Namanya Jisu, seorang gadis yang mempunyai bakat menggambar. Setiap goresan pensilnya selalu bercerita dan berharap hidupnya seindah lukisannya. Ia bermimpi suatu hari bisa menjadi seorang seniman, memamerkannya karyanya di galeri. Namun, hidup seringkali punya rencana lain.
Jisu adalah anak ke tiga dari empat bersaudara, dua kakak nya sudah bekerja dan salah satu dari mereka sudah menikah. Namun, mereka terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, terkadang hampir lupa mereka masih mempunyai keluarga.
Menjadi anak yang diharapkan keluarga satu satunya Jisu harus menunda mimpinya. Jisu rela mengorbankan cita-citanya untuk masuk ke sekolah seni. Sebagai bagian dari generasi sandwich, Laras tahu ia harus menjadi penopang keluarga setelah kakaknya.
Meski berat, Jisu tak pernah mengeluh. Ia bekerja di toko bunga untuk membantu menambah pemasukan keluarganya. Di waktu luangnya, ia tetap melukis, namun hanya untuk dirinya sendiri. Mimpi menjadi seniman besar terasa makin jauh, tapi kecintaannya pada seni tak pernah hilang.
Tahun demi tahun berlalu, Jisu semakin terampil. Dari seorang karyawan toko bunga, ia bermimpi untuk membuka usaha bunga nya sendiri. Berbekal keberanian dan ketekunan yang ditanamkan, Jisu menabung sedikit demi sedikit. Hingga suatu hari, mimpinya terwujud: ia membuka toko bunga nya sendiri. Toko kecil itu perlahan berkembangnya menjadi bisnis besar yang dikenal banyak orang, membawa keindahan dalam setiap rangkaian bunganya.
Dalam perjalanan nya, Jisu bertemu dengan seorang pria bernama Zayan.
Zayan bukan hanya pasangan yang mencintai nya, tapi juga sahabat yang selalu mendukung perjalananya.
Bersama Zayan, Laras merasakan kehidupan yang lebih stabil dan penuh cinta. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang, mampu menikmati hidup tanpa beban. Jisu juga bisa menikmati hidupnya dengan tenang . Kini di sela-sela waktunya bisa melanjutkan hobinya yang sempat ia tinggalkan - melukis.
Di rumah yang nyaman bersama Zayan , Jisu melukis dengan santai, tanpa tekanan, hanya untuk dirinya sendiri. Setiap kali ia duduk di depan kanvas, ia merasakan kedamaian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.