Mohon tunggu...
Dinda ReginaRahman
Dinda ReginaRahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN JAKARTA - JURNALISTIK

Saya mahasiswa UIN JAKARTA - JURNALISTIK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan Salafi Wahabi di Indonesia

2 Januari 2024   14:05 Diperbarui: 2 Januari 2024   14:07 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pergerakan kaum wahabi yang dimulai oleh Ibn Taymyah dan didukung oleh Ibnu Qayyim al jauziyyah (1292-1350), kemudian disebarluaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) diintensifkan oleh Jamaludin al Afghani (1838-1897) dan muridnya Rasyid Ridha (1856-1935). Di Indonesia dikenal dengan Kaum Padri walaupun akhirnya gerakan ini kandas dan ditumpaskan oleh penjajah meski sudah di hanguskan oleh penjajah namun ide besarnya terus saja berkembang, mendaging, menjalar ke darah rakyat, menjelma dalam kancah pendidikan dan dakwah Thawalib di Sumatera Barat, al-Irsyad di Sumatera dan juga Jawa.

Di Indonesia, interaksi antara pemikiran Wahabi dengan masyarakat Indonesia mulai terlihat pada abad ke 19. Ide dakwah Ibnu Abdul Wahhab dianggap menginspirasi ulama asal sumatera Barat yang dikenal dengan kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Namun, faktanya sejarah ini menurut Martin Van Bruinessen kurang kuat dalam mendukung argumen pengaruh Wahabi dalam gerakan Paderi. Bahkan banyak fakta lain yang justru tidak menunjukkan argumen tersebut. Pemikiran Salafi Wahabi di Indonesia juga dianggap telah mempengaruhi pemikiran Syaikh Ahmad Surkati pendiri Madrasah al-Irsyad di awal-awal abad ke 20.

Salafi Wahabi secara masif masuk ke Indonesia melalui Peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Muhammad Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak sekali mengirimkan beberapa mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Dengan adanya dukungan dari Arab Saudi, DDII mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Pendirian LIPIA tahun 1980, menurut Amanda Kovacs, tidak hanya bermotifkan kepentingan dakwah Islam ke Indonesia, namun menjadi sarana Arab Saudi untuk membendung ekspansi pemikiran Syiah pasca revolusi Iran 1979. Keberadaan Iran dianggap membahayakan legitimasi Saudi sebagai sebuah negara Islam yang menjadi patron Islam seluruh dunia. Apalagi Iran sering menyerang hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai pengkhianat terhadap agama Islam sendiri. Institusi LIPIA dibentuk dan didanai oleh Arab Saudi sebagai containment policy, kebijakan pembendungan terhadap efek domino revolusi Iran di Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun