Sebagai salah satu ikon wisata, konon Bandung tercipta saat Tuhan tersenyum. Banyak yang mengatakan bahwa setiap sudut kota ini sangat estetis, yang membuat orang merasa ketinggalan jika tidak membagikannya di Instastory. Selain itu, saat ini apa yang tidak ada di Bandung? Wisata alam, wisata religi, hingga coffee shop seperti "Kalcer" pun ada di sini.
Dengan segala yang ditawarkan, anehnya pemerintah Bandung tidak menyediakan fasilitas dasar seperti pencahayaan jalan. Bayangkan saja, jalan di sekitar Gedung Sate-pusat pemerintahan-bisa gelap gulita. Jika hal yang begitu mendasar saja tidak diperhatikan, bagaimana dengan daerah lainnya? Apakah mereka tidak pernah bekerja hingga larut malam sambil memikirkan kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak menyadari bahwa Bandung di malam hari bisa terlihat seperti setting film The Purge? Kapolrestabes Bandung, Komisaris Besar Budi Sartono, mencatat ada 3.382 kasus pidana sepanjang tahun 2023. Jika dihitung, itu berarti sekitar 9 kasus kejahatan terjadi setiap harinya. Dan itu hanya data resmi yang tercatat. Bagaimana dengan yang tidak tercatat?
Lalu, jika Anda berpikir, "Mungkin lebih aman naik angkutan umum saja pulangnya, kan ramai-ramai," itu tentu keliru. Keamanan transportasi umum di Bandung kadang hanya menjadi mitos.
Angkutan umum di Bandung bisa dibilang masih tertinggal. Waktu dan frekuensinya tidak konsisten; kadang ada, kadang tidak. Berdasarkan pengalaman pribadi terakhir kali naik angkot, angkot tersebut tiba-tiba diisi oleh teman sopir yang sedang mabuk. Sebagai perempuan, hal itu tentu sangat berisiko. Lebih parahnya lagi, perdebatan mengenai ojol, opang, angkot, dan bus masih terus terjadi di beberapa daerah. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan masalah transportasi, yang seharusnya memberikan kenyamanan dan kebebasan bagi setiap warga Bandung. Perdebatan tentang transportasi ini pun tidak akan selesai jika tidak disertai dengan pembenahan jalur pedestrian, karena trotoar di Bandung lebih mirip dengan rintangan dalam acara Ninja Warrior.
Masalah transportasi saja belum selesai, kini biaya hidup menjadi tantangan lain yang membuat Bandung semakin cocok disebut kota untuk konten, bukan untuk hidup. Dengan UMR yang hampir setengahnya Jakarta-padahal sekarang ada kereta cepat yang hanya membutuhkan 30 menit untuk menuju Bandung-Jakarta biaya hidup di kota ini semakin tak terjangkau. Tidak perlu membahas masalah Gen Z yang kesulitan membeli rumah. Jika pun bisa membeli, terpaksa harus tinggal di daerah rawan banjir. Masalahnya tidak berhenti di situ. Harga kost-kostan di Bandung, terutama yang dekat kampus, terkadang sangat mahal. Cobalah buka aplikasi pencarian kost; Anda akan melihat harga yang membuat berpikir dua kali. Ada kost "premium" yang mulai dari 7 juta per bulan, padahal UMR tidak mencapai jumlah tersebut.
Yang semakin membuat frustasi, Bandung tampaknya tidak belajar dari permasalahan yang ada. Pemerintah justru lebih fokus membangun flyover atau taman agar kota terlihat lebih indah di foto-foto. Lalu lintas yang macet, masalah transportasi yang buruk, dan masalah lainnya tampaknya tidak ada solusi serius. Flyover memang dapat membantu mengurangi kemacetan, tetapi apakah itu solusi jangka panjang? Banyak masalah kompleks yang seharusnya diselesaikan, namun justru dipermudah dengan pembangunan yang hanya menampilkan keindahan luar, tanpa memperhatikan kesejahteraan warganya.
Masalah terakhir yang selalu menghantui Bandung adalah banjir, yang sudah menjadi masalah tahunan. Area resapan air yang seharusnya dibiarkan sebagai solusi malah dijadikan lokasi pembangunan masjid. Bukan berarti membangun masjid itu salah, tetapi apakah tidak ada lokasi lain selain di atas area resapan? Banjir di Bandung bukanlah hal baru. Masalah ini sudah berlangsung lama, tetapi bukannya dicari solusi, malah diperburuk. Dahulu banjir hanya terjadi di beberapa titik, namun sekarang area yang sebelumnya aman pun ikut terendam. Bahkan tempat yang tidak pernah banjir sekalipun bisa berubah menjadi kolam dadakan. Mengenai kepemimpinan, entah mengapa kota ini seolah tidak pernah menemukan sosok yang mampu menangani masalah-masalah tersebut secara tuntas. Mungkin ini harus menjadi peringatan terakhir sebelum akhirnya pemerintah sendiri yang harus naik perahu untuk menuju kantor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H