Dalam jurnal tersebut yang menjadi pokok pembahasan fenomenanya yaitu tentang kasus Penyebaran berita pribadi doxing. Yang dimana berdasarkan data yang tercatat pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat 14 kasus serangan terhadap jurnalis dan media antara 2020 hingga 2021. Adapun 8 kasus diantaranya merupakan kasus doxing. 4 Artinya, pada periode tersebut terdapat lebih dari 50% kasus yang termasuk dalam kasus doxing. Kasus yang baru saja terjadi adalah yang dihadapi oleh salah satu jurnalis Liputan 6.com di Kendari yang bernama Akbar Fua pada Maret 2021.Â
Kasus tersebut terjadi karena terbitnya berita yang dituliskan dengan judul "Mencari Keadilan Ratusan Orang Duduki Polres Konawe Sambil Pamer Parang" yang mengakibatkan jurnalis tersebut disebarkan identitasnya ke sosial media dan juga diancam hingga diteror.5 Kasus yang sama juga terjadi pada jurnalis detik.com pada Mei 2020 yang memberitakan rencana peninjauan persiapan new normal di salah satu mal di Bekasi oleh Presiden Joko Widodo.Â
Sesudah berita tersebut terkkenal, para buzzer menyebarluaskan identitas jurnalis detik.com. Selain itu, akun ojek online jurnalis tersebut diretas yang mengakibatkan jurnalis detik.com diserbu dengan orderan makanan dan menerima ancaman pembunuhan melalui WhatsApp.
Faktanya bahwa Doxing terhadap jurnalis tentunya merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Pasal 17 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur bahwa masyarakat dapat melaporkan apabila terjadi kesalahan teknis oleh Pers terkait pemnberitaan.Â
Selain itu, dalam UU Pers juga diatur hak jawab dan hak koreksi. Pasal 1 angka 11 berbunyi: "Hak jawab adalah hak individu atau kelompok orang agar menanggapi atau menyanggah mencakup berupa fakta yang merusak reputasinya." Sementara itu, Pasal 1 angka 12 berbunyi: "Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk memberikan koreksi atau pemberitahuan akibat adanya kesalahan informasi, baik tentang diri setiap orang tersebut maupun orang lain yang diberitakan oleh pers" Artinya, telah ada ruang yang diberikan oleh masyarakat untuk mengadu di dewan pers apabila merasa pemberitaan yang diterbitkan keliru, menanggapi atau menyanggah berita dalam bentuk fakta yang merusak reputasinya, mengoreksi, juga mencocokkan informasi yang tidak benar baik tentang dirinya ataupun orang lain yang diberikan oleh pers.
Sehingga muncul rumusan masalah bagaimanakah peranan jurnalis sehingga menjadi korban penyebaran data pribadi (doxing) Melalui Media Online?Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap jurnalis yang menjadi korban penyebaran data pribadi (doxing) Melalui Media Online?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian empirik dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus terkait. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan mengumpulkan data melalui hasil studi lapangan dan studi pustaka. Penentuan sampel dilakukan melalui non probability sampling dengan menggunakan teknik purposive sampling. Analisis bahan hukum menggunakan analisis kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif.
Dalam kasus diatas bahwa terdapat undang-undang pers yaitu pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang berbunyi, "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum". Yang dimaksud dengan "perlindungan hukum" adalah jaminan perlindungan dari Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai engan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang tersebut dibuat dengan menimbang bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebaran informasi, dan pembentuk opini sehingga harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Jadi, wartawan harus di lindungi apa lagi menyangkut tentang pribadinya dalam hal untuk merusak kredibilitas, reputasi, atau karakternya.
Peran jurnalis sehingga menjadi korban penyebaran data pribadi (doxing) dikarenakan terbitnya berita dengan jenis interpretative news dan straight news. Jenis doxing dua korban untuk penelitian ini memiliki perbedaan, yaitu Delegitimization dan Targeting. Bentuk kedua korban yang menjadi informan pada penelitian ini adalah Participating victims. Adapun perlindungan hukum oleh AJI adalah dengan melakukan advokasi secara non-litigasi dengan menerbitkan surat pernyataan sikap dan membantu dalam hal melaporkan akun yang melakukan doxing kepada pihak pengelolah instagram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H