Mohon tunggu...
Dinda Maharana
Dinda Maharana Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Deli, Pohon Berdaun Uang

26 Juni 2023   19:18 Diperbarui: 26 Juni 2023   19:22 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Perbudakan terjadi dibalik rimbunynya daun daun tembakau. Tak banyak yang tahu baha tembakau Dli yang terkenal di seluruh Dunia, akarnya telah menyerap keringat, air mata, dan darah para kuli. Kolusi terjadi antara penguasa daerah dan tuan kebun. Poenale Sabctie menjadi tameng yang melegalkan kekejaman mereka. Tak ada hukum yang dapat melindungi para kuli.

 Para buruh tani terkesima pada ucapan lelaki itu, DELI suatu tempat yang dimana ada pohon berdaunkan uang. Novel Berjuta-juta dari Deli, Satoe Hikajat Koeli Contract yang di tulis oleh Emil W. Aulia adalah novel yang ditulis berdasarkan sebuah brosur yang ditulis oleh Johanes Van den Brand pada awal abad ke-20. Van den Brand adalah tokoh pembela kaum pribumi di masa kolonial Belanda. Namanya masih kalah populer dibanding Multatuli (Douwes Dekkker) dan Van de Venter. Namun sejarah mencatat bahwa di awal abad 20 Ven den Brand pernah menggegerkan pemerintahan Belanda melalui tulisannya yang mengungkap perlakuan tak manusiawi para pengusaha perkebunan tembakau di Deli terhadap para kuli kontraknya.

Karya Emil W. Aulia ini berhasil menggambarkan betapa pedihnya kehidupan dimasa kolonial Belanda. Orang orang pribumi khususnya dari tanah jawa diperlakukan sebagaimana budak yang hanya dimanfaatkan tenaga tanpa mau mendengarkan keluh kesah dan hanya diberikan upah yang tak masuk akal dengan pekerjaan yang diberikan.

Brosur Millioenen uit Deli setebal 71 halaman diterbitkan pada tahun 1902 di Belanda. Brosur yang memprotes diberlakukannya penale sanciate dan juga mengurai derita dan skandal perbudakan yang dialami ribuan kuli kontrak asal Jawa yang berkerja di perkebunan tembakau milik swasta Belanda di Deli -- Sumatera Timur ini tentu saja menggegerkan kedamaian negeri Belanda. Brosur ini mendapat perhatian dari Majelis Rendah Belanda (Tweede Kamer) yang langsung membahasnya dalam sidang-sidangnya. Pihak oposisi menjadikan isu kekerasan yang dialami kuli untuk menekan pemerintah. Hubungan Belanda dengan negara-negara tetangganya juga terganggu, beberapa negara mengecam kekerasan yang terjadi di Deli dan mengancam akan memutuskan hubungan dengan Belanda jika isi dari brosur itu benar adanya.

Deli Serdang sebagai salah satu perkebunan tembakau menjadi primadona bagi kalangan pengusaha untuk berinvestasi di tanah ini. Sebaliknya bagi mereka yang menjadi pekerja menanggap tanah Deli adalah salah satu nereka di dunia ini. Mereka tidak hanya diperintah oleh kaum kulit putih namun juga bangsa mereka sendiri yang berprilaku feodal. Tidak ada rasa kemanusiaan lagi yang hidup di Deli ini, moral menjadi rasa yang tak pernah ada. Hanya beberapa tokoh yang mau memperjuangkan rasa kemanusiaan di tanah ini, Multatuli tokoh belanda, Tan Malaka, dan Van De Brand. Emil lebih melukiskan perjuangan yang dilakukan oleh Van De Brand dalam mencari keadilan di Deli ini. 

Para kuli kontrak yang bersal dari Jawa umumnya terbujuk oleh mulut manis makelar pencari kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa agar mau dijadikan kuli kontrak. Mereka diming-imingi hal yang menarik bahwa di Deli mereka akan menemukan , pohon yang berdaun uang, ronggeng, wayang kulit, dll. Para penduduk desa yang miskin tentu saja tertarik untuk dijadikan kuli kontrak. "Deli mengganggu tidur malam mereka...Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit...arak...emas...perempuan-perempuan ronggeng...Ah, apa yang lebih penting dari semua ini?...hlm 10. Ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka impikan itu tak menjadi kenyataan, mereka malah menemui berbagai penderitaan di Deli.

Seluruh proses mulai dari keberangkatan, situasi di kapal dan kedatangan para kuli kontrak itu di perkebunan terekam dengan jelas di novel ini. Sesampai di pelabuhan mereka segera diharuskan membubuhkan cap jempol mereka pada secarik kertas yang isinya tidak mereka mengerti karena toh mereka tidak bisa membaca. Seketika itu mereka dihadapkan pada kenyataan yang pedih, mereka bertemu dengan sosok-sosok asing yang menggenggam kehidupan mereka. Jiwa dan raga para kuli-kuli kontrak itu telah ikut tergadai!.

Hukum tidak bermata dan tumpul di wilayah ini. Semua terbeli dengan uang dan kekuasaan. Sebagai advokat, Van De Brand lantas mencoba mencari fakta-fakta perihal kondisi kuli kontrak mulai dari awal kedatangan hingga ahir nasib mereka yang tak jelas. Entah sudah berapa kuli lelaki yang tewas dianiaya dengan cara tidak lazim oleh mereka kaum-kaum feodal. Permasalahan sepele mulai dari telat bangun, tidak patuh, melawan bahkan melarikan diri berahir tragis dengan pukulan-pukulan yang keras. Tidak jarang para kuli ini berahir dengan tiang gantungan atau dibuang ke hutan dan menjadi santapan babi atau harimau. Keji memang, Emil menyusun adegan dan pristiwa dalam deskripsi yang ia buat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun