Perempuan memiliki potensi besar dalam pembangunan politik , baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun partisipasinya dalam politik sering kali menghadapi tantangan dan hambatan yang kompleks, mulai dari stereotip gender, minim nya akses pendidikan politik, hingga kendala struktural dalam sistem pemerintahan. Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa negara termasuk juga Indonesia, telah berupaya meningkatkan representasi perempuan dalam politik melalui kuota gender dan pemberdayaan perempuan. Namun, tantangan tetap ada, sehingga diperlukan upaya strategis untuk memastikan perempuan memiliki peran signifikan dalam proses pengambilan keputusan.Â
 Partisipasi perempuan dalam politik menunjukkan perkembangan yang signifikan, tetapi juga mencerminkan perjuangan panjang melawan diskriminasi gender. Di Indonesia, peran perempuan dalam politik mulai terlihat sejak era pergerakan nasional. Tokoh seperti Kartini, Siti Walidah, dan Maria Walanda Maramis menjadi inspirasi dalam memperjuangkan hak perempuan, khususnya dalam pendidikan dan keterlibatan publik.
Pada masa kemerdekaan, perempuan mulai memasuki arena politik formal, meskipun jumlahnya masih terbatas. Salah satu pencapaian penting adalah kehadiran tokoh perempuan seperti Maria Ulfah Santoso, yang menjadi menteri perempuan pertama di Indonesia pada era Soekarno. Di era reformasi, berbagai kebijakan afirmasi mulai diterapkan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, seperti kuota 30% bagi perempuan dalam daftar calon legislatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan dalam politik adalah kuatnya budaya patriarki yang mendominasi struktur sosial. Hal ini menyebabkan perempuan sering kali dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam kepemimpinan atau pengambilan keputusan.
Sistem politik sering kali dirancang dengan cara yang tidak inklusif terhadap perempuan. Misalnya, mekanisme pencalonan partai politik cenderung memprioritaskan laki-laki, dan perempuan sering kali ditempatkan di daerah pemilihan yang kurang strategis.Minimnya akses perempuan terhadap pendidikan politik mengakibatkan rendahnya pemahaman dan keberanian perempuan untuk terjun ke dunia politik.
Dalam banyak kasus, perempuan yang ingin maju dalam politik menghadapi keterbatasan dana kampanye, yang menjadi salah satu faktor penting dalam persaingan politik modern.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, perempuan telah membuktikan bahwa mereka mampu memainkan peran strategis dalam politik. Studi menunjukkan bahwa keberadaan perempuan dalam parlemen atau lembaga pengambilan keputusan meningkatkan fokus pada isu-isu sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak. Selain itu, perempuan pemimpin sering kali dianggap lebih transparan dan responsif dalam menghadapi kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia, perempuan seperti Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5 RI) dan Tri Rismaharini (Menteri Sosial) menjadi contoh nyata bahwa perempuan dapat memimpin dengan sukses. Selain itu, di tingkat lokal, banyak kepala daerah perempuan yang berhasil membawa perubahan positif di wilayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H