anak-anak Indonesia semakin terbiasa dengan penggunaan gawai dan akses internet. Pesatnya perkembangan media sosial pun turut mewarnai kegiatan sehari-hari anak yang sudah mulai mengenal berbagai aplikasi digital melalui gawai mereka masing-masing. Namun, derasnya arus informasi dan kemudahan akses media sosial pun berdampak pada rentannya anak-anak terpapar konten yang tidak sesuai usianya, seperti pornografi.
Setelah masa pandemi COVID-19 yang menyebabkan proses pembelajaran dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan media digital, kiniBelum lama ini, ranah media sosial dikejutkan dengan unggahan berisi sebuah surat cinta yang ditulis oleh seorang anak kelas VI (enam) Sekolah Dasar (SD) dengan muatan bahasa vulgar yang tidak senonoh. Unggahan ini dibagikan oleh seorang pengguna Twitter @yownkyu, sebagai kakak dari siswi SD yang menerima surat tersebut. Seorang akademisi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dr. Ariani, MKes., SpA(K), menjelaskan faktor utama penyebab fenomena ini adalah merebaknya penggunaan internet (Radjagukguk & Sriwartini, 2020).
Jika ditelaah, fenomena ini tentu berhubungan dengan peran orang tua dalam mengasuh dan mengawasi anak-anaknya. Saat ini, sudah menjadi hal lumrah ketika seorang ibu atau ayah memberikan gawai untuk anaknya yang sedang rewel agar orang tua dapat kembali melanjutkan kesibukan mereka. Namun, pola asuh praktis tersebut rupanya bukan langkah yang bijak. Pasalnya, penggunaan gawai yang berlebihan pada anak yang belum cukup umur dapat menimbulkan adiksi, mengurangi kemampuan anak untuk berinteraksi, dan anak dapat mengakses situs-situs dewasa dengan mudah.
Dilansir dari kemenpppa.go.id, berdasarkan data Kemenkes dan Kemdikbud tahun 2017, sebanyak 95,1% remaja SMP dan SMA di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Aceh telah mengakses pornografi melalui internet. Fenomena memprihatinkan ini berbahaya bagi masa depan anak-anak Indonesia, mengingat dampak kecanduan pornografi pada anak dapat merusak PreFrontal Cortex (PFC) pada otak. Menurut American Psychological Association (APA), bagian otak ini berperan penting sebagai pengontrol fungsi moral. Selain itu, anak yang kecanduan pornografi cenderung rentan mengalami gangguan emosi, memiliki keinginan untuk meniru, dan kecenderungan untuk melakukan tindakan seksual.
Ketika anak-anak sudah terbiasa mengakses konten-konten dewasa, artinya kesadaran orang-orang di lingkungan sekitarnya, terutama orang tua untuk melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada anak masih sangat minim. Dengan keingintahuannya yang besar, anak dapat belajar dan beradaptasi dengan cepat dalam penggunaan gawai, bahkan hanya dengan melihat dan mencontoh orang terdekatnya.Â
Meskipun demikian, pemberian gawai pada anak juga dapat mempermudah prosesnya dalam mempelajari dunia luar apabila digunakan dengan semestinya. Maka, boleh atau tidaknya orang tua memberikan gawai pada anak yang belum cukup umur hingga saat ini masih mengundang pro dan kontra di masyarakat.
Sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak, orang tua wajib selalu hadir mendampingi anak ketika menggunakan internet. Pembatasan waktu penggunaan gawai pun sangat penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan ketergantungan. Selain itu, orang tua juga perlu memberikan pemahaman kepada anak mengenai cara menggunakan internet dengan sehat dan penjelasan tentang hal-hal seputar seksualitas yang ingin anak ketahui.
Akan tetapi, orang tua bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya paparan konten dewasa pada anak. Sejatinya, kontrol orang tua di rumah juga tidak akan berhasil apabila lingkungan pergaulannya di luar rumah begitu bebas. Pengawasan perilaku anak di sekolah pun perlu ditingkatkan agar tidak terjadi satu dan lain hal yang mengkhawatirkan murid lain.Â
Di sisi lain, pendidikan seksual yang sesuai dengan usia dan perkembangan anak juga perlu diberikan di sekolah untuk membekali anak-anak dengan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan tentang kesehatan reproduksi. Hal ini penting agar anak dapat belajar memahami, memilih, bertanggung jawab atas tindakannya, dan melindungi dirinya sendiri.
Di samping itu, pemerintah sebagai salah satu pihak yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengendalikan konten-konten yang dimuat di media sosial juga harus turut andil dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari paparan konten dewasa yang tengah merajalela di dunia maya.Â
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang kebijakan untuk memastikan anak terlindungi dari pornografi, prostitusi, dan eksploitasi menjadi hal wajib untuk direalisasikan. Maka dari itu, ketersediaan informasi dan konten yang layak serta bermanfaat bagi anak-anak di internet juga perlu dioptimalkan. Hal ini dapat dilakukan dengan penciptaan ruang internet yang sehat dan aman bagi anak serta penyebaran informasi yang positif.