[caption caption="sore hari bersama warga Bantaran Sungai Winongo, sumber gambar: penulis (dinda)"][/caption]Melihat sejenak di salah satu sudut pedalaman Kota Jogja, terdapat salah satu permukiman di Bantaran Sungai Winongo yang cukup menarik perhatian. Pola perkampungan dengan tata letak antar rumah warga yang berdekatan dan jalan setapaknya yang ketika itu basah sehabis hujan, membawa saya ke salah satu balai desa yang berdiri di tengah-tengah perkampungan tersebut. Ternyata, ada ‘cerita’ menarik mengenai pembangunan balai desa ini. Pembangunan balai desa tersebut muncul dari ide beberapa ibu-ibu yang terbentuk di sebuah perkumpulan bernama Paguyuban Kali Jawi.
Paguyuban Kali Jawi merupakan perkumpulan antar warga Bantaran Sungai Winongo dan Gajah Wong yang diprakarsai oleh Bu Susi. Awalnya, perkumpulan ini hanya terdiri dari 5 orang warga. Tujuan dari perkumpulan ini juga terbentuk dikarenakan permasalahan yang dihadapi mengenai perkampungan, seperti permasalahan sampah, infrastruktur maupun penataan permukiman. Awalnya, ibu-ibu dalam perkumpulan ini mengikuti kegiatan di ArKom Jogja. Kemudian, ibu-ibu tersebut berinisiatif untuk membangun balai desa di perkampungan mereka melihat kurangnya tempat untuk warga melakukan rapat. Biasanya, rapat antar warga dilakukan di setiap rumah warga secara bergantian. Dengan minimnya ruang di rumah-rumah tersebut, menyebabkan kegiatan rapat menjadi tidak kondusif dan membuat warga lainnya merasa tidak dapat mengikuti obrolan rapat secara menyeluruh. Hal ini berdampak saling “ngrasani” karena merasa tidak mendapat informasi.
Setelah melalui berbagai proses, dari rapat yang dilakukan terhadap bapak-bapak Bantaran Sungai Winongo hingga tabungan yang dikumpulkan oleh semua warga, eksekusi pembangunan balai desa pun mulai bergerak. Awalnya pembangunan balai desa ini ditolak oleh beberapa warga, dikarenakan perencanaan balai desa yang dibangun dengan struktur bambu dirasa tidak cukup kuat, apalagi akan dibangun di atas aliran sungai. Namun, Paguyuban Kali Jawi berhasil meyakinkan para warga bahwa pembangunan balai desa akan berhasil, akhirnya balai desa tersebut selesai dibangun dalam kurun waktu sebulan.
Pembangunan balai desa ini dilakukan oleh semua warga Bantaran Sungai Winongo secara bergotong royong dan dibantu oleh pihak ArKom. Satu permasalahan akhirnya terselesaikan. Paguyuban Kali Jawi berhasil menemukan dampak positif dari terbangunnya balai desa ini. Setelah adanya balai desa, interaksi antar warga menjadi lebih terasa lebih hidup daripada sebelumnya. Dahulu, para warga sangat susah untuk bertatap muka dan bertegur sapa dikarenakan tidak adanya ruang terbuka dan berkumpul bagi mereka. Kini, setiap sore menjelang maghrib, para warga mampu berkumpul dan berbincang sembari menyantap jualan yang disediakan oleh salah satu warga disana.
[caption caption="balai desa menjadi tempat berkumpul warga, sumber gambar: penulis (dinda)"]
Pemecahan persoalan balai desa merupakan satu dari sekian banyaknya masalah yang harus diselesaikan para warga dalam membentuk perkampungan yang lebih baik. Dengan semua keterbatasan warga bantaran sungai yang mayoritas merupakan masyarakat ekonomi lemah, mereka saling tolong menolong untuk memperbaiki keadaan. Mereka saling mengunggulkan permasalahan bersama berada di atas permasalahan pribadi yang harus ditanggung bersama-sama pula. Dengan bahu membahu, satu masalah yang dihadapi secara bersama nantinya akan membuat langkah terasa lebih ringan. Kebudayaan bergotong royong yang dicontohkan oleh Paguyuban Kali Jawi mestinya tidak boleh hilang di tanah air kita ini. Karena, kebudayaan yang baik akan melahirkan jiwa-jiwa generasi penerus bangsa yang baik pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H