Mohon tunggu...
Dinda Pramitha Shaila Putri
Dinda Pramitha Shaila Putri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

currently studying...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Optimalisasi Intellectual Property (IP) sebagai Wujud Pengembangan Animasi di Indonesia

23 Juni 2022   12:06 Diperbarui: 23 Juni 2022   12:18 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan
Lahirnya ekonomi kreatif menjadi salah satu bukti adanya pergeseran orientasi ekonomi global. Fenomena pergeseran ekonomi global ini dimulai dari ekonomi yang berorientasi di bidang pertanian, lanjut kepada ekonomi industri, ekonomi informasi, hingga tahap saat ini yakni ekonomi kreatif. Pergeseran dinamika ekonomi global ini disertai dengan dorongan dan karakteristik tertentu pada setiap masanya. Seperti misalnya pada ekonomi pertanian yang bergerak hingga ekonomi informasi ditandai dengan adanya inovasi baru seperti terciptanya internet, surat elektronik, global system for mobile communication (GSM). Inovasi yang hadir pada era tersebut secara tidak langsung menghasilkan interkoneksi antar individu. Dorongan dari peran sumber daya manusia (SDM) juga turut mendorong lahirnya inovasi yang tercipta merupakan bentuk daya kreativitas SDM. Sehingga, pergesearan ekonomi sampai kepada tahap ekonomi kreatif seperti yang berkembang di era saat ini. Definisi singkat ekonomi kreatif menjadi suatu bentuk pergeseran atau transformasi aspek perekonomian global yang dimulai dari ekonomi pertanian yang berbasis sumber daya alam hingga puncaknya saat tahap ekonomi kreatif dengan menghadirkan suatu nilai tambah dalam penciptaan pasar (market), lapangan kerja, dan pendapatan ekonomi (Verya, 2017).
Dalam satu dekade terakhir telah terjadi peningkatan signifikan dalam pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) yang mengarah pada pertumbuhan kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi di bidang industri kreatif digital (Munro, 2017). Penjelasan terkait industri kreatif digital dikutip oleh Bahkshi (2013) merupakan salah satu bentuk dari sektor ekonomi kreatif. Pengertian ekonomi kreatif tidak hanya sebatas menciptakan nilai tambah guna membuka lapangan kerja bagi warga. Namun, ekonomi kreatif menjadi suatu konsep pembangunan ekonomi yang berlandaskan kepada sumber daya tidak terbatas, mencakup ide, inovasi, dan kreativitas individu disuatu wilayah negara. Dapat dikatakan bahwa modal dasar perekonomian kreatif ini adalah sumber daya yang tidak terbatas, maka konsep ekonomi kreatif menjadi suatu model perekonomian yang berkelanjutan (sustainable). Berkelanjutan memiliki makna bahwa dalam modal ekonomi kreatif yang berupa ide atau gagasan milik individu tidak akan pernah hilang dan akan selalu menciptakan hal baru mengikuti dinamika yang ada. Pelaksanaan ekonomi kreatif menunjukkan posisi sentral dalam pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Pentingnya pelaksanaan ekonomi kreatif tidak hanya melingkupi konteks nasional. Tetapi, terdapat menfaat secara internasional yang memberikan wadah untuk memfasilitasi kreativitas dalam kebijakan internasional guna mempererat hubungan budaya, negara, dan organisasi sosial. Sehingga, hubungan yang tercipta dari berbagai negara tersebut meningatkan aspek kebudayaan dan identitas negara dari hasil ekonomi kreatif. Budaya dan kreativitas menjadi inti dari ekonomi kreatif yang menjadi landasan untuk pola pembangunan suatu negara (Wu, 2021)
Fokus pembangunan ekonomi kreatif yang menjadi penting untuk dilaksanakan, memberikan perhatian lebih bagi pemerintah Indonesia untuk terus menggerakkan bidang ekonomi kreatif ini. Sebelumnya pada masa pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) perkembangan ekonomi kreatif ditandai dengan menciptakan studi pemetaan kontribusi industri kreatif pada Trade Expo Indonesia dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Setelah itu, pada era pemerintahan presiden Joko Widodo pengembangan bidang ekonomi kreatif diwujudkan dengan membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dengan wewenangnya untuk mengelola ekonomi kreatif di Indonesia. Pemetaan sub sektor ekonomi kreatif di Indonesia mencakup 17 subsektor yang diantaranya yakni sektor (1) Pengembang Permainan, (2) Kriya, (3) Desain Interior, (4) Musik, (5) Seni Rupa, (6) Desain Produk, (7) Fesyen, (8) Kuliner, (9) Film, Animasi dan Video, (10) Fotografi, (11) Desain Komunikasi Visual, (12) Televisi dan Radio, (13) Arsitektur, (14) Periklanan, (15) Seni Pertunjukan, (16) Penerbitan, dan (17) Aplikasi (Kemenparekraf.go.id)
Animasi menjadi salah satu wujud dari sub-sektor ekonomi kreatif yang turut dikembangkan di Indonesia. Klasifikasi sub sektor film, animasi, dan video merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan tentang produksi kreasi video, film, distribusi rekaman video dan mencakup penulisan skrip, dubbing, sinematografi dan lain sebagainya. Kegiatan produksi animasi menjadi salah satu sumber pendapatan bagi perekonomian negara Indonesia. Pada perkembangannya, animasi dihasilkan oleh kemampuan anak bangsa yang turut memberikan kontribusinya dalam penciptaan karakter animasi dalam film ataupun produk lainnya. Kreativitas yang dihasilkan melalui sebuah bentuk animasi ini menjadi suatu komoditas ekspor yang pada tahun 2020 mencapai nilai ekspor kurang lebih 600 miliar. Selain itu, kemampuan para kreator animasi dalam negeri juga turut memberikan prestasi yang didapatkan atas hasil karya animasi yang ditayangkan dalam kancah nasional maupun internasional. Dibalik torehan prestasi yang didapatkan oleh kreator animasi di Indonesia, masih menyimpan beberapa permasalahan terkait produksi animasi ini. Salah satu permasalahannya yakni terkait adanya kesulitan dalam pengembangan Intellectual Property (IP) bagi animator di Indonesia.

Pembahasan

Intellectual Property (IP) atau dalam Bahasa Indonesianya merupakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi suatu bentuk penemuan kreativitas, mahakarya ataupun desain yang harus dipatenkan dan mendapatkan perlindungan dari undang-undang (Santoso, 2018). Definisi dari IP juga dijelaskan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) yang merupakan kreasi dari hasil pemikiran, penemuan, sastra, seni, desain, dan simbol yang digunakan dalam perdagangan dan hasil kreasi ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan (Boediman 2008). Secara garis besar, IP atau HKI menjadi suatu bentuk perlindungan dan pengakuan atas hasil karya, benda konkrit atau abstrak yang diciptakan atas dasar pemanfaatan kemampuan intelektualitas manusia. Pada dasarnya kekayaan intelektua tertuju pada suatu penciptaan hasil dari pikiran yang dituangkan dalam inovasi, karya sastra dan seni, simbol identitas, dan gambar yang digunakan dalam perdagangan. Terdapat dua kategori dalam hak milik intelektual diantaranya industrial property dan copyright. Pembentukan IP menjadi suatu sistem yang memiliki tujuan untuk menumbuhkan lingkungan kreativitas dan inovasi.
Pelaksanaan industri animasi di Indonesia erat kaitannya dengan Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI). Asosiasi tersebut menjadi suatu organisasi yang berbentuk badan hukum sebagai wadah atau perwakilan para penggerak industri animasi dan kreatif di Indonesia. Pembentukan AINAKI memiliki tujuan guna meningkatkan pengembangan kualitas dan pemasaran konten karya anak bangsa dengan harapan dapat menguasai pasar internasional dan juga lokal. Permasalahan IP di Indonesia juga terjadi dalam bidang produksi animasi. Menurut data dari Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI) bahwa IP menjadi suatu bisnis yang perlu diupayakan pengembangannya guna meningkatkan kualitas dari industri animasi Indonesia. Sebagai perbandingan, di negara Jepang, pendapatan yang diperoleh dari industri animasi dominan berasal dari hasil bisnis IP animasi. Persentase yang cukup besar bagi negara jepang yang mendapatkan sebanyak 89,7% hasil dari industri animasi khususnya dalam bidang lisensi IP. Berbanding terbalik dengan negara Indonesia, yang menurut data dari AINAKI bahwa kontribusi jasa atau service lebih besar dibandingkan dengan bisnis IP pada pendapatan di berbagai studio animasi di Indonesia.

Tabel 1.1 Perbandingan Kontribusi Jasa dan Bisnis IP dalam Pendapatan Studio Animasi Indonesia
Sumber : AINAKI Indonesia Animation

Data survei yang dilakukan pada 120 studio animasi di Indonesia pada tahun 2020 menampilkan bahwa sebesar 70% studio mengupayakan pengembangan IP sembari juga menerima pekerjaan jasa atau service animasi. Sisanya, sekitar 10% dari 120 studio hanya memiliki fokus dalam pengembangan IP saja. Untuk 20% dari 120 studio animasi di Indonesia hanya berfokus pada pengerjaan jasa atau service animasi untuk memenuhi kebutuhan baik lokal, nasional, hingga internasional. Fakta yang tercermin dari data tersebut memberikan tanda bahwa penciptaan IP dalam sektor industri animasi masih sangat rendah dibandingkan dengan jasa atau service yang dilakukan oleh para kreator atau animator. Rendahnya perbandingan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diantaranya :
1.Lemahnya penerapan sistem hukum perundang-undangan khususnya dalam perlindungan hak cipta. Pelaksanaan perlindungan sistem hukum di Indonesia melalui Undang-Undang Hak Cipta tahun 2012 yang dilakukan perubahan pada tahun 2014 dinilai belum mampu dan belum efektif untuk dilaksanakan. Hal tersebut berdampak pada masifnya pendaftaran hak cipta (Santoso, 2018; Nurjati, 2020).
2.Kurangnya permodalan yang didapatkan dalam proses produksi IP. Tingginya biaya yang diperlukan dalam produksi IP tidak dapat diraih jika hanya dengan modal studio tanpa adanya bantuan modal dari pihak lain.
3.Tidak adanya pola atau jalan keluar yang jelas dalam mengatasi permasalahan yang ada, khususnya pada sektor animasi Indonesia.
4.Penguasaan karya animasi pada tahun 2018 didominasi (80,4% atau 37 judul) karya animasi diimpor dari luar negeri. Angka tersebut belum mencakup produk animasi yang berada pada tayangan bioskop maupun televisi berbayar seperti Disney channel, baby tv, nickelodeon, dan lain sebagainya.

Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan
Mengetahui fakta bahwa memang perkembangan IP dalam sektor animasi di Indonesia masih kalah dengan jasa animasi memberikan tantangan bagi seluruh rantai aktor yang terkait. Modal atau model konglomerasi yang cukup besar untuk mengembangkan IP hanya memungkinkan untuk dilakukan oleh sebagian kecil studio animasi dengan jenis skala besar. Di sisi lain, untuk studio yang memiliki skala lebih kecil, berfokus pada merakit basis popularitas melalui komik atau barang-barang merchandise. Tetapi, lagi-lagi industri animasi skala kecil ini masih terbatas dalam pengembangan produk IP animasi. Perlunya waktu yang lama untuk mengembangkan lebih jauh terkait IP. Dengan demikian tantangan dalam pengembangan IP peran pemerintah dan juga sponsor sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pengembangan industri animasi. Bantuan yang dapat dilakukan dengan cara memberikan grant untuk mendorong berbagai studio animasi yang ada agar mendapatkan dana yang cukup dalam mengembangkan proyek IP. Selain itu, kapabilitas dalam bentuk pendidikan keahlian mencakup SDM yang spesifik dan juga kapabilitas produksi juga perlu dilakukan. Mengingat, jaringan SDM animator di Indonesia sebagian juga dimanfaatkan dalam produksi animasi dalam lingkup internasional. Hal ini menjadi tantangan untuk bagaimana animator Indonesia bukan hanya mengerjakan jasa untuk animasi milik luar negeri. Namun, dapat juga mengembangkan IP karya miliknya sendiri. Intervensi yang dilakukan dari pemerintah memberikan dampak bagi tumbuhnya permintaan SDM animasi lokal yang dibentuk melalui sektor pendidikan. Selain itu, intervensi tersebut juga dapat menciptakan judul animasi baru melalui hasil kolaborasi dengan aktor kreatif lainnya. Upaya lain yang dapat dilakukan dengan meningkatkan perpustakan audio visual dan menghasilkan sistem serta infrastruktur yang bermanfaat untuk animator. Sesuai dengan analisis Global Value Chain yang salah satunya mencakupa dimensi upgrading ini menjadi  konsep utama untuk perspektif bottom-up. Dimensi ini berfokus pada strategi yang digunakan oleh negara, wilayah, dan pemangku kepentingan ekonomi lainnya untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi dalam ekonomi global (Gereffi, 2016). Pada konsep dimensi upgrading, khsusnya penciptaan IP juga dapat disalurkan dalam pembuatan konten maskot lokal. Seperti dapat dicontohkan maskot kota Malang yang bernama Osiji dan maskot kota-kota lainnya. Hal ini dalam perkembangannya masih ditemukan masalah seperti belum adanya keterbukaan dalam penggunaan maskot tersebut. Maskot tersebut masih belum bersifat publik domain, sehingga belum dapat bebas untuk digunakan untuk urusan komersiil maupun non komersiil. Pengembangan maskot lokal perlu didorong untuk mendukung para animator dalam berkarya. Secara tidak langsung dengan adanya maskot lokal yang diciptakan dapat menjadi ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam sektor pariwisata dan industri daerah. Kehadiran pemerintah lagi-lagi diperlukan untuk menyuarakan dan mempromosikan maskot atau IP tersebut guna menjadi upaya pengelolaan. Pengelolaan IP animasi sebagai karakteristik suatu wilayah memberikan identitas tersendiri yang membedakan dari wilayah lain. Sehingga, perlu adanya pembentukan karakter budaya yang kuat dan jelas guna memperkenalkan karakter tersebut ke khalayak publik.

Referensi :
Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia. 2020. Indonesia Animation Report 2020. Jakarta: Ainaki.
Bakhshi, H., Hargreaves, I., & Mateos-Garcia, J. (2013). A Manifesto for the Creative Economy. London: Nesta.
Boediman, A. (2008). Animation and content industry. WIPO International Seminar on the strategic use of intellectual property for economic and social development. Denpasar, April 21–25, 2008.
Gereffi, G., & Fernandez-Stark, K. (2016). Global value chain analysis: a primer.
Husin, R., Hidayah, N., & Mukmin, T. M. (2021). Creative Industries in Supporting Indonesia’s Economic Growth in Innovation Perspective. Business and Economic Journal, 12, 1-4.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2022). Diakses pada 21 Juni 2022 https://kemenparekraf.go.id/layanan/Subsektor-Ekonomi-Kreatif
Markusen, A., Wassall, G. H., DeNatale, D., & Cohen, R. (2008). Defining the creative economy: Industry and occupational approaches. Economic development quarterly, 22(1), 24-45.
Munro, E. (2017). Building soft skills in the creative economy: Creative intermediaries, business support and the ‘soft skills gap”. Poetics, 64, 14-25.
Nurjati, E., Rianto, Y., Wulandari, R., & Fatmakartika, O. (2020). Indonesian animation industry: Its mapping and strategy development. International Journal of Business Innovation and Research, 4(VIII), 2454-6186.
Pranoto. (2022). Pariwisata Nusantara. Bandung: Media Sains Indonesia.
Santoso, B. G. (2018). Intellectual Property Animasi Di Indonesia Dalam Buku Katalog Nganimasi Indonesia. Jurnal Bahasa Rupa, 1(2), 89-98.
Verya, E., & Afrizal, A. (2017). Dampak Kerjasama Bidang Pariwisata Indonesia Dan Australia Terhadap Ekonomi Kreatif Indonesia Tahun 2010-2014 (Doctoral dissertation, Riau University).
Wikayanto, A. (2017). Analysis Of The Potential Development Of Technopark For Film, Game And Animation Industry In Indonesia. In 1st International Conference on Art, Craft, Culture and Design 2017. Bandung Institute of Technology.
Wu, Y.-C., & Lin, S.-W. (2021). Integrated approach for exploring critical elements that affect sustainable development of cultural and creative industries. Journal of Business Economics and Management, 22(3), 596-615. https://doi.org/10.3846/jbem.2021.14261

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun