Mohon tunggu...
Dinda Faisa Azalia Giarda
Dinda Faisa Azalia Giarda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa dari Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Maraknya Pernikahan Dini dan Peningkatan Angka Perceraian di Indramayu

8 Januari 2025   21:50 Diperbarui: 8 Januari 2025   21:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gedung Pengadilan Agama Indramayu (Sumber : https://www.facebook.com/pengadilanagamaindramayu)

Di tengah gemuruhnya pembangunan infrastruktur dan modernisasi di berbagai sudut,  Indonesia sedang menghadapi krisis yang mungkin tak terlihat di permukaan, tetapi dampaknya sangat dirasakan oleh warganya. Indramayu sebagai sebuah kabupaten di Indonesia yang dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi agrarisnya tidak terlepas dari isu ini. Krisis yang terjadi adalah lonjakan angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Pengadilan Agama Indramayu mencatat bahwa pada tahun 2023 ada 8.869 kasus perceraian yang diproses dengan sebagian besar permohonan diajukan oleh pihak istri. Ini adalah angka yang mencengangkan tetapi juga menyedihkan karena mencerminkan ketidakstabilan dalam lembaga pernikahan yang seharusnya menjadi pondasi masyarakat.


Jika dilihat lebih dekat, penyebab dari tingginya angka perceraian ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena pernikahan dini. Di Indramayu, seperti di banyak daerah lain di Indonesia, pernikahan pada usia muda masih dipandang sebagai norma atau sebuah langkah yang dianggap menjaga kehormatan keluarga dan menghindarkan dari perilaku yang dianggap tidak pantas. Namun keputusan untuk menikah di usia muda sering kali diambil tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Ketidakmatangan emosional dan kurangnya kesiapan finansial sering menjadi bom waktu yang akhirnya meledak dalam bentuk perselisihan dan ketidakpuasan yang pada akhirnya menyebabkan perceraian.


Fenomena ini menjadi lebih kompleks ketika  dimasukkan faktor ekonomi ke dalam persamaan. Keterbatasan finansial sering kali menjadi pemicu utama perselisihan antara suami dan istri. Tekanan ekonomi yang semakin berat terutama dalam rumah tangga yang mengandalkan penghasilan dari sektor informal atau bergantung pada hasil pertanian sering kali menjadi sumber konflik yang tak terhindarkan. Di Indramayu ada  banyak perempuan yang memilih untuk bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri dengan harapan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ironisnya meskipun langkah ini bisa memberikan solusi sementara bagi masalah keuangan, kepergian salah satu pasangan untuk waktu yang lama sering kali merusak keharmonisan rumah tangga. Jarak dan waktu yang terpisah membuka celah pada konflik dalam pernikahan.


Dalam situasi yang penuh tekanan ini kita perlu merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kita bisa keluar dari krisis ini. Bagaimanapun juga perceraian bukanlah solusi ideal bagi pasangan yang menghadapi masalah dalam pernikahan mereka. Sebaliknya perceraian sering kali membawa dampak yang lebih buruk yang  tidak hanya bagi pasangan itu sendiri tetapi juga bagi anak-anak yang terjebak di tengah konflik orang tua mereka.


Oleh karena itu perlu dicari  cara-cara yang lebih efektif untuk mencegah terjadinya perceraian. Salah satu hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ketika perempuan memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan, mereka tidak hanya memiliki pengetahuan yang lebih luas tetapi juga kemampuan untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang kehidupan mereka. Pendidikan yang lebih tinggi juga cenderung membuat perempuan menikah pada usia yang lebih matang, ketika mereka sudah lebih siap secara emosional dan finansial untuk menjalani kehidupan berumah tangga.


Peran tokoh agama dan masyarakat dalam memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pernikahan juga memiliki peran penting dalam isu ini. Alih-alih hanya mendorong pernikahan dini sebagai cara untuk menjaga tradisi, perlu ada upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesiapan emosional dan finansial sebelum menikah. Pendekatan yang lebih persona seperti konseling pranikah atau mediasi bagi pasangan yang sedang menghadapi masalah bisa menjadi alat yang efektif untuk membantu pasangan mengatasi konflik tanpa harus berujung pada perceraian.


Pemerintah juga memegang peran penting dalam mengatasi masalah ini. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memperkuat penegakan undang-undang yang melarang pernikahan di bawah umur. Ini bukan hanya soal melindungi anak-anak dari pernikahan dini tetapi juga memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan mempersiapkan diri secara lebih baik untuk masa depan. Di samping itu pemerintah bisa membantu dengan menciptakan program-program yang mendukung kesejahteraan keluarga seperti akses yang lebih baik ke layanan keuangan atau program pelatihan keterampilan yang bisa membantu meningkatkan penghasilan keluarga.


Namun semua solusi ini tidak akan efektif jika tidak ada perubahan dalam pola pikir masyarakat. Penting sekali  untuk mulai melihat pernikahan tidak hanya sebagai sebuah tradisi atau kewajiban sosial, tetapi sebagai sebuah komitmen yang memerlukan kesiapan dan kematangan. Dengan pendidikan, dukungan komunitas, dan kebijakan yang tepat bisa membantu mengurangi angka perceraian dan menciptakan masyarakat yang lebih stabil dan harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun