Mohon tunggu...
dindarevalinanazwa
dindarevalinanazwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

shopping,walking tour,membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Analisis

manusia dan alam sebuah paradoks antara penguasaan dan ketergantungan

3 Februari 2025   20:38 Diperbarui: 3 Februari 2025   20:38 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Teknologi modern semakin mempercepat eksploitasi ini. Alat berat dan mesin-mesin canggih memungkinkan manusia menambang logam berharga seperti emas dan batu bara dalam skala besar. Namun, proses ini sering kali meninggalkan limbah beracun yang mencemari tanah dan air. Di lautan, teknologi perikanan intensif menggunakan kapal-kapal besar yang dapat menangkap ikan dalam jumlah besar, tetapi mengancam kelestarian populasi ikan dan merusak terumbu karang.

Contoh lainnya adalah penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam pertanian untuk meningkatkan hasil panen. Meski membantu meningkatkan produksi pangan, praktik ini berdampak buruk pada kualitas tanah dan mencemari sumber air. Semua ini menunjukkan bagaimana penguasaan manusia atas alam sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Akibatnya, kerusakan lingkungan yang terjadi tidak hanya membahayakan keanekaragaman hayati, tetapi juga kehidupan manusia sendiri.

Ketergantungan Manusia terhadap Alam

Meskipun manusia sering merasa telah menguasai alam, kenyataannya, keberlangsungan hidup manusia sepenuhnya bergantung pada ekosistem yang sehat. Alam menyediakan semua kebutuhan mendasar manusia, mulai dari udara bersih untuk bernapas, air untuk minum, hingga pangan yang berasal dari tanah yang subur dan laut yang kaya akan ikan. Tempat tinggal pun dibangun dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam, seperti kayu, batu, dan logam.

Namun, kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia telah mengancam keseimbangan ekosistem yang menjadi penopang hidup. Deforestasi besar-besaran, misalnya, tidak hanya menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga memicu bencana seperti banjir dan tanah longsor. Ketika hutan yang berfungsi sebagai penyerap air hujan hilang, limpasan air menjadi tidak terkendali, menghancurkan permukiman manusia dan lahan pertanian.

Krisis air bersih adalah contoh lain dari bagaimana ketergantungan manusia pada alam sedang diuji. Polusi sungai dan danau akibat limbah industri dan domestik membuat akses terhadap air bersih semakin sulit, terutama di wilayah padat penduduk. Dalam konteks ini, muncul sebuah ironi: meskipun manusia merasa telah mengendalikan alam dengan teknologi dan modernisasi, kerusakan yang diakibatkan justru memperlihatkan betapa rapuhnya manusia tanpa alam yang lestari. Hubungan ini menunjukkan bahwa, tanpa ekosistem yang seimbang, keberlangsungan hidup manusia menjadi mustahil.

Paradoks: Antara Penguasaan dan Ketergantungan

Hubungan manusia dengan alam mencerminkan sebuah kontradiksi besar. Di satu sisi, manusia berusaha menguasai alam dengan memanfaatkan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya demi pembangunan dan kesejahteraan. Di sisi lain, manusia tidak dapat hidup tanpa ekosistem yang sehat dan stabil. Upaya penguasaan ini sering kali justru merusak fondasi utama yang menopang kehidupan manusia.

Krisis iklim adalah contoh nyata dari paradoks ini. Aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, memicu kenaikan suhu global. Ironisnya, perubahan iklim ini mengakibatkan bencana yang langsung mengancam keberlangsungan hidup manusia, seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan, dan banjir besar.(Semedi, 2024)

Kerusakan biodiversitas juga menjadi gambaran lain dari paradoks ini. Penebangan hutan dan urbanisasi yang masif telah memusnahkan habitat jutaan spesies, mengganggu keseimbangan rantai makanan dan sistem ekosistem yang menjadi penopang kehidupan manusia. Polusi udara di kota-kota besar, yang disebabkan oleh industri dan transportasi, memperparah masalah kesehatan, padahal udara bersih adalah kebutuhan dasar manusia.

Dalam perspektif biosentrisme, kewajiban moral manusia terhadap alam tidak didasarkan pada kepentingan manusia semata, tetapi pada nilai intrinsik kehidupan itu sendiri. Setiap makhluk hidup, baik manusia maupun spesies lain, memiliki hak untuk dihormati dan dilestarikan. Etika lingkungan dalam pandangan ini tidak sekadar cabang dari etika manusia, melainkan perluasan moralitas yang mencakup seluruh kehidupan di bumi. Dengan demikian, menjaga keseimbangan ekosistem bukan hanya pilihan etis, tetapi suatu keharusan moral yang mendasar. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Paul Taylor dalam Respect for Nature, yang menekankan bahwa manusia harus memperlakukan alam dengan sikap hormat, bukan sekadar sebagai sumber daya untuk dieksploitasi.(Ibrahim et al., 2016). Perlu ditegaskan bahwa melanggar batas, seperti yang terjadi dalam eksploitasi alam yang tidak terkendali, hanya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Paradoks ini menuntut manusia untuk merenungkan ulang bagaimana cara hidupnya beriringan dengan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun