Mohon tunggu...
Dinda Armerta
Dinda Armerta Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi menggambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Hukum Pasca Pemilu 2023 dan Pelanggaran Etika di Indonesia

14 April 2024   19:47 Diperbarui: 14 April 2024   19:59 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pasca pemilu 2023, Indonesia telah mengalami perubahan hukum yang signifikan. Proses ini termasuk merevisi undang-undang dan peraturan yang ada dan memperkenalkan undang-undang dan peraturan baru. Tujuannya adalah untuk memastikan hukum tetap relevan dan mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks politik, hukum juga bertujuan untuk menjaga stabilitas dan demokrasi di Indonesia.

Namun, pasca Pemilu 2023 , pelanggaran hukum kerap terjadi, termasuk pelanggaran etika pemilu seperti politik uang dan kampanye hitam, serta penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Pelanggaran etika ini dapat merusak integritas pemilu dan mengancam demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menerapkan dan mematuhi etika pemilu untuk memastikan pemilu yang adil dan bebas.

Pelanggaran etika di dalam Mahkamah Konstitusi juga telah menjadi fokus yang signifikan dalam hukum Indonesia. yang dimana di terbitkan-nya putusan Mahkamah Konstitusi tentang pecalonan calon presiden dan wakil presiden, yang mengatur batas usia minimal yang diperlukan. Berdasarkan informasi yang tersedia, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun, yang dimana telah melibatkan hakim konstitusi, yaitu ketua mahkamah konstitusi itu sendiri adalah paman dari Cawapres yaitu Anwar Usaman, yang seharusnya MK menjadi simbol keadilan dan integritas, bukan tindakan penyalahgunaan wewenang. Kasus-kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip etika dan hukum ditegakkan di semua tingkat pemerintahan.

Selain Mahkamah Konstitusi Pelanggaran etik dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait proses pendaftaran Capres-Cawapres juga menjadi perhatian dalam hukum Indonesia. Pada beberapa kesempatan, ada indikasi penyalahgunaan wewenang dan prosedur yang tidak transparan dalam proses ini. Situasi ini dapat merusak integritas pemilihan dan menimbulkan keraguan di kalangan publik tentang keadilan proses pemilihan. Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum yang ketat dan transparansi dalam semua proses pemilihan untuk memastikan adanya pemilihan yang adil dan terbuka. Terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia yang menganggap keputusan KPU yang menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, yang melanggar kode etik, sebagai melanggar undang-undang.

apakah indonesia akan menjadi negara nepotisme?

Berdasarkan regulasi, pengertian nepotisme dijelaskan Pasal 1 angka 5 UU No.28 Tahun 1999 sebagai "setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara". Perbuatan ini sendiri dikualifikasi sebagai tindak pidana oleh Pasal 22 UU No.28 Tahun 1999 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1Miliar. Akan tetapi, persepsi terhadap nepotisme kerap dipisahkan sebagai persoalan yang legal formal antara hukum dan etika.

Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap kasus nepotisme sering kali sulit dilakukan karena adanya perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap apa yang termasuk dalam nepotisme. Selain itu, faktor politik dan kekuasaan juga dapat mempengaruhi penegakan hukum terhadap kasus nepotisme.

Selain dari segi hukum, nepotisme juga menjadi persoalan etika yang melibatkan pertimbangan moral dan integritas. Meskipun suatu tindakan tidak melanggar hukum, tetapi jika dianggap melanggar etika, hal tersebut dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.

Dalam konteks politik dan pemerintahan, penting bagi negara Indonesia untuk terus memperkuat sistem hukum dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, diharapkan dapat mencegah dan mengurangi praktik nepotisme serta menjaga integritas dan keadilan dalam pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun