang, aku memegang cokelat yang diberikan Angin tadi. Masih ada sisanya sedikit. Akan aku simpan. Kalau perlu akan aku awetkan (hahah). Senangnyaaa hari ini. Ternyata dia suka cokelat. Kapan-kapan aku ingin mengajaknya makan cokelat di taman belakang sekolah, berdua sambil memandangi langit senja yang berarak di sore hari. Aaahhhh, nggak mungkinn. Tunggu! Nggak! Aku yakin, aku pasti bisa. Tadi saja sesuatu yang nggak terduga ternyata terjadi. Yang penting dia sudah mengenalku dan tahu namaku. Hanya menunggu waktu. Aku percaya waktu akan berbaik hati lagi padaku.
***
6 bulan kemudian.
Waktu berlalu. Hari-hari telah kujalani. 6 bulan sudah rupanya terlewati. Ternyata mimpi itu belum jua menjadi kenyataan. Tentang mimpi bersama Angin menikmati cokelat berdua di taman belakang sekolah sambil memandangi langit senja yang berarak di sore hari. Rupanya itu benar-benar hanya mimpi. Ya, hanya mimpi. Sekarang sudah mau lulus dan keluar dari SMA. Sudah berkali-kali aku dan Angin berpapas tak sengaja di koridor sekolah. Namun, kami hanya bertegur sapa, tidak lebih dan tidak ada tindak lanjut. Aku merindu. Sungguh, aku merindu saat hujan. Momentum indah saat aku bersama Angin menikmati cokelat berdua kala hujan. Setiap hujan turun, aku selau teringat momentum indah itu yang masih terekam rapi di memori otakku. Kini semua telah lebur bersama waktu. Cukup sudah. Semua keinginanku itu memang hanya mimpi.
“Bu, beli semangkuk baso ya, bening jangan pake saos dan jangan pake kecap”
“Bunga”
Aku menengok ke belakang. Terkejut. Kulihat sosok pria yang aku kagumi ada di hadapanku.
“Angin”
“Nanti sepulang sekolah ada acara?”
“Sepertinya tidak ada. Kenapa?”
“Tunggu aku di depan ruangan auditorium ya. Tempat latihan ekskul drama” katanya dan lalu berlalu dari hadapanku
“Bu, beli basonya nggak jadi. Beli dua batang coklat aja”
Seusai pulang sekolah, aku berdiri menunggu pria yang aku kagumi sejak 2 tahun yang lalu. Dengan perasaan cemas “deg-deg”kan bercampur senang, aku berdiri di depan ruangan auditorium tempat latihan ekskul drama. Menunggu Angin. Tak lama kemudian, sosok Angin mulai nampak. Dia berjalan mendekat menghampiriku.
“Yuk” ajaknya tiba-tiba
“Ke mana?” aku bingung
“Ke taman belakang”
Sontak aku benar2 amat terkejut. Impian itu. Aku tersenyum. Aku mengiringi langkah Angin. Kami berdua melangkah menuju taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, kami mengambil posisi duduk bersebelahan. Kami duduk di atas rumput hijau berdua. Tak ada siapapun di situ saat itu. Hanya kami berdua.
“Ini” aku memberikan sebatang cokelat pada Angin
“Wah, coklat”
“Iya. itu sebagai tanda terimakasihku. Masih ingat, dulu kamu memberikan cokelat padaku. Sekarang gantian”
“Masih suka cokelat kan?” tanyaku
“Ya, tentu saja”
“Aku masih ingat asumsimu tentang coklat. Cokelat membuat relax”
“Dan coklat membuat hati senang” sambungnya
Aku tersenyum malu. Ternyata dia ingat perkataanku saat itu “dan cokelat bisa membuat hati senang”. Kami terdiam untuk beberapa saat. Hening.
“Ada apa …” aku berkata, memecah keheningan
“Kamu mengajak aku ke sini?” lanjutku
“Tidak apa”
“Aku hanya ingin berbicara denganmu”
“Sudah lama kita nggak berbicara. Padahal kita sering berpapas di koridor sekolah ya”
“Ooh” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tersipu malu.
“Setelah lulus, kamu mau ke mana, Bunga?”
“Aku mau kuliah ngambil jurusan sastra di salah satu Universitas Negeri di Bandung”
“Kamu?” tanyaku sambil berharap kuliah di tempat yang sama denganku
“Aku mau kuliah ngambil jurusan Desain Komunikasi Visual”
“Di Sydney” lanjutnya.
“Sydney??”
“Australia??”
“Ya. Australia” jawabnya
Glekkk! Seakan ada sesuatu yang merobek hati ini, menjadi serpihan-serpihan. Aku dan Angin akan berpisah jarak. Jarak kami akan menjadi jauh. Lalu, bagaimana dengan perasaan ini? Mau dibawa ke mana perasaan ini? Perasaan yang kupendam selama kurang lebih 3 tahun. Perasaan yang kunikmati sendiri. Perasaanku pada Angin. Mau dibawa ke mana? Haruskah kunyatakan agar dia mengetahui. Ayoolah Angin, mengertilah. Angin, lihatlah wajahku; tataplah kedua bola mataku. Agar kamu tahu perasaanku. Perasaanku padamu, aku menderu-deru dalam hati. Lalu, diam-diam aku memperhatikan wajahnya. nampak wajahnya terlihat muram; entah mengapa.
Langit senja berarak di sore hari, matahari yang mulai terbenam. Kami berdua terdiam. Saling membenamkan diri dalam pikiran masing-masing. Hanya burung-burung yang menceracau. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami seolah bisu. Kami hanya memandang langit dan menikmati cokelat yang tadi siang kubeli, yang akhirnya kuberanikan diri menawarkannya pada Angin. Entah apa yang ada dipikiran Angin saat ini; aku tak tahu. Matahari mulai terbenam, perlahan, seperti harapan ini. Harapanku pada Angin; tentang kami bisa bersatu, terbenam, seperti matahari ini. Namun, aku yakin. Ada keyakinan dalam hatiku. Jika kami memang ditakdirkan berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan aku dengan Angin kembali. Aku yakin itu. -selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H