Sistem Pendidikan Indonesia dengan Kegagalan yang Terus Menganga
Situasi pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan gambaran yang begitu memprihatinkan. Berbagai kebijakan yang diterapkan tidak hanya gagal mencapai tujuan, tetapi juga menghasilkan kerusakan sistemik yang semakin dalam. Mulai dari kebijakan zonasi yang cacat, kondisi guru honorer yang mengenaskan, hingga siswa SMA yang tidak mampu menjawab pertanyaan dasar. Semua ini berpuncak pada data dari World Population Review tahun 2024 yang mencatat rata-rata IQ warga Indonesia hanya 78,49 -terendah di antara negara-negara ASEAN. Fakta ini menunjukkan kegagalan mendasar yang terus menggerogoti pendidikan di negeri ini.
Kendala Mendasar dalam Sistem Pendidikan
Eksperimen sederhana yang dilakukan akun TikTok @papa.groot memperlihatkan rendahnya tingkat pengetahuan dasar siswa SMA. Beberapa siswa diminta menyebutkan nama negara-negara di Eropa, namun tidak satu pun dari mereka mampu menjawab dengan benar. Kondisi ini mencerminkan kegagalan sistemik yang tidak hanya mencoreng kualitas pendidikan, tetapi juga mengancam masa depan generasi muda.
Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia sudah jadi rahasia umum. Kebijakan zonasi, yang awalnya dimaksudkan untuk pemerataan pendidikan, malah membawa kesialan. Zonasi yang asal diterapkan tanpa memikirkan kondisi geografis dan infrastruktur membuat siswa di daerah terpencil terjebak di sekolah-sekolah yang tidak punya apa-apa, terpaksa menghancurkan harapan mereka dan menerima keadaan dengan lapang dada.
Sementara itu, kota besar jadi medan persaingan kelas atas. Sekolah negeri berlomba-lomba jual-beli kursi, dengan syarat yang memiliki "uang lebih" bisa membeli kursi di sekolah yang diinginkkan. Fenomena ini bahkan terang-terangan memperlihatkannya dengan tanpa rasa malu. Mereka yang punya uang tinggal "beli jalan pintas," sementara anak-anak dari keluarga kurang mampu harus pasrah masuk sekolah seadanya. Di sini, pendidikan bukan lagi soal kualitas, tapi soal siapa yang mampu membayar lebih.
Guru Menjadi Ujung Tombak yang Dibiarkan Berkarat
Mari bicara tentang guru. Mereka adalah pilar utama pendidikan, tapi dalam sistem ini, mereka seperti pilar yang dibiarkan rapuh, terhuyung bahkan hancur. Guru honorer, misalnya, digaji dengan angka yang bahkan tak cukup untuk biaya hidup. Membayangkannya saja sudah mengkhawatirkan , mengingat banyak guru honorer untuk makan saja sulit.
Beban kerja guru semakin berat dengan tuntutan administratif yang seolah tak ada habisnya. Alih-alih mengembangkan metode pengajaran, mereka dibuat sibuk mengisi formulir ini-itu. Akhirnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran habis untuk hal-hal teknis. Di sisi lain, wibawa guru juga semakin terkikis. Banyak guru kehilangan otoritas di dalam kelas karena tekanan dari murid yang gampang "mengadu" karena hal sepele, bahkan hingga berani tidak menghormati guru dengan terang-terangan
Generasi yang Ditinggalkan
Semua masalah ini berujung pada siswa, korban nyata dari sistem yang abai. Ketika kemampuan dasar mereka jauh dari harapan, menyalahkan mereka adalah tindakan yang keliru. Siswa hanyalah hasil dari sebuah sistem yang tak pernah benar-benar peduli pada mereka.